KONDISI
WILAYAH PERBATASAN NEGARA DI INDONESIA
Negara
kepulauan Indonesia berbatasan langsung dengan 10 (sepuluh negara). Di darat,
Indonesia berbatasan dengan tiga negara, yaitu : (1) Malaysia; (2) Papua New
Guinea ; dan (3) Timor Leste. Sedangkan di wilayah laut Indonesia berbatasan
dengan 10 negara, yaitu : (1) India, (2) Malaysia, (3) Singapura, (4) Thailand,
(5) Vietnam, (6) Filipina, (7) Republik Palau, (8) Australia, (9) Timor Leste
dan (10) Papua Nugini. Perbatasan laut ditandai oleh keberadaan 92 pulau-pulau
terluar yang menjadi lokasi penempatan titik dasar yang menentukan penentuan
garis batas laut wilayah.
Sebagian
besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan
sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan
di masa lalu bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu diawasi
secara ketat karena merupakan daerah yang rawan keamanan telah menjadikan
paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan
dari pada kesejahteraan. Hal ini menyebabkan wilayah perbatasan di beberapa
daerah menjadi tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan
Pembangunan
wilayah perbatasan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan misi
pembangunan nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah,
pertahanan keamanan nasional, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat di
wilayah perbatasan. Paradigma baru, pengembangan wilayah-wilayah perbatasan adalah
dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung
berorientasi “inward looking”, menjadi “outward looking” sehingga wilayah
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan
perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan wilayah Perbatasan
Negara saat ini adalah dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity
approach) dengan tidak meninggalkan pendekatan keamanan (security approach).
Tujuan dari pengembangan wilayah-wilayah perbatasan adalah untuk:
(a)
menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang
dijamin oleh Hukum Internasional;
(b)
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi,
sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk
berhubungan dengan negara tetangga.
Kawasan
Perbatasan Darat di Pulau Kalimantan
Secara
administratif, kawasan perbatasan darat Indonesia-Malaysia meliputi 2 (dua)
provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, dan terdiri dari
8 (delapan) Kabupaten, yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang,
Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat (Kalimantan
Timur).
Garis
perbatasan darat di Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan negara bagian Sabah
dan Sarawak Malaysia secara keseluruhan memiliki panjang 1.885,3 km. Jumlah
pilar batas yang ada hingga tahun 2007 secara keseluruhan berjumlah 9.685 buah,
terdiri dari pilar batas tipe A sebanyak 4 unit, tipe B sebanyak 18 unit, tipe
C sebanyak 225 unit dan tipe D sebanyak 9438 unit. Kondisi tugu batas pada
umumnya masih memprihatinkan dan jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan
panjang garuis perbatasan yang ada.
Berdasarkan
perjanjian Lintas Batas antara Indonesia dan Malaysia tahun 2006, secara
keseluruhan telah disepakati sebanyak 18 pintu batas (exit and entry point)
di kawasan ini. Hingga tahun 2007, baru terdapat 2 (dua) pintu batas resmi
yaitu di Entikong, kabupaten Sanggau dan Nanga Badau (Kabupaten Kapuas Hulu).
Adanya keterikatan kekeluargaan dan suku antara masyarakat Indonesia dan
Malaysia di kawasan ini menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan
barang yang bersifat tradisional melalui pintu-pintu perbatasan yang belum
resmi.
Dari
sisi keamanan, kawasan ini didukung oleh 26 pos pengamanan perbatasan (Pos
Pamtas) yang diisi oleh aparat militer. Sarana prasarana keamanan dalam jumlah
dan kualitas yang memadai sangat diperlukan, karena kawasan ini dicirikan oleh
tingginya kegiatan-kegiatan ilegal sekitar di garis perbatasan, dalam bentuk
pembalakan liar, penyelundupan barang, tenaga kerja ilegal, dan sebagainya.
Potensi
sumberdaya alam wilayah perbatasan di Kalimantan cukup besar dan bernilai
ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan produksi (konversi), hutan lindung,
taman nasional, dan danau alam, yang semuanya dapat dikembangkan menjadi daerah
wisata alam (ekowisata). Beberapa areal hutan tertentu yang telah dikonversi
tersebut telah berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan yang dilakukan oleh
beberapa perusahaan swasta nasional maupun yang bekerjasama dengan perkebunan
asing yang umumnya berasal Malaysia. Namun demikian secara umum infrastruktur
sosial ekonomi di kawasan ini, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, maupun
sarana prasarana penunjang wilayah, masih memerlukan banyak peningkatan. Jika
dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, kawasan ini masih relatif
tertinggal pembangunannya.
Kawasan
perbatasan Darat di Papua
Secara
administratif, kawasan perbatasan darat di Papua berada di Provinsi Papua,
terdiri dari lima kabupaten/kota yaitu : (1) Kota Jayapura, (2) Kabupaten
Keerom, (3) Kabupaten Pegunungan Bintang, (4) Kabupaten Boven Digoel dan (5)
Kabupaten Marauke.
Garis
Perbatasan darat di Papua yang berbatasan dengan PNG secara keseluruhan
memiliki panjang 760 kilometer, memanjang dari Skouw, Jayapura di sebelah utara
sampai muara sungai Bensbach, Merauke di sebelah Selatan. Garis batas ini
ditetapkan melalui perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada
tanggal 16 Mei 1895. Jumlah pilar batas di wilayah perbatasan Papua yang
terbentang dari utara di Jayapura sampai ke bagian selatan di wilayah Marauke
sangat terbatas dan dengan kondisinya sangat memprihatinkan. Jumlah tugu utama
(MM) yang tersedia hanya 52 buah, sedangkan tugu perapatan sejumlah 1792 buah.
Kawasan
ini juga dicirikan oleh adanya keterikatan kekeluargaan dan suku antara
masyarakat Indonesia dan PNG yang menyebabkan terjadinya arus orang dan
perdagangan barang yang bersifat tradisional melalui pintu-pintu perbatasan
yang belum resmi. Namun demikian, hingga tahun 2007, pintu/pos perbatasan resmi
hanya terdapat di Skouw, Distrik Muara Tami (Kota Jayapura) dan di Distrik Sota
(Kabupaten Merauke).
Kawasan
perbatasan di Papua terdiri dari areal hutan, baik hutan konversi maupun hutan
lindung dan taman nasional. Secara fisik sebagian besar wilayah perbatasan di
Papua terdiri dari pegunungan dan bukit-bukit yang sulit dijangkau dengan
sarana perhubungan roda empat dan roda dua, satu-satunya sarana perhubungan
yang dapat menjangkau adalah dengan pesawat udara atau helikopter. Meski
demikian, jika dibandingkan dengan PNG, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
Indonesia di kawasan perbatasan masih relatif lebih baik.
Kawasan
Perbatasan Darat di Nusa Tenggara Timur
Kawasan
Perbatasan Negara dengan Negara Timor Leste di NTT merupakan wilayah Perbatasan
Negara yang terbaru mengingat Timor Leste merupakan negara yang baru terbentuk
dan sebelumnya adalah merupakan salah satu dari propinsi di Indonesia. Panjang
garis perbatasan darat Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste adalah
268,8 kilometer.
Khusus
perbatasan pada wilayah enclave Oekusi dimana sesuai dengan perjanjian antara
pemerintah Kolonial Belanda dan Portugis tanggal 1 Oktober 1904 perbatasan
antara Oekusi – Ambeno wilayah Timor-Timur dengan Timor Barat dimulai dari Noel
Besi sampai muara sungai (Thalueg) dengan panjang 119,7 kilometer. Perbatasan
dengan Australia terletak di dua kabupaten yaitu Kupang dan Rote Ndao yang
umumnya adalah wilayah perairan laut Timor dan khususnya di Pulau Sabu.
Kondisi
wilayah perbatasan di Nusa Tenggara Timur, secara umum masih belum berkembang
dengan sarana dan prasarananya yang masih bersifat darurat dan sementara.
Meskipun demikian relatif lebih baik dibandingkan dengan di wilayah Timor
Leste. Di wilayah perbatasan ini sudah berlangsung kegiatan perdagangan barang
dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat Timor Leste dengan nilai jual yang
relatif lebih tinggi.
Kawasan
Perbatasan Laut dan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Kondisi
perbatasan laut yang terdiri dari wilayah laut yang berbatasan dengan negara
lain beserta 92 pulau-pulau kecil terluar sebagai lokasi titik pangkal hingga
saat ini masih memerlukan perhatian khusus. 92 Pulau Kecil Terluar ini tersebar
di 19 Provinsi, dan 40 Kabupaten.
Masih
banyak segmen garis-garis batas laut yang belum disepakati antara RI dengan
negara tetangga, baik batas landas kontinen, bataslaut teritorial, maupun ZEE .
Hal ini berpotensi menjadi akar sengketa ekonomi dan kedaulatan dengan negara
tetangga jika tidak dikelola dengan baik
Perbatasan
laut terdiri dari Batas Laut Teritorial (BLT), Batas Landas Kontinen (BLK) dan
batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Batas Laut Teritorial berhubungan dengan
kepastian garis batas di laut, Batas Landas Kontinen berhubungan dengan hak
atas pemanfaatan sumber daya alam nonhayati di dasar laut, sedangkan Zona
Ekonomi Eksklusif berhubungan dengan hak atas pemanfaatan sumber daya
perikanan. Penegasan batas wilayah negara di laut diwujudkan dengan cara
menentukan angka koordinat geografi yang digambar di atas peta laut, sebagai
hasil kesepakatan bersama melalui perundingan bilateral.
Definisi
Kawasan Perbatasan Negara menurut UU No.26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang?
- Merupakan kawasan
strategis yang dilihat dari sudut kepentingan pertahanan dan
keamanan.(penjelasan pasal 5, ayat 5
- Termasuk
dalam Kawasan Strategis Nasional yaitu wilayah yang penataan
ruangnya diprioritaskankarena mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan
negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah
yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
PERBATASAN
Indonesia merupakan negara
kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah
perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut
(maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan
negara-negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Perbatasan
darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang
masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian
pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi
sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia
berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand,
Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini
(PNG). Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang
jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih
perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai
kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga.
Peraturan Presiden Nomor 7
Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-Nasional
2004-2009) telah menetapkan arah dan pengembangan wilayah Perbatasan Negara
sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Pembangunan wilayah
perbatasan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan misi pembangunan
nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah, pertahanan
keamanan nasional, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah
perbatasan. Paradigma baru, pengembangan wilayah-wilayah perbatasan
adalah dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi
“inward lookingâ€, menjadi “outward looking†sehingga
wilayah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan
perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan wilayah Perbatasan
Negara menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dengan
tidak meninggalkan pendekatan keamanan (security approach). Sedangkan
program pengembangan wilayah perbatasan (RPJM Nasional 2004-2009), bertujuan
untuk : (a) menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI
yang dijamin oleh Hukum Internasional; (b) meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta
keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan
negara tetangga. Disamping itu permasalahan perbatasan juga dihadapkan pada
permasalahan keamanan seperti separatisme dan maraknya kegiatan-kegiatan
ilegal.
Peraturan Presiden Nomor 39
Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 (RKP 2006) telah pula
menempatkan pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas pertama dalam
mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah, dengan program-program antara
lain : Percepatan pembangunan prasarana dan sarana di wilayah perbatasan,
pulau-pulau kecil terisolir melalui kegiatan : (i) pengarusutamaan DAK untuk
wilayah perbatasan, terkait dengan pendidikan, kesehatan, kelautan dan
perikanan, irigási, dan transportasi, (ii) penerapan skim kewajiban layanan
publik dan keperintisan untuk transportasi dan kewajiban layanan untuk
telekomunikasi serta listrik pedesaan; Pengembangan ekonomi di wilayah
Perbatasan Negara; Peningkatan keamanan dan kelancaran lalu lintas orang
dan barang di wilayah perbatasan, melalui kegiatan : (i) penetapan garis batas
negara dan garis batas administratif, (ii) peningkatan penyediaan fasilitas
kapabeanan, keimigrasian, karantina, komunikasi, informasi, dan pertahanan di
wilayah Perbatasan Negara (CIQS); Peningkatan kapasitas kelembagaan
pemerintah daerah yang secara adminstratif terletak di wilayah Perbatasan
Negara.
Komitmen pemerintah melalui
kedua produk hukum ini pada kenyataannya belum dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari segi politik,
hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya.
Sebagian besar wilayah
perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan
prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan dimasa lalu
bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu diawasi secara ketat
karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah menjadikan paradigma
pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada
kesejahteraan. Sebagai wilayah perbatasan di beberapa daerah
menjadi tidak tersentuh oleh dinamika sehingga pembangunan dan masyarakatnya
pada umumnya miskin dan banyak yang berorientasi kepada negara tetangga. Di
lain pihak, salah satu negara tetangga yaitu Malaysia, telah membangun
pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan
ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun
masyarakatnya. Demikian juga Timor Leste, tidak tertutup
kemungkinan dimasa mendatang dalam waktu yang relatif singkat, melalui
pemanfaatan dukungan internasional, akan menjadi negara yang berkembang pesat,
sehingga jika tidak diantisipasi provinsi NTT yang ada di perbatasan dengan
negara tersebut akan tetap tertinggal.
Dengan berlakunya
perdagangan bebas baik ASEAN maupun internasional serta kesepakatan serta kerjasama
ekonomi baik regional maupun bilateral, maka peluang ekonomi di beberapa
wilayah perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi
pertimbangan dalam upaya pengembangan wilayah tersebut. Kerjasama
sub-regional seperti AFTA (Asean Free Trade Area), IMS-GT (Indonesia
Malaysia Singapura Growth Triangle), IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand
Growth Triangle), BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina-East
Asian Growth Area) dan AIDA (Australia Indonesia Development Area)
perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga memberikan keuntungan kedua belah
pihak secara seimbang. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi
internasional dan sub-regional tersebut Indonesia perlu menyiapkan berbagai
kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu
sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga yang
menyebabkan sumberdaya alam yang tersedia terutama di wilayah perbatasan akan
tersedot keluar tanpa memberikan keuntungan bagai masyarakat dan pemerintah. Sarana
dan prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan
kerjasama bilateral dan sub-regional perlu disiapkan. Penyediaan sarana dan
prasarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar, oleh karena itu diperlukan
penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya.
Rencana Induk Pengelolaan
Perbatasan ini diharapkan dapat memberikan prinsip-prinsip pengembangan wilayah
Perbatasan Negara sesuai dengan karakteristik fungsionalnya untuk mengejar
ketertinggalan dari daerah di sekitarnya yang lebih berkembang ataupun untuk
mensinergikan dengan perkembangan negara tetangga. Selain itu, kebijakan dan
strategi ini nantinya juga ditujukan untuk menjaga atau mengamankan wilayah
Perbatasan Negara dari upaya-upaya eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan,
baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang dilakukan dengan dorongan
kepentingan negara tetangga, sehingga kegiatan ekonomi dapat dilakukan secara
lebih selektif dan optimal.
PERMASALAHAN
PERBATASAN DI INDONESIA
Permasalahan perbatasan di
daerah jumlahnya tidak sedikit. Katakan seperti batas Kabupaten Halmahera Barat
dan Utara di Ternate, Pulau Berhala di Jambi, Kota Padangsidempuan, Kota Bukit
Tinggi dengan kabupatennya di Sumatera; Kota Balikpapan dengan Kabupaten Paser
Penajam Utara di Kalimantan dan masih banyak lagi. Beberapa di antaranya sudah
menjadi konflik terbuka, tetapi banyak pula yang bagai "asap dalam
sekam".
Secara teori cara menyelesaikan masalah batas daerah seperti itu tidaklah susah. Pertama, dasar hukumnya jelas. UU No 32/2004 dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak menentukan batas yang sebenarnya di lapangan adalah Menteri Dalam Negeri. Kedua, Depdagri mempunyai Tim PPBD (Penetapan dan Penegasan Batas Daerah) Pusat dan Daerah. Keanggotaannya terdiri atas Departemen Teknis dan Hukum yang terkait batas daerah, seperti Bakosurtanal, Topografi TNI-AD, Jawatan Hidro Oseanografi TNI-AL, Departemen Kehutanan, Departemen ESDM, BPN, dan lain-lain sesuai kebutuhan.
Artinya, sejauh hal tersebut menyangkut teknis dan hukum dapat dipercaya, pertimbangannya pasti profesional. Jadi, kalau selama ini banyak batas antardaerah yang tidak bisa diselesaikan, persoalannya pastilah bukan pada kedua aspek tersebut, tetapi pada aspek lain, yakni kondisi "sosial" yang melatarbelakangi masalah batas daerah.
Indonesia merupakan negara "benua" maritim, sebenarnya punya permasalahan batas dengan sepuluh negara tetangga. Yakni, India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste. Kalau hal ini dikaitkan dengan kondisi dan lingkungan regional, pada tahun-tahun yang akan datang masalah batas antarnegara akan jadi sumber konflik baru di kawasan ini.
Untuk tingkat antarnegara, ternyata masalah perbatasan bukan hal sederhana. Sebagai contoh perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan. Batas kedua negara sebenarnya sudah dibuat oleh Belanda dan Inggris pada 1891, 1915, dan 1928.
Indonesia dan Malaysia sudah menegaskan batas kedua negara tersebut sejak 1973. Namun, setelah 33 tahun, kedua negara masih mempunyai permasalahan batas yang belum terselesaikan di sepuluh lokasi. Dari segi biaya, jumlahnya juga sungguh besar.
Dalam realitanya, masalah batas antardaerah ini dapat diselesaikan kalau semua pihak datang dengan niat baik dan memang mau menyelesaikan masalah batas secara arif. Prosesinya kurang lebih demikian.
Kedua belah pihak sudah diberi alternatif kondisi. Artinya, mereka harus sepakat kalau nanti tim bersama ke lapangan menemukan kondisi pertama. Begitu pula kalau yang ditemukan adalah kondisi kedua, yang menang adalah alternatif kedua, dan seteruznya. Konsep ini agar masing-masing pemda dipelajari kembali dan memberikan tanggapan.
Permasalahan Perbatasan di Kalimantan Timur
pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Indonesia merupakan wujud nyata dalam usaha untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, pembangunan haruslah memiliki sifat yang multidimensional dalam berbagai bidang sektor yang tersebar di seluruh tanah air. Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dalam bentuk program prioritas pengembangan daerah perbatasan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan masyarakat, serta memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain, maka pembangunan perbatasan perlu mendapatkan perhatian khusus dan menjadi prioritas utama. Program prioritas ini dijabarkan lagi dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang disusun setiap tahun dan bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadikan wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara melalui delimitasi dan demarkasi batas, pengamanan wilayah perbatasan dan pembangunan sosial ekonomi wilayah sepanjang perbatasan.
Selama beberapa puluh tahun ke belakang masalah perbatasan memang masih belum mendapat perhatian yang cukup serius dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan. Dengan adanya usaha dan kebijakan pemerintah dalam percepatan pembangunan perbatasan maka pembangunan daerah perbatasan selama ini merupakan salah satu kawasan yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan secara khusus dalam berbagai bidang pembangunan di Indonesia khususnya daerah perbatasan yang berada di Kalimantan Timur. Hal ini dikarenakan Daerah Perbatasan memiliki permasalahan yang kompleks dalam penanganannya.
Secara teori cara menyelesaikan masalah batas daerah seperti itu tidaklah susah. Pertama, dasar hukumnya jelas. UU No 32/2004 dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak menentukan batas yang sebenarnya di lapangan adalah Menteri Dalam Negeri. Kedua, Depdagri mempunyai Tim PPBD (Penetapan dan Penegasan Batas Daerah) Pusat dan Daerah. Keanggotaannya terdiri atas Departemen Teknis dan Hukum yang terkait batas daerah, seperti Bakosurtanal, Topografi TNI-AD, Jawatan Hidro Oseanografi TNI-AL, Departemen Kehutanan, Departemen ESDM, BPN, dan lain-lain sesuai kebutuhan.
Artinya, sejauh hal tersebut menyangkut teknis dan hukum dapat dipercaya, pertimbangannya pasti profesional. Jadi, kalau selama ini banyak batas antardaerah yang tidak bisa diselesaikan, persoalannya pastilah bukan pada kedua aspek tersebut, tetapi pada aspek lain, yakni kondisi "sosial" yang melatarbelakangi masalah batas daerah.
Indonesia merupakan negara "benua" maritim, sebenarnya punya permasalahan batas dengan sepuluh negara tetangga. Yakni, India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste. Kalau hal ini dikaitkan dengan kondisi dan lingkungan regional, pada tahun-tahun yang akan datang masalah batas antarnegara akan jadi sumber konflik baru di kawasan ini.
Untuk tingkat antarnegara, ternyata masalah perbatasan bukan hal sederhana. Sebagai contoh perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan. Batas kedua negara sebenarnya sudah dibuat oleh Belanda dan Inggris pada 1891, 1915, dan 1928.
Indonesia dan Malaysia sudah menegaskan batas kedua negara tersebut sejak 1973. Namun, setelah 33 tahun, kedua negara masih mempunyai permasalahan batas yang belum terselesaikan di sepuluh lokasi. Dari segi biaya, jumlahnya juga sungguh besar.
Dalam realitanya, masalah batas antardaerah ini dapat diselesaikan kalau semua pihak datang dengan niat baik dan memang mau menyelesaikan masalah batas secara arif. Prosesinya kurang lebih demikian.
Kedua belah pihak sudah diberi alternatif kondisi. Artinya, mereka harus sepakat kalau nanti tim bersama ke lapangan menemukan kondisi pertama. Begitu pula kalau yang ditemukan adalah kondisi kedua, yang menang adalah alternatif kedua, dan seteruznya. Konsep ini agar masing-masing pemda dipelajari kembali dan memberikan tanggapan.
Permasalahan Perbatasan di Kalimantan Timur
pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Indonesia merupakan wujud nyata dalam usaha untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, pembangunan haruslah memiliki sifat yang multidimensional dalam berbagai bidang sektor yang tersebar di seluruh tanah air. Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dalam bentuk program prioritas pengembangan daerah perbatasan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan masyarakat, serta memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain, maka pembangunan perbatasan perlu mendapatkan perhatian khusus dan menjadi prioritas utama. Program prioritas ini dijabarkan lagi dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang disusun setiap tahun dan bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadikan wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara melalui delimitasi dan demarkasi batas, pengamanan wilayah perbatasan dan pembangunan sosial ekonomi wilayah sepanjang perbatasan.
Selama beberapa puluh tahun ke belakang masalah perbatasan memang masih belum mendapat perhatian yang cukup serius dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan. Dengan adanya usaha dan kebijakan pemerintah dalam percepatan pembangunan perbatasan maka pembangunan daerah perbatasan selama ini merupakan salah satu kawasan yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan secara khusus dalam berbagai bidang pembangunan di Indonesia khususnya daerah perbatasan yang berada di Kalimantan Timur. Hal ini dikarenakan Daerah Perbatasan memiliki permasalahan yang kompleks dalam penanganannya.
Permasalahan pembangunan kawasan perbatasan selama ini pada umumnya adalah:
1. Permasalahan politik
2. Permasalahan ekonomi
3. Permasalahan ideologi
4. Permasalahan sosial budaya
Wilayah perbatasan Kalimantan Timur memiliki arti yang sangat penting baik secara ekonomi, geo-politik, dan pertahanan keamanan karena berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga (Sabah) Malaysia yang memiliki tingkat perekonomian relatif lebih baik. Potensi sumber daya alam yang dimiliki di wilayah ini cukup melimpah, namun hingga saat ini relatif belum dimanfaatkan secara optimal. Di sisi lain, terdapat berbagai persoalan yang mendesak untuk ditangani karena besarnya dampak dan kerugian yang dapat ditimbulkan.
Ketertinggalan secara ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat perbatasan Kalimantan Timur juga dipicu oleh minimnya infrastruktur dan aksesibilitas yang tidak memadai, seperti jaringan jalan dan angkutan perhubungan darat maupun sungai masih sangat terbatas, prasarana dan sarana komunikasi seperti pemancar atau transmisi radio dan televisi serta sarana telepon relatif minim, ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat kesehatan masyarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Kondisi keterbatasan tersebut akan semakin nyata dirasakan oleh masyarakat perbatasan ketika mereka membandingkan dengan kondisi pembangunan di negara tetangga Malaysia.
Kalimantan Timur merupakan salah satu kawasan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia. Dimana dari 14 Kabupaten/Kota yang berada di Kalimantan Timur terdapat tiga kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia yaitu: Kabupaten Nunukan dengan 6 Kecamatan (Kecamatan Krayan, Kecamatan Krayan Selatan, Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sebuku, Kecamatan Nunukan dan Kecamatan Sebatik), Kabupaten Kutai Barat dengan 2 Kecamatan (Kecamatan Long Apari dan Kecamatan Long Pahangai) sedangkan untuk Kabupaten Malinau dengan 5 Kecamatan yaitu kecamatan Kayan Hulu, Kecamatan Kayan hilir, Kecamatan kayan Selatan, Kecamatan Pujungan dan Kecamatan Bahau Ulu.
Daerah perbatasan merupakan wilayah strategis sekaligus daerah rawan terkait dengan masalah-masalah pertahanan dan keamanan negara. Oleh karenanya sangat perlu untuk mendapatkan perhatian yang lebih besar khususnya yang menyangkut pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi produktif masyarakat dan keamanan. Selama ini daerah perbatasan masih identik dengan daerah yang terisolir, terpencil, terbelakang dalam berbagai macam aspek kegiatan baik sosial, ekonomi, budaya, serta pertahanan dan keamanan.
Disparitas pembangunan khususnya di daerah perbatasan dan non-perbatasan yang masih terjadi memang merupakan akumulasi dari berbagai masalah yang sangat kompleks antara lain meliputi:
• Model paradigma pembangunan di masa pemerintahan Orde Baru yang memang sangat kurang memperhatikan pembangunan daerah, khususnya pembangunan daerah-daerah perbatasan.
• Letak geografis yang tidak menguntungkan dan jauh dari pemukiman perkotaan.
• Kurangnya sarana dan prasarana trasnportasi serta komunikasi sehinggga mengakibatkan kecamatan tersebut terisolir, terpencil, dan terbelakang dari orbit kegiatan sosial dan ekonomi.
• Lemahnya SDM yang diakibatkan karena minimnya pendidikan yang diperoleh masyarakat serta kurangnya transportasi dan komunikasi.
• Karena sulitnya transportasi mengakibatkan kebutuhan pokok masyarakat harganya menjadi mahal, di lain pihak hasil-hasil produksi masyarakat di bidang pertanian tidak dapat dipasarkan ke kota.
Dengan memperhatikan paparan tersebut di atas maka permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kawasan perbatasan Kalimantan timur secara umum dapat dibagi dalam 3 (tiga) level yaitu: level lokal, level nasional, dan level internasional.
Pada level lokal:
Pada level lokal permasalahan yang dihadapi adalah:
• a. Keterisolasian
• b. Keterbelakangan
• c. Kemiskinan
• d. Mahalnya harga barang dan jasa
• e. Keterbatasan prasarana dan sarana pelayanan publik (infrastruktur)
• f. Rendahnya kualitas SDM pada umumnya
• g. Penyebaran penduduk yang tidak merata
• h. Terjadinya penumpukan TKI di Kab. Nunukan akibat adanya deportasi dari Malaysia
Pada level nasional:
Sedangkan pada level nasional, pembangunan perbatasan dihadapkan pada masalah:
• a. Kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada pembangunan daerah perbatasan
• b. Belum adanya payung hukum dan lembaga yang menangani khusus wilayah perbatasan
• c. Tapal batas negara
• d. Penyelundupan tenaga kerja Indonesia
• e. Masih kurangnya personel, anggaran, prasarana dan sarana, serta kesejahteraan anggota TNI/POLRI
• f. Terjadinya perdagangan lintas batas illegal
• g. Kurangnya akses dan media komunikasi dan informasi dalam negeri
• h. Terjadinya proses pemudaran (degradasi) wawasan kebangsaan
• i. Illegal loging dan Illegal fishing oleh negara tetangga
• j. Belum optimalnya koordinasi lintas sektoral dan lintas wilayah dalam penanganan wilayah perbatasan
Pada level Internasional:
Pada level internasional ini permasalahan pembangunan perbatasan dihadapkan pada masalah:
• a. Kesenjangan prasarana dan sarana yang terjadi pada daerah perbatasan di Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia dapat menimbulkan permasalahan politik dan HANKAM.
• b. Terjadinya eksodus WNI ke negara tetangga Malaysia dikarenakan hampir seluruh wilayah kecamatan di perbatasan tidak memiliki akses jalan menuju ibukota kabupaten.
• c. Rendahnya daya saing penduduk setempat dibandingkan dengan negara tetangga.
Kondisi daerah perbatasan seperti yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa letak geografis daerah perbatasan sangatlah tidak menguntungkan. Hal ini mengakibatkan kehidupan masyarakat setempat serta pembangunan wilayah perbatasan masih sangat terbatas dan relatif tertinggal jauh apabila dibandingkan dengan daerah-daerah yang terletak dekat dengan pusat pemerintahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa diperlukannya peningkatan keserasian pembangunan daerah perbatasan dengan daerah lain.
Ketahanan nasional di daerah perbatasan memiliki peran penting dan juga rentan terhadap masuknya berbagai pengaruh negatif baik dari segi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan ideologi serta menjadi “tameng” bagi pertahanan dan keamanan negara.
Upaya pembangunan yang saat ini sedang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, menghadapi problematika pembangunan yang cukup berat dan kompleks, seperti:
1. Kesenjangan dalam perkembangan sosial ekonomi yang mencolok antar wilayah desa, antar desa dan kota, dan antar sektor ekonomi.
2. Kurangnya peranan dan keterkaitan sektor modern terhadap sektor tradisional.
3. Terbatasnya sumber daya manusia baik secara kualitas maupun kuantitas.
4. Masih rendahnya tingkat aksesibilitas wilayah dan kurangnya kemudahan terhadap fasilitas berusaha sehingga menjadi kendala untuk menarik investasi.
5. Terbatasnya infrastruktur berupa sarana dan prasarana transportasi.
6. Keadaan topografi yang berat, sebagian besar bergunung-gunung, sehingga sulit dijangkau oleh program pembangunan.
Pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten dan Provinsi Kalimantan Timur khususnya dalam upaya membuka keterisoliran desa-desa yang berada di perbatasan, merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat oleh karena itu maka pembangunan sarana transportasi merupakan prioritas utama yang diarahkan pada peningkatan peranannya sebagai urat nadi kehidupan ekonomi, sosial budaya, politik, dan pertahanan keamanan serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dengan meningkatkan sarana dan prasarana transportasi agar tercipta keterpaduan bangsa antar sektor dan wilayah guna memantapkan sistem transportasi nasional terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman, cepat, terjangkau oleh masyarakat serta efektif, efisien dalam mendukung pola produksi dan distribusi nasional, pengembangan wilayah khususnya Kawasan Timur Indonesia serta sektor-sektor perekonomian lainnya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dengan mendorong peran aktif masyarakat. Dengan melihat kenyataan ini maka pembangunan transportasi pada daerah perbatasan perlu mendapatkan perhatian dan menjadi prioritas utama dari pemerintah khususnya untuk memecahkan permasalahan “keterbelakangan, ketertinggalan, dan keterisoliran” agar dapat menunjang distribusi hasil produksi daerah perbatasan ke daerah lainnya.
Permasalahan besar yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan khususnya di tiga Kabupaten yang ada di kalimantan Timur dan terletak di perbatasan tersebut, antara lain disebabkan oleh letak geografis yang sebagian besar dimiliki oleh kabupaten sebagai daerah perbatasan sangat terpencil sehingga pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang dapat dilakukan masih sangat minim. Dimana hampir seluruh kawasan kecamatan/desa yang ada di perbatasan hanya dapat dijangkau dengan menggunakan pesawat udara.
Hal ini disadari bahwa dalam proses pembangunan, dalam konteks pencapaian keberhasilan, merupakan suatu tujuan yang terus-menerus diupayakan mengingat hakekat pembangunan adalah melakukan perubahan dari kondisi yang kurang baik menuju kepada kondisi yang lebih baik lagi.
Konsekuensi pencapaian sasaran seperti yang diharapkan dalam proses pembangunan, maka perlu adanya usaha-usaha untuk menciptakan kondisi yang dapat memberikan rangsangan serta peluang yang sebesar-besarnya bagi potensi-potensi pembangunan untuk berpartisipasi dan berprestasi dalam usaha pembangunan di berbagai bidang dan sektor baik bidang ketrampilan, keahlian dan kelembagaan, maupun berbagai usaha peningkatan kegiatan dan hubungan masyarakat.
Pembangunan daerah perbatasan harus dilaksanakan hal ini dikarenakan menyangkut masalah kedaulatan dan harga diri bangsa. Oleh karenanya penanganan dan pembangunan daerah perbatasan perlu dilakukan secara komprehensif dalam arti tidak hanya melalui pendekatan kesejahteraan, akan tetapi juga dilakukan dengan pendekatan keamanan. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dan komitmen, baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi/kabupaten untuk menjadikan daerah perbatasan sebagai beranda depan bangsa. Pemberdayaan masyarakat dan kebijakan tingkat lokal merupakan kunci sukses dalam pembangunan daerah perbatasan.
Sumber:
http://permasalahanperbatasanindonesia.blogspot.com/2011/03/permasalahan-perbatasan-di-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar