CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS :
1.
Contoh Kasus Pelanggaran Etika Bisnis Oleh Oreo
PT.Nabisco
Dijilat,diputer,lalu
dicelupin. Itulah sepenggalan kata yang selalu masyarakat dengar dari salah
satu perusahaan biskuit ternama, Kraft Indonesia, Oreo sekitar beberapa tahun
lalu. Dengan yel-yel yang mudah dicerna seperti kasus di atas, sangat melekat
kepada anak-anak. Segmentasi PT.Nabisco pun tepat dalam mengeluarkan produk
biskiut coklat berlapiskan susu ini,terlebih anak-anak yang menimbulkan kekhawatiran
orangtua yang diisukannya biskuit oreo ini yang merupakan biskuit favorit
anak-anak yang mengandung bahan Melamin. Hal ini cukup
berlangsung lama di dunia perbisnisan, sehingga tingkat penjualan menurun
drastis. BPOM dan dinas kesehatan mengatakan bahwa oreo produksi luar negri
mengandung melamin dan tidak layak untuk dikonsumsi karna berbahaya bagi
kesehatan maka harus ditarik dari peredarannya. Pembersihan nama oreo pun
sebagai biskuit berbahaya cukup menguras tenaga bagi public relation PT. Nabisco.
Kutipan BPOM, “Yang ditarik BPOM hanya produk yang berasal dari luar negeri dan
bukan produksi dalam negeri. Untuk membedakannya lihat kode di kemasan produk
tersebut. Kode MD = produksi dalam negeri,aman dikonsumsi.Sedangkan ML =
produksi luar negeri.” Gonjang-ganjing susu yang mengandung melamin akhirnya
merembet juga ke Indonesia. BPOM telah mengeluarkan pelarangan terhadap
peredaran 28 produk yang dicurigai menggunakan bahan baku susu bermelamin dari
Cina,diantaranya yang akrab di telinga kita antara lain : Oreo sandwich
cokelat/wafer stick dan M & M’s. Maaf kalau mengecewakan para penggemar
Oreo tapi ini kenyataan dan bukan hoaks. Dalam perusahaan modern, tanggung
jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada sejumlah pihak
yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau
kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau
kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Kita mengetahui
bahwa Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar
dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan
dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi
standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan
organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan
mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di
dalam organisasi. Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan
pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran perusahaan besar pun berani
untuk mengambil tindakan kecurangan untuk menekan biaya produksi produk. Mereka
hanya untuk mendapatkan laba yang besar dan ongkos produksi yang minimal.
Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan zat
berbahaya dalam produknya . dalam kasus Oreo sengaja menambahkan zat melamin
padahal bila dilihat dari segi kesehatan manusia, zat tersebut dapat
menimbulkan kanker hati dan lambung. Pelanggaran Undang-undang Jika dilihat
menurut UUD, PT Nabisco sudah melanggar beberapa pasal, yaitu : Pasal 4, hak
konsumen adalah : Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”. Ayat 3 : “hak atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. PT.
Nabisco tidak pernah memberi peringatan kepada konsumennya tentang adanya
zat-zat berbahaya di dalam produk mereka. Akibatnya, kesehatan konsumen
dibahayakan dengan alasan mengurangi biaya produksi Oreo. Pasal 7, kewajiban
pelaku usaha adalah : Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan” Pasal 8 Ayat 1 : “Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan” Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau
jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran” PT Nabisco tetap
meluncurkan produk mereka walaupun produk Oreo tersebut tidak memenuhi standar
dan ketentuan yang berlaku bagi barang tersebut.Seharusnya, produk Oreo
tersebut sudah ditarik dari peredaran agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, tetapi mereka tetap menjualnya walaupun sudah ada korban dari
produknya. Pasal 19 : Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan” Ayat 2 : “Ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku” Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”
Menurut pasal tersebut, PT Nabisco harus memberikan ganti rugi kepada konsumen
karena telah merugikan para konsumen. Tanggapan : PT. Nabisco sudah melakukan
perbuatan yang sangat merugikan dengan memasukkan zat berbahaya pada produk
mereka yang berdampak buruk pada konsumen yang menggunakan produk mereka. Salah
satu sumber mengatakan bahwa meskipun perusahaan sudah melakukan permintaan
maaf dan berjanji menarik produknya, namun permintaan maaf itu hanyalah sebuah
klise dan penarikan produk tersebut seperti tidak di lakukan secara sungguh
–sungguh karena produk tersebut masih ada dipasaran. Pelanggaran Prinsip Etika
Bisnis yang dilakukan oleh PT. Nabisco yaitu Prinsip Kejujuran dimana
perusahaan tidak memberikan peringatan kepada konsumennya mengenai kandungan
yang ada pada produk mereka yang sangat berbahaya untuk kesehatan dan
perusahaan juga tidak memberi tahu. Melakukan apa saja untuk mendapatkan
keuntungan pada dasarnya boleh dilakukan asal tidak merugikan pihak mana pun
dan tentu saja pada jalurnya. Disini perusahaan seharusnya lebih mementingkan
keselamatan konsumen yang menggunakan produknya karena dengan meletakkan
keselamatan konsumen diatas kepentingan perusahaan maka perusahaan itu sendiri
akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar karena kepercayaan / loyalitas
konsumen terhadap produk itu sendiri.
2. PT
Megasari Makmur
PT Megasari Makmur (di daerah gunung Putri, Bogor, Jawa Barat) Perjalanan obat
nyamuk bermula pada tahun 1996, diproduksi oleh PT Megasari Makmur yang
terletak di daerah Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. PT Megasari Makmur juga
memproduksi banyak produk seperti tisu basah, dan berbagai jenis pengharum
ruangan. Obat nyamuk HIT juga mengenalkan dirinya sebagai obat nyamuk yang
murah dan lebih tangguh untuk kelasnya. Selain di Indonesia HIT juga mengekspor
produknya ke luar Indonesia. Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT
Megarsari Makmur dinyatakan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif
Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap
manusia. Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan
inspeksi di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu
kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan
pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.HIT yang
promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya
karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan
Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk
HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17
L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT
Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni
2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual
dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja
disemprotkan obat anti-nyamuk HIT. Penyelesaian Masalah yang dilakukan PT.
Megasari Makmur dan Tindakan Pemerintah Pihak produsen (PT. Megasari Makmur)
menyanggupi untuk menarik semua produk HIT yang telah dipasarkan dan mengajukan
izin baru untuk memproduksi produk HIT Aerosol Baru dengan formula yang telah
disempurnakan, bebas dari bahan kimia berbahaya. HIT Aerosol Baru telah lolos
uji dan mendapatkan izin dari Pemerintah. Pada tanggal 08 September 2006
Departemen Pertanian dengan menyatakan produk HIT Aerosol Baru dapat diproduksi
dan digunakan untuk rumah tangga (N0. RI. 2543/9-2006/S). Sementara itu pada
tanggal 22 September 2006 Departemen Kesehatan juga mengeluarkan izin yang
menyetujui pendistribusiannya dan penjualannya di seluruh Indonesia.Jika dilihat
menurut UUD, PT Megarsari Makmur sudah melanggar beberapa pasal, yaitu :
·
Pasal 4, hak konsumen adalah Ayat 1 : “hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
·
Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
PT Megarsari tidak pernah memberi
peringatan kepada konsumennya tentang adanya zat-zat berbahaya di dalam produk
mereka.Akibatnya, kesehatan konsumen dibahayakan dengan alasan mengurangi biaya
produksi HIT.
Pasal 7, kewajiban pelaku usaha
adalah :
·
Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
PT Megarsari tidak pernah memberi
indikasi penggunaan pada produk mereka, dimana seharusnya apabila sebuah kamar
disemprot dengan pestisida, harus dibiarkan selama setengah jam sebelum boleh
dimasuki lagi.
·
Pasal 8 Ayat 1: “Pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi
atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”
·
Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau
jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran”
PT Megarsari tetap meluncurkan
produk mereka walaupun produk HIT tersebut tidak memenuhi standar dan ketentuan
yang berlaku bagi barang tersebut.Seharusnya, produk HIT tersebut sudah ditarik
dari peredaran agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi mereka
tetap menjualnya walaupun sudah ada korban dari produknya.
·
Pasal 19 Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung
jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan”
·
Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa
yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”
·
Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi” Menurut pasal
tersebut, PT Megarsari harus memberikan ganti rugi kepada konsumen karena telah
merugikan para konsumen
CONTOH KASUS PELANGGARAN YANG
MERUGIKAN KONSUMEN
:
“Keterlambatan
Maskapai Penerbangan Wings Air”
Di
Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan
Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh
seorang advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa
kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah
pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling
tidak sembilan puluh menit.
Kasus
ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya,
pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli.Hingga batas waktu yang
tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari
informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata,
keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas
maskapai itu di bandara.
Selanjutnya
DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh
kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi
pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
ANALISA
Untuk
menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka
harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana
ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana
Ekonomi dalam arti Luas.
Bahwa
yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof.
Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri,
yaitu corak-corak ekonomi.Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir
tindakan yang menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat.
Dalam
Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk
yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau
tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana
ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas
melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana
ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan
Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak
pidana ekonomi.
Dalam
kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings
Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas
merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen,
sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam
arti luas.
Bila
berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan
tentang UU.RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK).UUPK lahir sebagai jawaban atas
pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor
penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak
seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam
aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku
usaha.
Berdasarkan
Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan
adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui
terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal
tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya
pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.Sehingga
diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif dapat
dilindungi.
Perlindungan
konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan
konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah
Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan
ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah
konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer.
Asas
yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5
asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan;
partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen;
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan
konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan
untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab
dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan dan keselamatan konsumen.
Sedangkan
ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum
Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal
adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum
Administrasi dan Hukum Perdata.
Tindakan
Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang dijualnya,
dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo.
Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana
terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling
banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum
Remedium.
Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara
sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada
pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
(1)
Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a.
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
(2)
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti.
(3)
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
(4)
Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
Undang-undang ini.
Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa
tujuan dari pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen
setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Selain
itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan
perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan
tanggung jawabnya.
Dalam
kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat
klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang
ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk
segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”.
Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula
baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak
oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam
hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya
klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen.Penyedia jasa
dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik
yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen.Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik
Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang
penerbangan.
Analisis
Agar
tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka kita
sebagai konsumen harus lebih teliti lagi dalam memilah milih barang/jasa yang
ditawarkan dan adapun pasal-pasal bagi konsumen, seperti:
Kritis
terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;
Teliti
sebelum membeli;
Biasakan
belanja sesuai rencana;
Memilih
barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan,
keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;
Membeli
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;
Perhatikan
label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;
Pasal
4, hak konsumen adalah :
a.
Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa”.
b.
Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti
Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas
asalnya, 1 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample.Pada tahun
2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak
ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.Hasil kajian dan analisa BPKN
juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan Ditemukan
penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan
lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil yellow).
c.
Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa”.
d.
Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso,
mie ayam dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi
makanannya bahkan mencampur adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit
konsumen dalam mengetahui informasi komposisi bahan makanannya.
KASUS
4
“ANALISIS
KASUS SUSU FORMULA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN”
Di
Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih. Hal-hal
ini menyangkut kepentingan konsumen memang masih sangat miskin perhatian.
Setelah setahun menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil
survei 47 merk susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Hasil survei
menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri
Enterobacter
Sakazakii.
Hasil
ini berbeda dengan temuan penelitian Institut Pertanian Bogor, yang
menyebutkan, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari
15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi E. Sakazakii
.
Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas kasus
susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan
konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen
rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita,
apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi.
Tanggung
Jawab Produk
Dalam
perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product
liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung
jawab pelaku usaha. Doktrin tersebut selaras dengan doktrin perbuatan melawan
hukum (pasal 1365
KUHPerdata)
yang menyatakan, “Tiap per
buatan
melanggar hukum yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti
kerugian
tersebut.”
Doktrin
tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan hukum
(tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat
menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa
berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang
eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa
yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi
konsumen. Selama ini, kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia
adalah wanprestasi (default). Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen
dan pengusaha, kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Jika gugatan konsumen
menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual
tidaklah diisyaratkan. Bila tidak, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan
unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum. Jadi, konsumen dihadapkan
pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan unsur melawan hukum. Hal
inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses
produksinya adalah pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan
bahwa ia tidak lalai dalam proses produksinya. Untuk membuktikan
unsur "tidak lalai" perlu ada kriteria berdasarkan ketentuan hukum
administrasi negara tentang "Tata Cara Produksi Yang Baik" yang
dikeluarkan instansi atau departemen yang berwenang.
Kedigdayaan
Produsen
Berdasarkan
prinsip kesejajaran kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen, hal itu
mestinya tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan
semua unsur perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin
perbuatan melawan hukum dalam perkara konsumen, seyogiannya dilakukan
"deregulasi" dengan menerapkan doktrin strict product liability
ke dalam donktrin perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat dijumpai landasan
hukumnya
dalam pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menegaskan
bahwa penjual bertanggung jawab adanya "cacat tersembunyi"
pada produk yang dijual. Menurut doktrin strict product liability, tergugat
dianggap telah bersalah (presumption of quality), kecuali apabila ia mampu
membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan. Seandainya ia gagal
membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko kerugian yang
dialami pihak lain karena mengkonsumsi produknya. Doktrin tersebut memang masih
merupakan hal baru bagi Indonesia.
Kecuali
Jepang, semua negara di Asia masih memegang teguh prinsip konsumen harus
membuktikan kelalaian pengusaha. Sekalipun doktrin strict product liability
belum dianut dalam tata hukum kita, apabila perasaan hukum dan
keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan Pasal 27 ayat 1
Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law) Walhasil, berkait kasus
susu formula ada hal yang patut ditarik pelajaran. Ternyata, selama ini yang
masih terpampang adalah “kedigdayaan” produsen atau pelaku usaha termasuk pengambil
kebijakan. Terlihat, pihak-pihak terkait bersikap defensif dengan seolah
menantang konsumen yang merasa dirugikan untuk membuktikan unsur “ada/tidaknya
kelalaian/ kesalahan” terhadap sebuah produk. Padahal,
pihak-pihak berwenanglah yang harus membuktikan apakah betul ada
kesalahan/kelalaian dalam produknya tersebut.
ANALISIS
Berdasarkan
studi kasus diatas, perlindungan konsumen di Indonesia masih sangat lemah. Hal
ini terlihat ketika Kementerian Kesehatan baru mengumumkan setelah setahun
lamanya para konsumen susu formula bayi ingin mengetahui fakta bahwa susu
formula bayi untuk usia 0-6 bulan tersebut apakah mengandung bakteri
Enterobacter Sakazakii atau tidak. Namun fakta yang diumumkan oleh
Kementerian Kesehatan tidak sesuai dengan hasil penelitian dari
temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan 22,73% susu formula
(dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April
hingga Juni 2006 terkontaminasi E. Sakazakii
Apa
pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas kasus susu
formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan
konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen
rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran
konsumen dalam pembangunan ekonomi. Dalam perlindungan konsumen sesungguhnya
ada doktrin yang disebut strict product liability, yakni tanggung jawab produk
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita
lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan
menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Seorang konsumen, apabila
dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang
menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier,
pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk.
Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang
menimbulkan kerugian bagi konsumen.
CONTOH
KASUS PELANGGARAN YANG MERUGIKAN KARYAWAN :
Kasus Pemotongan Gaji Karyawan Secara Tidak Sah
Hukumonline yang terhormat, saya
seorang karyawan yang bekerja di perusahaan industri manufacture yang sudah bekerja
selama 6 tahun. Sejak Desember 2009 sampai sekarang gaji kami dipotong sebesar
30% dengan sepihak dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Bahkan, sampai
sekarang pun belum ada kejelasan mengenai pemotongan itu. Jujur saya sudah cape
dengan keadaan ini dan janji-janji manis para direksi, dan sekarang saya
berencana untuk resign dari tempat saya bekerja, yang ingin saya tanyakan; 1.
Apakah saya berhak meminta uang yang dipotong sebesar 30% itu, karena itu
adalah hak saya? 2. Apakah saya berhak meminta pesangon sesuai peraturan dari
Disnaker sesuai masa kerja saya? 3. Apabila perusahaan menolak memberikan ke
dua item di atas apa yang harus saya lakukan? Demikian surat ini saya buat
mohon pencerahannya.
Jawaban
:
1. Pekerja
memiliki hak untuk menerima upah dari Pengusaha atas suatu pekerjaannya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (selanjutnya akan disebut UU Naker), yang menyatakan:
”Upah adalah hak pekerja/buruh yang
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
yang telah atau akan dilakukan…”
Secara hukum, apabila pekerja tidak
bekerja, maka upah tidak dibayar (lihat Pasal 93 ayat [1] UU Naker). Sedangkan,
pemotongan upah mengenai denda atas pelanggaran yang dilakukan pekerja dapat
dilakukan apabila hal tersebut diatur secara tegas dalam suatu perjanjian
tertulis atau perjanjian perusahaan (lihat Pasal 20 ayat [1] PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
Upah, yang selanjutnya akan disebut PP
No. 8 Tahun 1981).
Pemotongan upah pekerja karena suatu
pembayaran terhadap negara atas iuran keanggotaan/peserta untuk suatu dana yang
menyelenggarakan jaminan sosial dan ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan, maka secara hukum pemotongan tersebut merupakan kewajiban
dari pekerja (lihat Pasal 22 ayat [2] PP No. 8 Tahun 1981).
Perusahaan dapat meminta pekerja
mengganti rugi dengan melakukan pemotongan upah, apabila terdapat kerusakan
barang atau kerugian lain yang dimiliki atau asset perusahaan maupun pihak
ketiga yang dikarenakan kesengajaan atau kelalaian pekerja, sebagaimana diatur
dalam Pasal 23 ayat (1) PP No. 8 Tahun 1981 yang menyatakan:
”(1) Ganti rugi dapat dimintakan
oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi kerusakan barang atau kerugian lainnya
baik milik pengusaha maupun milik pihak ketiga oleh buruh karena kesengajaan
atau kelalaian…”
Selanjutnya, besarnya pemotongan
upah atas kerugian yang diderita oleh perusahaan yang disebabkan karena
kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja tidak boleh melebihi 50%
dari besarnya upah pekerja, (lihat Pasal 23 ayat [2] Jo. Pasal 24 ayat
[1] Jo. ayat [2] PP No. 8 Tahun 1981).
Dengan demikian, apabila pemotongan
upah yang dilakukan oleh perusahaan Saudara bukan karena kewajiban
yang ditentukan oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bukan
juga karena Saudara selaku pekerja melakukan kesalahan atau pelanggaran
yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, maka
pemotongan upah sebesar 30% seperti yang Saudara alami secara hukum merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum ketenagakerjaan.
Terhadap permasalahan Saudara
tersebut, maka patut diduga telah terjadi perselisihan hak
antara Saudara selaku pekerja dengan Perusahaan selaku Pengusaha, karena
tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran
terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan (lihatPasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial,
yang selanjutnya akan disebut UUPPHI).
Mengenai permasalahan tersebut, Saudara
dapat mengadukan atau mencatatkan Perselisihan Hak mengenai pemotongan upah
yang dilakukan perusahaan sebesar 30% tersebut ke Disnakertrans Provinsi/Kota
setempat dengan tujuan membatalkan pemotongan upah (lihat Pasal
22 ayat [4] PP No. 8 Tahun 1981) yang dilakukan perusahaan dan
meminta agar perusahaan mengembalikan upah yang telah dipotong tersebut.
2. Dapat
kami jelaskan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 162 UU Naker, bagi
pihak pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, hanya akan
mendapatkan hak berupa Uang Penggantian Hak.
Hal ini akan berbeda
konsekuensinya apabila pihak pekerja yang di-PHK oleh perusahaan, karena di
dalam hal terjadinya PHK oleh perusahaan maka pihak perusahaan wajib untuk
membayarkan uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak kepada pekerja (lihat Pasal 156 ayat [1] UU Naker).
Mengenai hak normatif Saudara
apabila terjadi PHK dengan masa kerja 6 tahun dapat Saudara lihat
dalam ketentuan Pasal 156 ayat (2) huruf g, ayat (3) dan ayat (4) UU
Naker.
Dalam Pasal 156 ayat (2)
huruf g UU Naker dinyatakan bahwa untuk masa kerja 6 (enam) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, akan memperoleh pesangon sebanyak 7
(tahun) bulan upah;
Kemudian, pada Pasal 156
ayat (3) huruf b UU Naker, untuk masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, akan memperoleh uang penghargaan masa
kerja sebanyak 3 (tiga) bulan upah;
Selain dari uang pesangon dan uang
penghargaan masa kerja, terdapat juga komponen uang penggantian hak
menurut Pasal 156 ayat (4) UU Naker berupa:
a. cuti
tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya
atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat di mana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus)
dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat;
d. hal-hal
lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
3. Pada
praktiknya, perselisihan hak antara pekerja dengan pengusaha seringkali
berujung pada perselisihan PHK. Oleh karena itu, menurut kami, sebaiknya
Saudara bersiap-siap dengan konsekuensi PHK. Dengan demikian, apabila
Saudara berniat mengadukan atau mencatatkan persellisihan hak ke DisNakertrans
baiknya dibarengi pula dengan pencatatan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
pada Disnakertrans setempat di mana Anda bekerja. Selanjutnya, Mediator Disnakertrans
setempat akan mengeluarkan Anjuran atas perselisihan
tersebut, yang apabila salah satu pihak atau kedua belah pihaknya tidak
sependapat atau tidak menjalankan Anjuran dengan sukarela, maka salah satu
atau kedua belah pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
Apabila terdapat perselisihan hak
yang dibarengi dengan perselisihan PHK, maka Pengadilan Hubungan Industrial
wajib memutuskan perkara perselisihan hak terlebih dahulu, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 86 UUPPHI, yang menyatakan :
“Dalam hal perselisihan hak
dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihanpemutusan
hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih
dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan…”
Demikian penjelasan dari kami,
semoga dapat memberikan pencerahan atas permasalahan yang Saudara hadapi.
Dasar hukum:
Sumber :
http://efawahyuni.blogspot.com/2013/11/etika-bisnis-dan-pelanggarannya.html
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e3b8ad72eaa5/kasus-pemotongan-gaji-karyawan-secara-tidak-sah