PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH,
DANA PERIMBANGAN, INVESTASI SWASTA,
TENAGA KERJA TERHADAP PERTUMBUHAN
EKONOMI DI ERA DESENTRALISASI FISKAL
TAHUN 2005-2009 (STUDI KASUS
KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA
TENGAH)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1)
pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
MOCHAMAD RIZKY AZZUMAR
NIM. C2B607039
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011
ii
PERSETUJUAN SKRIPSI
Nama Penyusun : Mochamad Rizky Azzumar
Nomor Induk Mahasiswa : C2B607039
Fakultas/Jurusan : Ekonomi/Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan
Judul Skripsi : PENGARUH PENDAPATAN ASLI
DAERAH, DANA PERIMBANGAN,
INVESTASI SWASTA, TENAGA
KERJA TERHADAP PERTUMBUHAN
EKONOMI DI ERA DESENTRALISASI
FISKAL TAHUN 2005-2009 (STUDI
KASUS KABUPATEN/KOTA PROVINSI
JAWA TENGAH)
Dosen Pembimbing : Dra. Herniwati Retno Handayani, MS.
Semarang, 7 Desember 2011
Dosen Pembimbing,
(Dra. Herniwati Retno Handayani, MS.)
NIP. 19551 128 198103 2004
Mengetahui,
a.n. Dekan,
Pembantu Dekan I
Anis Chariri, SE, M.Com, PhD.Akt
NIP. 196708091992031001
iii
PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN
Nama Mahasiswa : Mochamad Rizky Azzumar
Nomor Induk Mahasiswa : C2B607039
Fakultas/Jurusan : Ekonomi/Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan
Judul Skripsi : PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH,
DANA PERIMBANGAN, INVESTASI
SWASTA, TENAGA KERJA TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI ERA
DESENTRALISASI FISKAL TAHUN 2005-2009 (STUDI KASUS KABUPATEN/KOTA
PROVINSI JAWA TENGAH)
Telah dinyatakan lulus ujian pada tanggal 23 Desember 2011
Tim Penguji
1. Dra. Herniwati Retno Handayani, MS. (………………….)
2.Dra. Johana Maria Kodoatie, M.Ec, Ph.D. (………………….)
3.Fitrie Arianti, S.E., M.Si. (………………….)
Mengetahui,
a.n. Dekan,
Pembantu Dekan I
Anis Chariri, SE, M.Com, PhD.Akt
NIP. 196708091992031001
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Mochamad Rizky Azzumar,
menyatakan bahwa skripsi dengan judul: Pengaruh Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan, Investasi Swasta, dan Tenaga Kerja terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Era Desentralisasi Fiskal Tahun 2005-2009 (Studi
Kasus Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah) adalah tulisan saya sendiri.
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak
terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan
cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang
menunjukkan gagasan atau pendapat atau pemikiran dari penulis lain, yang saya
akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri, dan/atau tidak terdapat bagian
atau keseluruhan tulisan yang saya salin, tiru atau yang saya ambil dari tulisan
orang lain tanpa memberikan pengakuan penulis aslinya.
Apabila saya melakukan tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut
di atas, baik disengaja maupun tidak, dengan ini saya menyatakan menarik skripsi
yang saya ajukan sebagai hasil tulisan saya sendiri. Bila kemudian terbukti bahwa
saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolaholah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijasah yang telah diberikan
universitas batal saya terima.
Semarang, 7 Desember 2011
Yang Membuat Pernyataan,
Mochamad Rizky Azzumar
NIM. C2B006039
v
ABSTRACT
In order to implement regional development, the central government
imposed a system of fiscal decentralization. Where local governments can
regulate and allocate regional income independently. Fiscal decentralization
policiy have been implemented in 2001 which serves to increase regional income
and develop all economic potentials that exist, so it can spur an increase in output
and increase economic activity, and finally will impact on improve social welfare.
During 5 years of fiscal decentralization in the province of Central Java is known
that the period 2005-2009, economic growth of 35 districts/cities in Central Java
province increased every year, but the increases are not occurring at the same time
reducing the gap in each region. From the data obtained in mind the average
amount of GDP based on constant 2000 prices in the largest there are only three
regions, consisting of Semarang City, Cilacap District, and Kudus District.
This research aims to find out the influence of variable original local
income (PAD), balance fund, private investment, labour on economic growth
district or city in Central Java in 2005-2009 fiscal decentralization. The data of
this research is panel data using secondary time series data and secondary cross
section data. Data collected were analyzed with panel data with eviews 6 program.
The method used in this research is the OLS (Ordinary Least Square) with a fixed
effect model or LSDV (Least Square Dummy Variable).
From the research revealed that there is a positive influence among
original local income (PAD), balance fund, private investment, and labour.
However, balance fund and private investment does not significantly affect
economic growth. Unlike the case with original local income and labour have
significant impact on economic growth.
Keywords: fiscal decentralization, economic growth, original local income
(PAD), balance fund, private investment, labour
vi
ABSTRAK
Dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah, pemerintah pusat
memberlakukan sistem desentralisasi fiskal. Di mana pemerintah daerah dapat
mengatur dan mengalokasikan secara mandiri penerimaan daerah. Kebijakan
desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan pada tahun 2001 difungsikan untuk
meningkatkan penerimaan daerah dan mengembangkan seluruh potensi-potensi
ekonomi yang ada, sehingga dapat memacu peningkatan output maupun
meningkatkan aktivitas perekonomian, yang pada akhirnya akan berdampak pada
meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Selama 5 tahun pelaksanaan
desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Tengah yaitu periode tahun 2005-2009
diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah meningkat tiap tahunnya, tetapi peningkatan tersebut tidak sekaligus
mengurangi kesenjangan yang terjadi di tiap daerah. Dari data yang diperoleh
diketahui rata-rata jumlah PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 terbesar
hanya terdapat di tiga daerah, yaitu Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, dan
Kabupaten Kudus.
Penelitian ini bertujuan mengetahui seberapa besar pengaruh variabel
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Investasi Swasta, Tenaga
Kerja terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten atau kota di Jawa Tengah Tahun
2005-2009 di era desentralisasi fiskal. Jenis data penelitian ini adalah data panel
(Pooled data) dengan menggunakan data sekunder berdasarkan urutan waktu
(time series) dan berdasarkan urutan observasi (cross section). Data yang
dikumpulkan dianalisis dengan teknik data panel menggunakan program eviews 6.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS (Ordinary Least Square)
dengan pendekatan fixed effect atau LSDV (Least Square Dummy Variabel).
Dari hasil penelitian diketahui ada pengaruh yang positif antara
pendapatan asli daerah, dana Perimbangan, investasi Swasta, dan tenaga kerja.
Akan tetapi dana perimbangan dan investasi swasta tidak berpengaruh signifikan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Berbeda halnya dengan pendapatan asli
daerah dan tenaga kerja yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Kata Kunci : desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi, PAD, dana
perimbangan, investasi swasta, tenaga kerja.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya serta shalawat kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah menjadi inspirasi dan suri tauladan bagi penulis, atas terselesaikannya
skripsi yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,
Investasi Swasta, dan Tenaga Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era
Desentralisasi Fiskal Tahun 2005-2009 (Studi Kasus Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah). Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi
Program Studi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Diponegoro
Semarang. Penulis menyadari bahwa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak
sangat berarti dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas segala bimbingan,
saran dan kerja sama dari berbagai pihak. Melalui tulisan yang sederhana ini,
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya ditujukan kepada :
1. Bapak Prof. Drs. Mohamad Nasir, M. Si, Akt., Ph.D selaku dekan fakultas
ekonomi Universitas Diponegoro Semarang.
2. Bapak Prof. Drs. H. Waridin Ms., Ph.D selaku Dosen Wali yang telah
sabar mendampingi dan membimbing penulis dan teman-teman IESP
angkatan 2007.
3. Ibu Dra. Herniwati Retno Handayani, MS. selaku dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing,
mengarahkan dan memberikan masukan yang bermanfaat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, khususnya
Jurusan IESP atas bimbingan dan pengajaran yang diberikan dalam masa
studi penulis. Seluruh staf, karyawan Fakultas Ekonomi yang telah
membantu memberikan informasi yang dibutuhkan dan pelayanan
yang baik.
viii
5. Bapak Kusno dan Mas Nanang selaku petugas BPS Jawa Tengah yang
telah membantu dalam memperoleh data.
6. Ibu Riyanti dan Mbak Yossi selaku karyawan BPMD Jawa tengah, terima
kasih atas segala bantuannya dan informasinya kepada penulis.
7. Ayahku tercinta Drs. Mochamad Djunaedi, MM dan Mamaku tersayang
Yuliawati yang selama ini senantiasa sabar dalam membimbing ,berdoa
serta memberikan arahan dalam pendidikan anak-anaknya. Terima kasih
karena telah menjadi motivator hidup agar selalu tetap dijalan yang benar.
Doa dan dukungan kalian merupakan anugerah terindah.
8. Adik-adikku tersayang Mochamad Luthfi Raditya, Rizka Putri Amalina,
Mochamad Farid Naufal, dan Mochamad Zahid Faturrahman yang telah
menjadi motivasi dan pemacu semangat penulis untuk bisa menyelesaikan
skripsi ini. Semangat dan dukungan kalian sangat berharga bagi penulis.
9. Keluarga besar Lenteng Agung yang tidak dapat disebutkan satu per satu
terima kasih atas dukungan moral dan doanya kepada penulis.
10. Teruntuk Lia Natalia, terima kasih atas segala perhatian, kasih sayang dan
kesabaran yang diberikan selama ini. Dirimu yang selalu memberikan
semangat, masukan, doa dan saran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Terima kasih sayang.
11. Untuk Om dan Tante terima kasih untuk pencerahan dan nasihatnya
selama ini. Seluruh keluarga di Karangasem kuningan yang tidak bisa
disebutkan satu per satu. Serta seluruh karyawan 21 arloji terima kasih
untuk dukungan dan doanya kepada penulis.
12. Untuk sahabat-sahabatku senasib dan seperjuangan : Bagus Ardyanto,
Suhael Ishaq, Asman Al Faiz, I Made Yogatama, Teguh Heri S, Teguh
yang telah menemani penulis disaat susah dan senang selama ini.
Terima kasih untuk persahabatan kalian.
13. Teman-teman kost Banjarsari 61 : Faqih, Imam, Afif yang selalu
membantu menghilangkan penat saat menulis skripsi ini. Terus jaga selalu
kekompakkannya.
ix
14. Teman–teman IESP : Arjanggi, Surya Nugraha, Akbar Sisputro, dan
teman seperjuangan IESP angkatan 2007 atas kebersama an dan kenangan
yang tak terlupakan.
15. Teman KKN Desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran (Pungki Agus, Nerfi,
Dyah, Fara, Intan, dan Vila) terima kasih atas pengalaman yang
menyenangkan.
16. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam penulisan Skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Dengan segala
kerendahan hati kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk
perbaikan dan pencapaian hasil yang lebih baik di masa yang akan datang.
Mudah-mudahan skripsi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi dalam
penelitian sejenis.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ....................................................... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ................................................. iii
ABSTRACT ..................................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 23
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................ 25
1.4 Sistematika Penulisan .............................................................. 27
BAB II TELAAH PUSTAKA ........................................................................ 29
2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu ................................ 29
2.1.1 Desentralisasi Fiskal di Indonesia ................................ 29
2.1.2 Hubungan Desentralisasi Fiskal dengan
Pertumbuhan ekonomi .................................................. 34
2.1.3 Penerimaan Daerah (Komponen Desentralisasi Fiskal) 36
2.1.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ........................ 36
2.1.3.2 Dana Perimbangan ............................................ 36
2.1.3.2.1 Dana Bagi Hasil (DBH) .................... 37
2.1.3.2.2 Dana Alokasi Umum (DAU) ............. 37
2.1.3.2.3 Dana Alokasi Khusus (DAK) ............ 39
2.1.3.3 Pinjaman Daerah .............................................. 39
2.1.3.4 Lain-lain Pendapatan ........................................ 40
2.1.4 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi ............................... 40
2.1.5 Teori Pertumbuhan Ekonomi ....................................... 41
2.1.5.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik ................ 41
2.1.5.2 Teori Adam Smith (1723-1790) ....................... 42
2.1.5.2.1 Pertumbuhan Output Total ............... 43
2.1.5.2.2 Pertumbuhan Penduduk ................... 44
2.1.5.3 Teori Harrod-Domar ......................................... 44
2.1.5.4 Teori Solow-Swan ............................................ 46
2.1.6 Pengertian Tenaga Kerja .............................................. 47
2.1.7 Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi ................... 48
2.1.8 Investasi ........................................................................ 49
2.1.9 Investasi Swasta dan Infrastruktur Daerah ................... 51
2.1.10 Penelitian Terdahulu .................................................... 51
2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................. 59
2.3 Hipotesis ................................................................................... 61
xi
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 62
3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional .......................... 62
3.1.1 Variabel Penelitian ....................................................... 62
3.1.2 Definisi Operasional ..................................................... 62
3.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................. 63
3.3 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 65
3.4 Metode Analisis ....................................................................... 65
3.4.1 Analisi Regresi ............................................................. 66
3.4.2 Estimasi Regresi dengan Pendekatan FEM ................. 68
3.4.3 Deteksi Penyimpangan Asumsi Klasik ........................ 71
3.4.3.1 Deteksi Heterokedastisitas ............................. 71
3.4.3.2 Deteksi Autokorelasi ...................................... 72
3.4.3.3 Deteksi Multikolinieritas ................................ 73
3.4.3.4 Deteksi Normalitas ......................................... 74
3.4.4 Pengujian Hipotesis ...................................................... 74
3.4.4.1 Koefisien Determinasi (R
2
) ............................ 74
3.4.4.2 Uji F (Simultan).............................................. 75
3.4.4.3 Uji t (Individu)............................................... 76
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 78
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ..................................................... 78
4.1.1 Gambaran Umum Keadaan Geografis Provinsi Jawa
Tengah .......................................................................... 78
4.1.2 Perkembangan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ....... 80
4.1.3 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah ............. 83
4.1.4 Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Tengah ........... 86
4.1.5 Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah ................... 89
4.1.6 Investasi Swasta Provinsi Jawa Tengah ....................... 92
4.1.7 Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah ............................ 96
4.2 Analisis Data .......................................................................... 98
4.2.1 Deteksi Penyimpangan Asumsi Klasik ........................ 99
4.2.1.1 Deteksi Autokorelasi ...................................... 99
4.2.1.2 Deteksi Heterokedastisitas ............................. 100
4.2.1.3 Deteksi Multikolinearitas ............................... 101
4.2.1.4 Deteksi Normalitas ......................................... 103
4.2.2 Hasil Analisis Regresi .................................................. 104
4.2.3 Pengujian Hipotesis ...................................................... 106
4.2.3.1 Koefisien Determinasi (R
2
) ............................ 106
4.2.3.2 Uji F (Simultan) ............................................. 106
4.2.3.3 Uji t (Individu) ............................................... 107
4.3 Interpretasi Hasil Penelitian ................................................... 110
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 117
5.1 Kesimpulan ............................................................................ 117
5.2 Saran ...................................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 121
LAMPIRAN .................................................................................................... 124
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Pulau Jawa
Tahun 2005-2009 (persen) .............................................................. 4
Tabel 1.2 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000
Provinsi di Jawa Tengah Tahun 2003-2009 .................................... 6
Tabel 1.3 Perbandingan Daerah dengan Rata-rata PDRB Tertinggi dan
Daerah dengan rata-rata PDRB terendah di Provinsi Jawa Tengah. 9
Tabel 1.4 Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Tengah
Tahun Anggaran 2003-2009 ........................................................... 11
Tabel 1.5 Jumlah Rata-rata PDRB Tertinggi dan Jumlah Rata-rata PDRB
Terendah di Provinsi Jawa Tengah ................................................. 24
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu ...................................................... 55
Tabel 4.1 Perjalanan Desentralisasi di Indonesia ............................................ 81
Tabel 4.2 Produk Domestik Bruto (PDRB) atas Dasar Harga
Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
(juta rupiah) .................................................................................... 84
Tabel 4.3 Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (dalam ribu rupiah)........... 87
Tabel 4.4 Realisasi Dana Perimbangan Menurut Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Tengah (dalam ribu rupiah) .................................................... 90
Tabel 4.5 Realisasi Investasi Swasta Menurut Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Tengah .................................................................................... 93
Tabel 4.6 Jumlah Tenaga Kerja Menurut Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Tengah .................................................................................... 97
Tabel 4.7 Hasil Deteksi Autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test ........................................................................ 100
Tabel 4.8 Hasil Deteksi Heterokedastisitas dengan White Test ....................... 101
Tabel 4.9 Hasil Deteksi Multikolinearitas dengan Auxiliary Regression ........ 102
Tabel 4.10 Hasil Regresi Utama Variabel-Variabel Penelitian ....................... 105
Tabel 4.11 Nilai t-Statistik Pengaruh PAD, Dana Perimbangan,
Investasi Swasta, dan Tenaga Kerja terhadap
Pertumbuhan Ekonomi ................................................................. 109
Tabel 4.12 Dummy Pertumbuhan Ekonomi .................................................... 115
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Rata-rata PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2003-2009 (juta rupiah) ................................................... 8
Gambar 1.2 Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2006-2009……………..................................................... 13
Gambar 1.3 Realisasi PMA dan PMDN tahun 2006-2009 Provinsi
Jawa Tengah (rupiah)................................................................... 16
Gambar 1.4 Jumlah Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Tenaga Kerja
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2009.................................... 19
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ...................................................... 59
Gambar 4.1 Deteksi Normalitas ..................................................................... 103
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A Tabel Data Penelitian ................................................................ 124
Lampiran B Hasil Regresi Utama Pengaruh Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan, Investasi Swasta, dan Tenaga Kerja
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi .............................................. 128
Lampiran C Deteksi Penyimpangan Asumsi Klasik
Hasil Deteksi Multikolinearitas (Auxiliary Regression Test) ..... 129
Hasil Deteksi Heterokedastisitas (White Test) ........................... 131
Hasil Deteksi Autokorelasi (Breusch-Godfrey Test) .................. 132
Hasil Deteksi Normalitas (Jarque-Bera) .................................... 133
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan
tujuan masyarakat yakni kesejahteraan yang adil dan makmur. Sejalan dengan
tujuan tersebut, berbagai kegiatan pembangunan nasional diarahkan kepada
pembangunan yang merata ke setiap daerah, khususnya daerah yang cenderung
masih memiliki kelemahan dalam penerimaan pendapatannya.
Kegiatan pembangunan nasional tidak lepas dari peran serta pemerintah
daerah dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia di daerah masing-masing
sebagai upaya memperbesar kemampuan daerah. Untuk itu peningkatannya harus
didukung dengan pembangunan daerah yang dilaksanakan secara serasi dan
terpadu dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional. Pembangunan
ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan
masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu
pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan
suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1997).
Pemerintah daerah dituntut untuk bisa lebih mandiri dalam mengelola
penerimaaan daerah yang ditujukan untuk proses restrukturisasi pembangunan
daerah. Pembangunan daerah yang baik dilakukan secara berkelanjutan sesuai
prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan akar dan sasaran
2
pembangunan nasional yang telah ditetapkan melalui pembangunan jangka
panjang dan jangka pendek.
Otonomi daerah merupakan salah satu bentuk dari program pemerintah
yang dibuat dengan tujuan agar dapat menyelesaikan permasalahan daerah dalam
mengelola informasi kedaerahan, membuat pemerintah daerah berada dalam
posisi lebih baik, untuk memobilisasi sumber daya secara mandiri serta untuk
pencapaian tujuan pembangunan daerah. Kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah dapat menjadikan pemerintah agar lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga
pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan baik. Hal ini berdasarkan asumsi
bahwa pemerintah kabupaten dan kota memiliki pemahaman yang lebih baik
mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat mereka daripada pemerintah pusat
(Kuncoro,2004). Di dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 ditegaskan bahwasanya
“Kebijakan desentralisasi ke daerah diarahkan untuk mencapai
peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas Pemerintah daerah,
keselarasan hubungan antara Pusat dan Daerah serta antar daerah itu sendiri
dalam kewenangan dan keuangan untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan,
demokrasi dan kesejahteraan serta penciptaan ruang yang lebih luas bagi
kemandirian daerah”.
Dengan semakin tinggi keinginan pemerintah dalam melakukan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah ini, maka pemerintah mengeluarkan undangundang yang menyangkut pembangunan daerah yaitu mengenai otonomi daerah,
seperti yang tercantum di dalam dalam UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur
tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Diterapkannya Kedua
undang-undang ini akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi yang luas,
3
nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proposional.
Peraturan perundang-undangan ini perlu diberlakukan melihat kebijakan
sentralistik yang diterapkan oleh pemerintah dahulunya kurang mengalami
peningkatan yang signifikan. Perkembangan dan semakin meningkatnya masalahmasalah mengenai sistem sentralistik membuat pemerintah menyelenggarakan
otonomi daerah yang mulai diterapkan pada tahun 2001 sampai saat ini sehingga
diharapkan perkembangannya dapat mengatasi hambatan bagi pemerintah daerah
dalam mengelola sumber daya untuk dapat mensejahterahkan masyarakatnya dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Bank Dunia (1997) dalam Hadi Sumarsono, dan Sugeng Hadi Utomo
(2009) menyebutkan bahwa antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi
mempunyai kemungkinan kondisi sebagai berikut:
1. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi pengeluaran
pemerintah sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan;
2. Desentralisasi fiskal mempunyai dampak meningkatkan instabilitas
makro ekonomi sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan;
3. Desentralisasi fiskal untuk suatu daerah bisa berdampak positif
ataupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, hal tersebut
tergantung kesiapan kelembagaan daerah tersebut dalam menjalankan
kebijakan desentralisasi fiskal.
Dampak positif diberlakukannya desentralisasi fiskal pada pertumbuhan
ekonomi, dapat dilihat dari perkembangan ekonomi daerah di pulau Jawa. Pulau
4
Jawa merupakan salah satu pulau yang ada di Indonesia yang terdiri dari enam
provinsi didalamnya dengan jumlah penduduk tertinggi dan juga memiliki
kapasitas fiskal yang tinggi. Daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi, akan
mampu menyediakan pelayanan publik yang lebih baik. Berikut adalah persentase
laju pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa tahun 2005-2009 :
Tabel 1.1
Laju Pertumbuhan Ekonomi
di Pulau Jawa Tahun 2005-2009 (persen)
Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009
Rata-rata
Pertumbuhan
DKI 6,01 5,95 6,44 6,22 5,01 5,90
Banten 5,88 5,57 6,04 5,77 4,69 5,57
Jawa Barat 5,6 6,02 6,48 5,84 4,29 5,59
Jawa Tengah 5,35 5,33 5,59 5,46 4,71 5,28
DIY 4,73 3,7 4,31 5,02 4,39 4,41
Jawa Timur 5,84 5,8 6,11 5,94 5,01 5,73
Indonesia 5,69 5,5 6,35 6,01 4,55 5,59
Sumber : BPS, statistik Indonesia,berbagai tahun terbitan
Berdasarkan Tabel 1.1 diketahui bahwa provinsi DKI memiliki rata-rata
pertumbuhan ekonomi tertinggi di bandingkan dengan daerah lain yakni sebesar
5,90 % ; Posisi kedua ditempati oleh Provinsi Jawa Timur dengan rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,73 %. Kemudian Jawa Barat diposisi ketiga
dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,59 % . Provinsi Banten
dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,57 % diposisi keempat;
Jawa Tengah dengan rata-rata sebesar 5,28 % ; dan yang berada diposisi terakhir
yakni DIY dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,41%.
5
Jawa Tengah memiliki pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi dari tahun
2005-2009. Sama halnya dengan provinsi di pulau Jawa lainnya yang cenderung
mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berfluktuatif. Provinsi Jawa
Tengah hanya bisa menduduki posisi kelima yang merupakan provinsi kedua yang
paling terendah dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,28 %. Provinsi
Jawa Tengah dengan kapasitas fiskal yang tinggi serta didukung oleh potensipotensi sumber daya yang dimiliki seharusnya dapat memaksimalkan
keuntungannya tersebut untuk dapat bersaing dengan provinsi yang lain.
Kapasitas fiskal merupakan kemampuan yang dimiliki daerah dalam proses
pembangunan yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, tingkat
industri, serta kemampuan lain daerah dalam upaya meningkatkan jumlah PAD
yang akan diterima. Ditambah dengan jumlah kabupaten/kota yang terbilang
cukup besar yakni sejumlah 35 kabupaten/kota yang secara administratif masuk
didalam pemerintahan daerah provinsi Jawa Tengah. Akan tetapi kondisi riil yang
dapat dicapai belum terlalu menampakkan hasil yang memuaskan dalam proses
pencapaian tujuan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal
yang diterapkan di provinsi Jawa Tengah belum dapat mendorong peningkatan
laju pertumbuhan ekonomi agar dapat bersaing dengan provinsi lain yang ada di
pulau Jawa.
Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari 35 kabupaten/kota memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi yang positif. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000
sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2 berikut :
6
Tabel 1.2
Produk Domestik Regional Bruto
Atas Dasar Harga Konstan 2000 Provinsi di Jawa Tengah
Tahun 2003-2009
Tahun
PDRB Harga Konstan 2000
(juta rupiah)
Pertumbuhan (%)
2003 113520097,31 -2004 118574724,04 4,45
2005 123765613,17 5,00
2006 129091684,60 5,32
2007 132584831,40 5,97
2008 141860992,90 5,33
2009 148512940,69 5,20
Sumber: BPS dalam angka Provinsi Jawa Tengah, diolah
Dari Tabel 1.2 dapat diketahui bahwa jumlah PDRB daerah provinsi Jawa
Tengah tiap tahunnya mengalami kenaikan. Dari tahun 2004-2006, laju
pertumbuhan mengalami kenaikan, yakni berkisar antara 4,45 sampai 5,32 %.
Pencapaian cukup berhasil terjadi di tahun 2008 dengan persentase laju
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,97 %. Akan tetapi kenaikannya berangsur turun
di tahun 2008 dengan persentase kenaikan sebesar 5,33 % dan ditahun 2009
dengan persentase sebesar 5,20 %. Hal ini menunjukan bahwa tingkat
perekonomian di Jawa Tengah secara keseluruhan mengalami kenaikan.
Pertumbuhan ekonominya cenderung positif dan kondisi tersebut akan berdampak
pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat di Jawa Tengah.
Berbeda dengan Todaro (2004) yang menyatakan bahwa, perekonomian
yang tinggi disuatu wilayah tidak mencerminkan kesejahteraan yang merata
bagi seluruh masyarakat wilayah tersebut. Selain itu, tingkat pertumbuhan
7
ekonomi yang cepat tidak dengan sendirinya diikuti oleh pertumbuhan atau
perbaikan distribusi keuntungan bagi segenap penduduk. Peningkatan serta
tingginya pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah diharapkan terjadi
secara merata dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk
membuktikan pernyatan tersebut, maka dapat dilihat dari perkembangan jumlah
rata-rata PDRB menurut Kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah sebagai berikut.
8
Gambar 1.1
Rata-rata PDRB Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2009 (juta rupiah)
Sumber : BPS dalam Angka Provinsi Jawa Tengah, diolah
0 5.000.000 10.000.000 15.000.000 20.000.000 25.000.000
Kota Salatiga
Kota Magelang
Kota Tegal
Kab.Wonosobo
Kab. Blora
Kota Pekalongan
Kab. Rembang
Kab. Batang
Kab. Purbalingga
Kab. Temanggung
Kab. Grobogan
Kab. Banjarnegara
Kab. Sragen
Kab. Purworejo
Kab. Kebumen
Kab.Wonogiri
Kab. Demak
Kab. Pekalongan
Kab. Pemalang
Kab. Tegal
Kab. Magelang
Kab. Jepara
Kab. Boyolali
Kab. Pati
Kab. Banyumas
Kota Surakarta
Kab. Sukoharjo
Kab. Klaten
Kab. Karanganyar
Kab.Kendal
Kab. Brebes
Kab. Semarang
Kab. Cilacap
Kab. Kudus
Kota Semarang
Rp/juta
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
9
Tabel 1.3
Perbandingan Daerah dengan Rata-rata PDRB Tertinggi dan Daerah
dengan rata-rata PDRB terendah di Provinsi Jawa Tengah
Sumber : Data, diolah
Dari Gambar 1.1 dan Tabel 1.3 dapat diketahui bahwa di provinsi Jawa
Tengah, hanya terdapat 3 kabupatan/kota dengan jumlah PDRB diatas rata-rata
PDRB yang ada di provinsi Jawa Tengah yaitu kabupaten Cilacap dengan ratarata sebesar Rp.14.942.513,87 (juta), kemudian kabupaten Kudus dengan rata-rata
sebesar Rp. 15.242.667,77 (juta), dan yang memiliki nilai rata-rata terbesar
ditempati oleh Kota Semarang yang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah
dengan rata-rata sebesar Rp. 24.173.153,16 (juta). Sedangkan rata-rata PDRB
Kabupaten/Kota terendah dimiliki oleh Kota Salatiga dengan rata-rata berkisar
Rp.1.065.374,92 (juta), kemudian Kota Magelang dengan rata-rata
Rp.1.283.128,51 (juta) dan Kota Tegal dengan rata-rata sebesar Rp.1.483.687,46
(juta) . Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal yang
dilakukan di tiap daerah di Jawa tengah juga belum berjalan dengan baik.
Kesenjangan pembangunan antar daerah masih terjadi sehingga perlu penanganan
lebih lanjut dari pemerintah pusat sebagai pelaku utama kebijakan desentralisasi
fiskal untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Daerah dengan Rata-rata PDRB
Tertinggi
Daerah dengan Rata-rata PDRB
Terendah
Kota Semarang Kota Salatiga
Kabupaten Kudus Kota Magelang
Kabupaten Cilacap Kota Tegal
10
Pemerintah provinsi Jawa Tengah pada dasarnya telah berupaya dalam
melaksanakan program otonomi atau desentralisasi fiskal yang disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing kabupaten/kota. Kebijakan desentralisasi fiskal
yang baru mulai diterapkan pada tahun 2001 dirasa belum menampakkan hasil
yang optimal. Hal ini terbukti melihat masih terjadi kesenjangan antara sesama
daerah yang tercermin pada pertumbuhan PDRB yang bervariasi ditiap daerahnya.
Desentralisasi fiskal yang diterapkan tidak serta merta menjadikan seluruh
kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan pertumbuhan
PDRB secara bersamaan. Berdasarkan tabel PDRB atas dasar harga konstan 2000
menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2003-2009, dapat disimpulkan
bahwa meskipun pertumbuhan PDRB berdasarkan harga konstan tahun 2000
secara umum mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, namun hanya sebagian
wilayah saja yang mengalami peningkatan secara signifikan.
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang
luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan untuk
menggali sumber keuangan sendiri. PAD (Pendapatan Asli Daerah) merupakan
salah satu sumber utama pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya desentralisasi fiskal, daerah mempunyai kewenangan yang lebih
besar untuk mengoptimalkan PAD-nya sehingga seharusnya porsi PAD sebagai
komponen penerimaan daerah juga meningkat. Peningkatan PAD yang dianggap
sebagai modal, secara akumulasi akan lebih banyak menimbulkan eksternalitas
11
yang bersifat positif dan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi (Pujiati, 2008).
Perkembangan PAD di provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.3 berikut.
Tabel 1.4
Realisasi Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2003-2009
Tahun Pendapatan Asli Daerah
(ribu rupiah)
Pertumbuhan
(%)
2003 1.175.439.519 -2004 1.266.327.966 7,73
2005 1.436.494.358 13,44
2006 1.902.264.211 32,42
2007 2.104.268.521 10,62
2008 2.339.806.781 11,19
2009 2.573.505.219 9,99
Sumber : BPS dalam Angka Jawa Tengah, diolah
Perkembangan penerimaan daerah di Jawa Tengah dapat dilihat pada
Tabel 1.4 dimana komposisi pendapatan asli daerah yang digali oleh pemerintah
daerah sudah mengalami peningkatan baik dari segi jumlah. Kenaikan terbesar
terjadi pada tahun 2006 dengan laju pertumbuhan PAD sebesar 32,42%. Ini
menunjukkan bahwa penggalian dana oleh pemerintah daerah provinsi Jawa
Tengah melalui sumber daya asli daerah dapat termanfaatkan dengan maksimal.
Peningkatan PAD sangat menentukan sekali dalam penyelenggaraan otonomi
daerah, karena semakin tinggi PAD disuatu daerah maka daerah tersebut akan
menjadi mandiri dan mengurangi ketergantungan kepada pusat sehingga daerah
tersebut mempunyai kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah.
Akan tetapi, Kuncoro (2004) berpendapat bahwa realitas hubungan yang
terjadi antara pemerintah pusat dan daerah ditandai dengan tingginya kontrol
12
pusat terhadap proses pembangunan daerah. Proporsi PAD terhadap total
penerimaan daerah termasuk rendah jika dibandingkan dengan besarnya subsidi
(grant) yang diberikan pusat. Senada dengan Mahi (2005) dalam Kusumadewi
(2010) berpendapat bahwa peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan total
pengeluaran APBD akan semakin menurun. Hal ini mengindikasikan komposisi
peranan mekanisme transfer dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan
mengalami peningkatan untuk mendanai pelayanan publik. Artinya daerah yang
menerima dana perimbangan lebih besar, menunjukan bahwa PAD yang dapat
dihasilkan pada daerah tersebut terbilang kecil dan memiliki potensi sumber daya
yang masih kurang, sehingga perlu dana penyeimbang dari pemerintah pusat agar
dapat menutupi kekurangan dari potensi sumber daya yang dimiliki pada daerah
tersebut. Maka dari itu, keberhasilan desentralisasi fiskal bukan hanya dilihat dari
meningkatnya jumlah PAD tetapi juga dari proporsi transfer dana dari pusat yakni
berupa dana perimbangan. Berikut ini adalah gambaran perkembangan
perimbangan keuangan dari pusat ke daerah dari tahun 2006-2009 provinsi Jawa
Tengah :
13
Gambar 1.2
Perkembangan Dana Perimbangan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006-2009
Sumber : BPS, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota
Berdasarkan Gambar 1.2 diketahui bahwa dari tahun 2006-2009
perkembangan dana perimbangan meningkat secara signifikan. Sumbangan
terbesar di peroleh provinsi Jawa Tengah dari porsi DAU dengan tren ya ng
meningkat. Besarnya DAU hingga tahun 2009 mencapai Rp. 18,25 triliyun.
Besarnya DAU tersebut meningkat dari tahun sebelumya yaitu pada tahun 2006
dengan porsi DAU sebesar Rp.14,95 triliyun. Sementara itu porsi DAK dari
pemerintah pusat terbilang cukup kecil hanya menyumbang sebesar Rp. 899
miliyar pada tahun 2006, akan tetapi berangsur naik dengan jumlah porsi DAK
sebesar Rp. 2,20 triliyun pada tahun 2009. Berbeda dengan transfer DBH yang
trennya justru menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 bes arnya DBH
mencapai Rp.2,33 triliyun kemudian di tahun 2007 sebesar Rp.1,44 triliyun, dan
0
5
10
15
20
25
2006 2007 2008 2009
Rp.14,95 T
Rp. 16,48 T
Rp. 17,39 T
Rp. 18,25 T
Rp.899 M
Rp. 1,29 T
Rp. 1,59 T
Rp. 2,20 T
Rp. 2,33 T
Rp. 1,44 T
Rp. 1,30 T
Rp. 1,80 T
Rp. Trilyun
DBH
DAK
DAU
14
di tahun 2008 semakin turun sebesar Rp. 1,30 triliyun. Akan tetapi pada tahun
2009 porsi DAK semakin membaik dengan jumlah bagi hasil sebesar Rp 1,80
Trilyun. Gambar 1.2 menunjukkan bahwa saat pelaksanaan desentralisasi fiskal
tahun 2006-2009, penerimaan daerah yang bersumber dari dana perimbangan
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun pertumbuhan ekonomi
justru mengalami fluktuasi. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya
dana perimbangan yang tinggi, ketergantungan daerah terhadap dana
perimbangan menjadi sangat tinggi dan kemandirian daerah penghasil PAD
semakin menurun. Jumlah Dana Perimbangan hasil transfer pemerintah pusat
terbilang cukup besar dikarenakan pemerintah Provinsi Jawa Tengah harus
memperhatikan keseluruhan wilayah kabupaten dan kota yang masuk dalam area
pemerintahannya. Sejumlah 29 kabupaten dan 6 kota termasuk jumlah yang
sangat besar sehingga dibutuhkan dana yang besar pula untuk mengatasi
kekurangan pendapatan daerahnya.
Dengan pencapaian tersebut, diharapkan keseluruhan daerah dapat
mengoptimalkan komponen–komponen dan kemampuan yang dimiliki sehingga
pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan menggunakan anggaran pemerintah pusat
yakni dana perimbangan yang meliputi DAU, DAK, dan DBH dalam dana
perimbangan tidak menjadi tolak ukur dalam pendanaan daerah, akan tetapi
menjadi motivasi bagi daerah tersebut untuk menggali potensi-potensi yang
dimiliki dan meningkatkan kemandirian soal pendanaan daerah.
Salah satu tujuan instrumen fiskal dari dana perimbangan yaitu berguna
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melalui belanja pembangunan dan
15
investasi swasta. Kontribusi belanja pembangunan akan menarik investor
untuk dapat berinvestasi di daerah sehingga akan memperluas basis kegiatan
ekonomi di berbagai sektor, dan secara khusus memperluas lapangan usaha
dan menurunkan tingkat pengangguran.
Kegiatan investasi swasta akan berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi, yaitu meningkatnya ketersediaan kapasitas produksi barang dan jasa
yang dibutuhkan masyarakat. Tumbuhnya ekonomi suatu daerah dapat
menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan perkapita.
Investasi swasta yang masuk baik PMA maupun PMDN di Provinsi Jawa
Tengah jumlahnya berfluktuatif dan cenderung tinggi. Investasi ini akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah setempat. Perpindahan modal akan
mendorong berkembangnya pembangunan terpusat pada wilayah-wilayah yang
memiliki harapan laba tinggi, sementara wilayah-wilayah lainnya akan terlantar.
Hal ini menunjukkan bahwa investasi yang tidak merata pada setiap daerah
menyebabkan kelangkaan modal yang mengakibatkan ketidakmerataan
pembangunan. Berikut adalah gambaran realisasi investasi PMA maupun PMDN
Provinsi Jawa Tengah :
16
Gambar 1.3
Realisasi PMA dan PMDN tahun 2006-2009
Provinsi Jawa Tengah (rupiah)
Sumber : BPMD Provinsi Jawa Tengah
Terlihat pada Gambar 1.3 perkembangan yang sangat pesat terjadi pada
PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) tahun 2006-2009, dimana pencapaian
pada tahun 2009 sampai sebesar Rp. 2.570.249.477.157. Hal tersebut menandakan
semakin kuatnya pemodalan yang bersumber dari dalam negeri dalam menunjang
peningkatan perekonomian. Pemasukan yang bersumber dari investasi lokal ini
menandakan bahwa pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah dan masyarakatnya
telah berupaya untuk berperan serta membangun perekonomian daerah tersebut.
Jumlah investasi swasta berupa PMA tahun 2008 juga mengalami kenaikan yaitu
sebesar Rp. 1.299.667.664.031 dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp.
916.754.515.077, di tahun 2009 kembali turun sebesar Rp. 939.618.024.778.
Jumlah proyek yang masuk juga mengalami penurunan, di tahun tahun 2007
0
500.000.000.000
1.000.000.000.000
1.500.000.000.000
2.000.000.000.000
2.500.000.000.000
3.000.000.000.000
3.500.000.000.000
2006 2007 2008 2009
PMA
PMDN
17
proyek yang masuk sejumlah 43 dengan penyerapan tenaga kerja sejumlah 11.929
orang kemudian di tahun berikutnya yaitu tahun 2008 sejumlah 35 proyek dengan
penyerapan tenaga kerja sejumlah 8.630 orang dan turun kembali di tahun 2009
dengan jumlah proyek sebesar 31 proyek dan penyerapan tenaga kerja sebesar
4191 orang . Berbeda dengan investasi PMA, jumlah investasi PMDN di provinsi
Jawa Tengah yang masuk tahun 2008 cenderung mengalami kenaikan, yakni
sebesar Rp. 276.469.001.339 di tahun 2007, kemudian Rp. 1.336.340.570.821 di
tahun 2008 dan Rp. 2.570.249.477.157 di tahun 2009. Jumlah proyek yang masuk
juga memperlihatkan kenaikan yaitu 15 proyek dengan penyerapan tenaga kerja
sebesar 6422 orang di tahun 2008 jauh lebih banyak dibandingkan tahun
sebelumnya dengan hanya menarik investasi sejumlah 5 proyek . Kota Semarang
sebagai benchmark untuk Provinsi Jawa Tengah pada nilai investasi USD juga
mengalami penurunan dari nilai investasi sebesar USD 17.571.211 di tahun 2007
dan ditahun 2008 mengalami penurunan drastis yaitu dengan nilai investasi
sebesar USD 7.015.650. Hal tersebut terjadi dikarenakan kondisi perekonomian
pada tahun 2008 cukup bergejolak dengan adanya krisis global yang melanda
seluruh negara di dunia. Tumbuhnya iklim investasi yang sehat dan kompetitif
sangat diharapkan karena akan memacu perkembangan investasi yang saling
menguntungkan baik bagi pemerintah daerah, pihak swasta maupun terhadap
masyarakatnya.
Laju pertumbuhan perekonomian juga menunjukkan tingkat kenaikan
GNP riil. Faktor penyebab pertumbuhan GNP riil adalah jumlah sumber daya
yang tersedia mengalami perubahan. Sumber daya dalam perekonomian dibagi
18
menjadi barang modal dan tenaga kerja. Tenaga kerja dibedakan menjadi dua
yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah tenaga
kerja yang terdiri dari mereka yang bekerja dan mereka yang menganggur dan
juga mencari pekerjaan. Bukan angkatan kerja yaitu mereka yang bersekolah atau
mengurus rumah tangga. Angkatan kerja yang terdiri baik orang yang sedang
bekerja maupun sedang mencari pekerjaan, mengalami pertumbuhan sepanjang
waktu dan dengan demikian menyediakan satu sumber bagi peningkatan produksi
(Dornbusch dan fisher,1994).
Menurut Parhah (2002) semakin besar jumlah tenaga kerja akan
meningkatkan jumlah output yang dihasilkan di dalam perekonomian. Tenaga
kerja sebagai salah satu faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi
peranannya dipengaruhi oleh ketrampilan, tingkat pendidikan, dan daya kreasi
yang dimiliki oleh tenaga kerja tersebut. Semakin tinggi tenaga kerja tersebut
memiliki kemampuan itu, maka akan cenderung meningkatkan produktivitasnya.
Meningkatnya produktivitas tenaga kerja dalam bentuk meningkatnya output yang
dihasilkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sejalan dengan Muhammad Arief Dirgantoro, dkk (2009) menyatakan
bahwa angkatan kerja merupakan salah satu faktor produksi yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, apabila angkatan kerja tidak dapat terserap
seluruhnya dipasar kerja maka akan terjadi pengangguran.
Penduduk yang bertambah akan memperbesar jumlah tenaga kerja,
penambahan tersebut akan mendorong suatu daerah untuk menambah
produksinya. Pertumbuhan penduduk (angkatan kerja) yang disertai dengan
19
tersedianya lapangan pekerjaan akan meningkatkan output perekonomian. Akan
tetapi akan berakibat buruk ketika pertambahan penduduk tersebut tidak
diimbangi oleh kesempatan kerja yang ada, sehingga peningkatan ekonomi yang
diharapkan tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan. Pertumbuhan jumlah
tenaga kerja (orang yang bekerja) provinsi Jawa Tengah dari tahun 2003-2009
dapat dilihat pada Gambar 1.4 berikut :
Gambar 1.4
Jumlah Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Tenaga Kerja
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2009
Sumber: BPS Jawa Tengah 2003-2009, diolah
Berdasarkan Gambar 1.4 ditunjukkan bahwa perkembangan tenaga kerja
pada tahun 2003-2009 cenderung berfluktuatif. Pada tahun 2005 kenaikannya
sebesar 4,86 % dan menurun di tahun 2006 sebesar -2,84% . Di tahun berikutnya,
yaitu tahun 2007 mengalami kenaikan lebih besar dari tahun sebelumnya sebesar
7,19 % kemudian turun pada tahun 2008 dengan penurunan drastis sebesar -5,15
Pertumbuhan
(%)
2003 -2004 -1,75
2005 4,86
2006 -2,84
2007 7,19
2008 -5,15
2009 2,40
-1,75
4,86
-2,84
7,19
-5,15
2,40
14.000
14.500
15.000
15.500
16.000
16.500
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
ribu jiwa
20
% dan ditahun 2009 mengalami kenaikan kembali sebesar 2,40 %. Dampak krisis
keuangan global yang terjadi pada pertengahan tahun 2008 berdampak pada
menurunnya kondisi perekonomian di seluruh provinsi yang ada di Indonesia,
termasuk Provinsi Jawa Tengah. Pada fase tersebut faktor-faktor produksi barang
ekspor mengalami hambatan, sehingga beban biaya produksi harus dikurangi
dengan cara mengurangi sebagian jumlah tenaga kerja. Pemerintah daerah sebagai
pengambil kebijakan seharusnya dapat lebih fokus menanggulangi permasalahan
yang serius ini. Penurunan sekitar -5,15 % ditahun 2008 dinilai sangat
mempengaruhi stabilitas ekonomi Provinsi Jawa Tengah. Maka dari itu, kenaikan
jumlah tenaga kerja dirasa perlu dalam upaya menaikan pertumbuhan ekonomi
khususnya daerah di era desentralisasi fiskal.
Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hubungan desentralisasi fiskal
dan pertumbuhan ekonomi, sebelumnya berfokus pada pelaksanaan desentralisasi
dengan permasalahan ketimpangan dan kesenjangan. Seperti penelitian Bonet
(2006) yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal pada negara
berkembang (studi kasus Kolombia) berpengaruh terhadap tingginya ketimpangan
antar wilayah. Penelitian Waluyo (2007) berpandangan bahwa kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia belum mampu mengurangi kesenjangan
pendapatan antara daerah. Persamaan konsep antara pandangan dua kultur negara
berkembang yang berbeda dan mengenai belum maksimalnya pengaruh
desentralisasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, mementahkan konsep dasar
diterapkannya desentralisasi fiskal daerah yaitu sebagai alat untuk
21
memaksimalkan faktor-faktor pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan
di daerah.
Sementara itu, terdapat pandangan berbeda mengenai hubungan
desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi, yaitu penelitian Oates (1993)
dan penelitian Woller dan Philips (1998). Menurut Oates (1993) dalam Parhah
(2002) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal akan menciptakan efisiensi
ekonomi dan memiliki pengaruh pembentukan dinamis pada pertumbuhan
ekonomi. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi yaitu karena
pemerintahan lokal mempunyai posisi yang lebih baik daripada pemerintah pusat
untuk menyalurkan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh pemerintah lokal,
yang selanjutnya efisiensi ekonomi akan mendorong pertumbuhan ekonomi di
tingkat lokal dan pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan penelitian Woller dan Philips
(1998) menyebutkan desentralisasi fiskal memiliki hubungan negatif dengan
pertumbuhan ekonomi dan Davoodi dan Zou (1998) juga memiliki pendapat yang
sama bahwa semakin tingginya tingkat desentralisasi fiskal kepada daerah
maka akan semakin menurunkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara
berkembang. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan desentralisasi fiskal
dalam beberapa hal menjadi kurang menguntungkan bagi pembangunan. Faktor
tersebut antara lain komposisi pengeluaran pemerintah, penetapan pendapatan
yang kurang tepat oleh pemerintah daerah, keuntungan efisiensi desentralisasi
fiskal yang kurang materiil di negara-negara berkembang dan ketidakcakapan
aparatur daerah dalam mengelola potensi daerah dengan maksimal.
22
Dampak positif desentralisasi fiskal yang terjadi pada suatu negara
atau daerah dalam periode tertentu belum bisa dijadikan tolok ukur bahwa
transfer keuangan publik antar pemerintah akan memberikan imbas positif
pula di daerah lain pada waktu yang sama. (Wibowo, 2008). Sejalan dengan
Sjafrizal (2008) yang berpendapat bahwa, pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal pembangunan akan menyebabkan setiap daerah, termasuk
daerah terbelakang dapat lebih berwewenang untuk menggali potensi daerahnya
akan meningkatkan pertumbuhan daerahnya dan secara bersamaan kesenjangan
pembangunan antar wilayah akan dapat pula dikurangi.
Banyaknya hasil studi yang berbeda-beda mengenai kebijakan
desentralisasi ini, menarik peneliti untuk mencoba menganalisis kembali
penelitian-penelitian sebelumnya dengan menggunakan indikator-indikator yang
sesuai, yang dapat memperjelas penjelasan mengenai apakah desentralisasi fiskal
yang diterapkan akan benar-benar berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
yang ada di daerah, khususnya di kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai objek
penelitian bagi peneliti. Pengambilan lokasi di Jawa Tengah dikarenakan tingkat
pertumbuhan ekonomi di Jawa tengah termasuk salah satu daerah yang memiliki
tingkat pertumbuhan yang masih tertinggal dibandingkan dengan 5 provinsi
lainnya yang ada berada di pulau Jawa antara lain DKI, Banten, Jawa Barat, DIY,
dan Jawa Timur. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan desentralisasi yang sudah
dilaksanakan belum maksimal dilakukan, melihat Jawa Tengah merupakan salah
satu provinsi yang terbesar di pulau Jawa yang mempunyai kapasitas fiskal yang
tinggi sebagai pendorong bagi penerimaan daerah yang akan diterima. Hal ini
23
yang melatarbelakangi peneliti untuk mengangkat judul tentang “ Pengaruh
Pendapatan Asli daerah, Dana Perimbangan, Investasi Swasta dan Tenaga
Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Desentralisasi Fiskal (Studi
Kasus Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah) ”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Pelaksanaan desentralisasi fiskal merupakan pendorong bagi peningkatan
perekonomian di suatu daerah. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu
daerah terbesar di Pulau Jawa dengan kapasitas fiskal yang tinggi dan jumlah
wilayah terbanyak kedua di Pulau Jawa setelah Jawa Timur yakni sebesar 35
kabupaten/kota memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah
daerahnya untuk mengelola potensi sumber daya di tiap daerah. Akan tetapi
kondisi riil yang ada menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah dengan
pertumbuhan PDRB yang semakin meningkat dari tahun ke tahun masih
dinilai tertinggal dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa. Kesenjangan antar
daerah masih terjadi dengan hanya terdapat 3 wilayah dengan jumlah PDRB
diatas rata-rata PDRB di provinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Cilacap,
Kabupaten Kudus, dan Kota Semarang. Kabupaten dan kota lainnya termasuk
dalam kategori dibawah rata-rata. Dapat dilihat pada Tabel 1.5 berikut.
24
Tabel 1.5
Jumlah Rata-rata PDRB Tertinggi dan Jumlah Rata-rata PDRB
Terendah di Provinsi Jawa Tengah
Daerah dengan
Rata-rata PDRB
Tertinggi
Rata-rata PDRB
( juta rupiah)
Daerah dengan
Rata-rata PDRB
Terendah
Rata-rata PDRB
(juta rupiah)
Kota Semarang Rp.24.173.153,16 Kota Salatiga Rp.1.065.374,92
Kabupaten Kudus Rp.15.242.667,77 Kota Magelang Rp.1.283.128,51
Kabupaten Cilacap Rp.14.942.513,87 Kota Tegal Rp. 1.483.687,46
Sumber : data, diolah
Dari Tabel 1.5 dapat dilihat bahwa kesenjangan antara daerah dengan ratarata PDRB tertinggi dan daerah dengan rata-rata terendah posisinya sangat
jauh sehingga menyebabkan penyebaran pertumbuhan ekonomi dalam rangka
mensejahterakan masyarakat di era desentralisasi belum tercapai. Dalam hal
ini dibutuhkan peningkatan jumlah PAD dan dana perimbangan sebagai
indikator pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal guna mendorong
perekonomian dan pemerataan daerah. Peningkatan yang disertai dengan
intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi akan menarik sejumlah investor
untuk berinvestasi ke daerah dan akan berdampak pada meningkatnya
kesempatan kerja yang pada akhirnya akan mengatasi disparitas pendapatan
yang terjadi di daerah.
2. Adanya ketidakkonsistenan penelitian terdahulu (research gap) tentang
hubungan desentralisasi fiskal dan petumbuhan ekonomi daerah, yaitu antara
lain perbedaan pandangan antara penelitian Oates (1993) dan penelitian
Woller dan Philips (1998). Oates (1993) menyebutkan bahwa desentralisasi
25
fiskal akan menciptakan efisiensi ekonomi dan berpengaruh terhadap
pembentukan dinamis pada pertumbuhan ekonomi. Berbeda hal dengan
Woller dan Philips (1998) yang menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal
memiliki hubungan yang negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Perbedaan
yang mendasar tersebut menarik peneliti untuk mengkaji lebih dalam
mengenai penelitian ini yang mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya
dengan menggunakan komponen-komponen desentralisasi fiskal yang juga
sebagai indikator bagi pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka pertanyaan
yang menarik untuk diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh pendapatan asli daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi di kabupaten/Kota di Jawa Tengah
2. Bagaimana pengaruh dana perimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Tengah
3. Bagaimana pengaruh investasi swasta terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Tengah
4. Bagaimana pengaruh tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Tengah
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah :
26
1. Menganalisis pengaruh pendapatan asli daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi di kabupaten/Kota di Jawa Tengah
2. Menganalisis pengaruh dana perimbangan terhadap pertumbuhan
ekonomi kabupaten/kota di Jawa Tengah
3. Menganalisis pengaruh investasi swasta terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Tengah
4. Menganalisis pengaruh tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Adapun Kegunaan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai bahan masukan dan rekomendasi bagi pembuat kebijakan yakni
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya daerah provinsi Jawa
Tengah sebagai objek penelitian dalam upaya mendorong perekonomian
daerah sehingga proses kebijakan desentralisasi fiskal ke daerah dapat
berjalan dengan baik dan berkelanjutan yang disesuaikan dengan
kemampuan manajemen pengelolaan keuangan provinsi Jawa Tengah
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya dalam melakukan
penelitian yang sejenis dan sumbangan pemikiran tentang pengembangan
ekonomi publik, pembangunan, dan otonomi daerah.
27
1.4 Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini akan dibagi dengan lima bab dengan
sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab pertama akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah
pemilihan judul penelitian yaitu pengaruh pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, investasi swasta, dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi
di era desentralisasi fiskal, perumusan masalah, serta tujuan dan kegunaan dari
penelitian.
BAB II : TELAAH PUSTAKA
Pada bab kedua akan dijelaskan mengenai landasan teori yang mendasari
penelitian, adapun teori yang akan diangkat dalam penelitian yaitu teori dasar
pertumbuhan ekonomi, yang meliputi teori pertumbuhan ekonomi klasik, teori
Adam Smith (1723-1790), teori Solow Swan, dan teori Harrord Domar.
Kemudian akan dibahas juga penjelasan umum mengenai variabel-variabel yang
akan diambil, pengembangan konsep kerangka pemikiran serta hipotesis
penelitian.
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ketiga akan dijelaskan mengenai definisi operasional variabelvariabel penelitian, penjelasan mengenai jenis dan sumber data, dan metode
analisis pengolahan data yang digunakan dalam penelitian.
28
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab empat akan dijelaskan mengenai hasil yang didapat setelah
mengadakan penelitian yang mencangkup gambaran umum penelitian, hasil
analisis data panel yang mencangkup 35 kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah,
hasil perhitungan data dengan alat analisis regresi OLS (Ordinary Least Square) ,
dan inteprestasi hasil dari penelitian.
BAB V : PENUTUP
Pada bab kelima yang merupakan bab penutup, akan dijelaskan mengenai
kesimpulan dan saran setelah dilakukan penelitian. Kesimpulan adalah penjelasan
singkat tentang hasil dari penelitian yang telah dirangkum dan saran merupakan
masukan untuk penelitian selanjutnya.
29
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu
Berbagai teori yang akan dikemukakan adalah merupakan dasar dalam
perumusan hipotesis dan landasan dalam melakukan analisis penelitian ini.
Dalam landasan teori ini akan dibahas mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia,
hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi, penerimaan
daerah (komponen desentralisasi fiskal), tenaga kerja, serta investasi dan
infrastruktur daerah. Dasar teori yang digunakan sebagai landasan dalam
penelitian adalah teori pertumbuhan, antara lain teori pertumbuhan klasik, teori
pertumbuhan Adam Smith (1723-1790), teori pertumbuhan Solow Swan, dan teori
pertumbuhan Harrord Domar.
Disamping itu, untuk dapat membandingkan hasil-hasil penelitian
sejenisnya atau yang memiliki tema hampir sama secara empiris, maka
dilengkapi juga dengan beberapa penelitian terdahulu tentang desentralisasi fiskal
dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian-penelitian tersebut kemudian digunakan
menjadi acuan serta pembanding dalam penelitian ini.
2.1.1 Desentralisasi fiskal di Indonesia
Definisi desentralisasi menurut UU No.32 tahun 2004 :
“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
30
Salah satu tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk
menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga pelayanan
pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Hal ini berdasarkan
asumsi bahwa pemerintah kabupaten dan kota memiliki pemahaman yang lebih
baik mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat mereka dari pada pemerintah
pusat.
Desentralisasi terfokus pada tingkat kabupaten dan kota. Kedua
pemerintahan tersebut berada pada level ketiga setelah pemerintah pusat dan
provinsi. Beberapa pengamat menyarankan bahwa desentralisasi harus
dilaksanakan pada tingkat provinsi karena provinsi dianggap memiliki kapasitas
yang lebih besar untuk menangani seluruh tanggung jawab yang dilimpahkan dari
pada kabupaten dan kota. Walaupun demikian, sudah menjadi rahasia umum
bahwa pemerintah pusat merasa tidak diuntungkan secara politis jika harus
membentuk pemerintahan otonom provinsi yang kuat. Alasannya adalah akan
menjadi potensi yang disintegrasi yang semakin kuat (Arsyad,2004)
Terdapat beberapa alasan untuk mempunyai sistem pemerintahan yang
terdesentralisai Simanjuntak (2001) dalam Pujiati (2008): (1) Representasi
demokrasi, untuk memastikan hak seluruh warga negara untuk berpartisipasi
secara langsung pada keputusan yang akan mempengaruhi daerah (2) Tidak dapat
dipraktekkannya pembuatan keputusan yang tersentralisasi, adalah tidak realistis
pada pemerintahan yang sentralistis untuk membuat keputusan mengenai semua
pelayanan rakyat seluruh negara, terutama pada negara yang berpenduduk besar
seperti Indonesia (3) Pengetahuan lokal (local knowledge), mereka yang berada
31
pada daerah lokal mempunyai pengetahuan yang lebih banyak mengenai
kebutuhan lokal, prioritas, kondisi, dll (4) Mobilitas sumber daya, mobilitas pada
bantuan dan sumber daya dapat di fasilitasi dengan hubungan yang lebih erat di
antara populasi dan pembuat kebijakan pada tingkat lokal.
Menurut pasal 14 UU No. 32 tahun 2004, Urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
32
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Pada hakekatnya, terdapat tiga prinsip dalam implementasi otonomi
daerah di Indonesia, yaitu:
1. Desentralisasi, yaitu adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada kabupaten/kota sehingga otonomi lebih dititikberatkan
pada daerah tersebut.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
3. Tugas pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dan pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Sementara itu Bahl (1998) mengemukakan adanya prinsip-prinsip untuk
melaksanakan desentralisasi fiskal, yaitu
33
1. Desentralisasi fiskal adalah sebuah sistem yang komprehensif yang
melibatkan level pemerintahan dan mendukung desentralisasi secara
umum.
2. Prinsip money follow function, dimana pelimpahan wewenang harus
diikuti dengan anggaran yang memadai untuk melaksanakan wewenang
tersebut.
3. Adanya kemampuan yang kuat untuk memonitor dan mengevaluasi
pelaksanaan desentralisasi dari pemerintah pusat.
4. Harus memperhatikan karakteristik dan kemampuan masing-masing
daerah dalam memberikan wewenang.
5. Harus ada taxing power yang kuat dari pemerintah daerah untuk
melaksanakan tugas-tugas desentralisasi.
6. Pemerintah pusat harus konsisten dalam melaksanakan desentralisasi dan
sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya.
7. Dibuat sesederhana mungkin dengan formula yang tidak rumit terutama
dalam pelimpahan wewenang.
8. Desain dana perimbangan harus sesuai dengan tujuan dari desentralisasi
fiskal.
9. Desentralisasi fiskal harus memperhatikan keperntingan-kepentingan dari
tiap level pemerintahan agar tidak terjadi tumpang tindih tugas dan
wewenang.
10. Sistem yang dikembangkan dalam dana perimbangan bisa disesuaikan
dengan perkembangan yang ada.
34
11. Harus ada daerah yang sukses dan menjadi daerah percontohan untuk
pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Dari beberapa uraian di atas, desentralisasi fiskal adalah sebagai
konsekuensi dari adanya pelimpahan wewenang sehingga daerah juga lebih
leluasa untuk mendapatkan anggaran lebih untuk melaksanakan tugas
desentralisasi. Pemerintah daerah dalam meningkatkan anggaran bisa melalui
optimalisasi penerimaan daerah sendiri dan transfer dana perimbangan dari
pemerintah pusat.
2.1.2 Hubungan Desentralisasi Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan teori Tiebout dalam (Sumarsono dan Hadi Utomo,2009) yang
menjadi landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan
wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani kebutuhan
barang publik dengan lebih baik dan efisien. Kondisi peningkatan pelayanan
barang publik ini dalam kaitannya hubungan antar daerah otonom akan
memberikan kondisi kompetisi persaingan antar kabupaten/kota untuk
memaksimalkan kepuasan bagi masyarakat. Penyebab mendasar dari peningkatan
kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih
mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakatnya, sehingga program-program
dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan. Lebih jauh Tiebout
menyatakan bahwa, adanya kebijakan desentralisasi fiskal, secara tidak langsung
memunculkan kompetisi antar daerah otonom dalam meningkatkan pelayanan
35
kepada masyarakat, dimana daerah dengan pelayanan yang baik akan
memaksimalkan utilitas masyarakat. Senada dengan Davoodi dan Zou (1998)
yang mengatakan bahwa desentralisasi fiskal akan memunculkan kompetisi atau
persaingan antar daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesamaaan
pandangan antara apa yang diharapkan oleh masyarakat dengan program yang
dilakukan oleh pemerintah daerahnya.
Oates (1993) menyatakan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan
outcome dari kesesuaian preferensi masyarakat dengan pemerintah daerah
yang tercipta karena makin pentingnya peran pemerintah daerah dalam otonomi
daerah. Secara teori, desentralisasi fiskal di perkirakan akan memberikan
peningkatan ekonomi mengingat pemerintah daerah mempunyai kedekatan
dengan masyarakatnya dan mempunyai keunggulan informasi dibanding
pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan
publik yang benar-benar dibutuhkan di daerahnya. Tanggung jawab fiskal yang
semakin besar oleh Pemda dapat menstimulus pembangunan. Hal ini akan
berdampak pada hubungan positif yang akan terjadi antara pendelegasian fiskal
yang semakin besar dengan tingkat kesejahteraan penduduk di daerah. Adanya
desentralisasi fiskal akan berpotensi memberikan kontribusi dalam bentuk
peningkatan efisiensi pemerintahan dan laju pertumbuhan ekonomi. (Wibowo,
2008).
36
2.1.3 Penerimaan Daerah (Komponen Desentralisasi Fiskal)
Sumber-sumber penerimaan daerah menurut undang-undang No.33 tahun
2004 adalah sebagai berikut :
2.1.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian
sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri
sesuai dengan potensinya masing-masing. PAD mencerminkan local taxing power
yang “cukup” sebagai necessary condition bagi terwujudnya otonomi daerah
yang luas karena nilai dan proporsinya yang cukup dominan utuk mendanai
daerah (Simanjuntak, 2005). Secara teoritis pengukuran kemandirian daerah
diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber PAD berasal dari pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengolahan
kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang
sah.
2.1.3.2 Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan
fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antar pemerintah
daerah. pengembangan ekonomi lokal. Adapun jenis-jenis dana perimbangan
adalah sebagai berikut :
37
2.1.3.2.1 Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, misalnya dana bagi
hasil pajak (DBHP) dan dana bagi hasil bukan pajak (DBHBP). Dana bagi
hasil dibagi berdasarkan persentase tertentu bagi pemerintah pusat dari eksploitasi
sumber daya alam seperti minyak dan gas, pertambangan dan kehutanan yang
dibagi dalam porsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten
dan kota. Penerimaan yang di bagi hasilkan terdiri atas :
1. Penerimaan Pajak :
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
b. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
c. PPh Orang Pribadi
2. Penerimaan Bukan Pajak :
a. Sektor Kehutanan
b. Sektor Pertambangan Umum
c. Sektor Minyak Bumi dan Gas Alam
d. Sektor Perikanan
2.1.3.2.2 Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
38
DAU dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di
Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan
dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah. Dana Alokasi Umum merupakan block grants
yang diberikan kepada semua kabupaten/kota untuk tujuan mengisi kesenjangan
antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa
daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah
kaya. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU adalah dalam rangka
pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antara pemerintah daerah.
Secara definisi, DAU dapat diartikan sebagai berikut :
1. Salah satu komponen dari dana perimbangan pada APBN, yang
mengalokasikan didasarkan atas konsep kesenjangan fiskal atau celah
fiskal (fiscal Gap), yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas
fiskal
2. Instrumen untuk mengatasi horizontal balance, yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah dimana
penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah
3. Equalization grant, yaitu berfungsi untuk menentralisasi ketimpangan
kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi
Hasil SDA yang diperoleh Daerah.
39
2.1.3.2.3 Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
perioritas nasional. DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk
tujuan khusus, karena itu alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat
sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus.
Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:
1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik daerah terpencil yang tidak
mempunyai akses yang memadai ke daerah lain.
2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung
transmigrasi.
3. Kebutuhan prasaran dan sarana fisik yang terletak di daerah
pesisir/kepulauan yang kurang memadai.
4. Kebutuhan sarana dan prasarana fisik di daerah guna mengatasi dampak
kerusakan lingkungan.
2.1.3.3 Pinjaman Daerah
Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan penyediaan
prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), daerah juga dapat
melakukan pinjaman baik dari dalam negeri (Pusat dan Lembaga Keuangan)
maupun dari luar negeri dengan persetujuan Pusat.
40
2.1.3.4 Lain-lain pendapatan
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana
darurat (Nurcholis, 2005). Hibah kepada daerah, yang bersumber dari luar
negeri, dilakukan melalui pemerintah (pusat). Pemerintah mengalokasikan dana
darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak (bencana nasional dan
atau peristiwa luar biasa) yang tidak dapat diatasi oleh daerah dengan
menggunakan sumber APBD.
2.1.4 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Sadono Sukirno (1994), pertumbuhan ekonomi adalah
perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa
yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat
meningkat. Ukuran yang sering di gunakan dalam menghitung pertumbuhan
ekonomi adalah Produk Domestik Bruto (PDB).
Pertumbuhan ekonomi menerangkan atau mengukur prestasi dari
perkembangan suatu perekonomian. Dalam kegiatan ekonomi yang sebenarnya
pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan ekonomi fiskal yang terjadi di suatu
negara, seperti pertambahan jumlah dan produksi barang industri, perkembangan
infrastruktur, pertambahan jumlah sekolah, pertambahan produksi kegiatan
ekonomi yang sudah ada, dan berbagai perkembangan lainnya.
Menurut Todaro (2003), terdapat tiga faktor atau komponen utama dalam
pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, yaitu :
1. Akumulasi Modal
41
2. Pertumbuhan Penduduk
3. Kemajuan teknologi
Menurut Adam Smith dalam Kuncoro (2004) proses pertumbuhan akan
terjadi secara simultan dan memiliki hubungan keterkaitan antara satu dengan
yang lain. Timbulnya peningkatan kinerja pada suatu sektor akan meningkatkan
daya tarik bagi pemupukan modal, mendorong kemajuan teknologi, meningkatkan
spesialisasi dan memperluas pasar. Hal ini akan mendorong pertumbuhan
ekonomi semakin pesat.
Boediono (1992) menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan output dalam jangka panjang. Pemakaian indikator pertumbuhan
ekonomi akan dilihat dalam kurun waktu yang cukup lama, misalnya sepuluh,
duapuluh, lima puluh tahun atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi akan terjadi
artinya harus berasal dari kekuatan yang ada di dalam perekonomian itu sendiri.
2.1.5 Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.1.5.1 Teori pertumbuhan ekonomi klasik
Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik, ada empat faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi :
1. Jumlah penduduk,
2. Jumlah stok barang-barang modal,
3. Luas tanah
4. Kekayaan alam, serta
5. Tingkat teknologi yang digunakan
42
Namun meskipun pertumbuhan ekonomi tergantung dari banyak faktor,
ahli-ahli ekonomi klasik terutama menitik beratkan perhatiannya kepada
pertambahan penduduk. Ini dikarenakan hukum yang dianut ekonomi klasik yaitu
hukum hasil tambahan yang semakin berkurang dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak akan terus-menerus
berlangsung, apabila penduduk semakin banyak, maka pertambahannya bukan
menaikan pertumbuhan ekonomi malah akan menurunkan tingkat kegiatan
ekonomi karena produktivitasnya telah menjadi negatif. Ekonomi akan mencapai
tingkat perkembangan yang sangat rendah. Apabila Keadaaan ini di capai,
ekonomi dikatakan telah mencapai keadaan yang tidak berkembang (stationary
state). Pada keadaan ini pendapatan pekerja hanya mencapai tingkat cukup hidup
(subsisten)
2.1.5.2 Teori Adam Smith (1723-1790)
Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the nature and Cause of the
wealth of Nation (1776) mengemukakan tentang konsep pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang secara sistematis.
Agar inti dari proses pertumbuhan ekonomi menurut Smith ini mudah
dipahami, di bedakan menjadi dua aspek utama pertumbuhan ekonomi yaitu :
a. Pertumbuhan output total
b. Pertumbuhan penduduk
43
2.1.5.2.1 Pertumbuhan Output total
Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara menurut Smith ada tiga, yaitu :
1. Sumber daya alam yang tersedia
2. Sumber daya insani ( atau jumlah penduduk)
3. Stok barang yang ada
Menurut Smith, sumber daya alam yang tersedia merupakan wadah yang
paling mendasar dari kegiatan produksi suatu masyarakat. Jumlah Sumber daya
alam yang tersedia merupakan “batas maksimum” bagi pertumbuhan suatu
perekonomian. Maksudnya jika sumber daya ini belum digunakan sepenuhnya,
maka jumlah penduduk dan stok modal yang ada yang memegang peranan dalam
pertumbuhan output. Tetapi pertumbuhan output tersebut akan berhenti jika
semua sumber daya alam tersebut telah digunakan secara penuh.
Sumber daya insani (jumlah penduduk) mempunyai peranan yang pasif
dalam proses pertumbuhan output. Maksudnya jumlah penduduk akan
menyesuaikan diri dengan kebutuhan akan tenaga kerja dari suatu masyarakat.
Stok modal merupakan unsur produksi yang secara aktif menentukan
tingkat output. Peranannya sangat sentral dalam proses pertumbuhan output.
Jumlah dan tingkat pertumbuhan output tergantung pada laju pertumbuhan stok
modal sampai “batas maksimum” dari sumber daya alam).
Pengaruh stok modal terhadap tingkat output total bisa secara langsung
dan tidak langsung. Pengaruh langsung ini maksudnya adalah karena pertambahan
modal (sebagai input) akan langsung meningkatkan output. Sedangkan pengaruh
tidak langsung maksudnya adalah peningkatan produktivitas per kapita yang
44
dimungkinkan karena adanya spesialisasi dan pembagian kerja yang lebih tinggi.
Semakin besar stok modal,maka semakin besar kemungkinan dilakukannya
spesialisasi dan pembagian kerja yang pada gilirannya akan meningkatkan
produktivitas per kapita.
2.1.5.2.2 Pertumbuhan Penduduk
Menurut Adam Smith, jumlah penduduk akan meningkat jika tingkat upah
yang berlaku lebih tinggi dari tingkat upah subsisten yaitu tingkat upah yang paspasan untuk hidup. Jika tingkat upah di atas tingkat subsisten, maka orang-orang
akan kawin pada umur muda, tingkat kematian menurun, dan jumlah kelahiran
meningkat.
Tingkat upah yang berlaku ditentukan oleh tarik-menarik antara kekuatan
permintaan dan penawaran tenaga kerja. Tingkat upah yang tinggi dan meningkat
jika permintaan akan tenaga kerja (D
L
) tumbuh lebih cepat dari pada penawaran
tenaga kerja (S
L
). Sementara itu permintaan tenaga kerja ditentuan oleh stok
modal dan tingkat output masyarakat. Oleh karena itu, laju pertumbuhan
permintaan akan tenaga kerja di tentukan oleh laju pertumbuhan stok modal
(akumulasi modal) dan laju pertumbuhan output.
2.1.5.3 Teori Harrod-Domar
Teori ini mengembangkan analisis keynes dengan dengan memasukan
masalah-masalah ekonomi jangka panjang, serta berusaha menunjukan syarat
45
yang dibutuhkan agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dengan baik
(steady growth). Teori Harrod-Domar memiliki beberapa asumsi yaitu :
1. Perekonomian dalam keadaaan full employment dan barang-barang modal
dalam masyarakat digunakan secara penuh.
2. Perekonomian terdiri dari dua sektor yaitu sektor rumah tangga dan sektor
perusahaan, berarti pemerintah dan perdagangan luar negeri tidak ada.
3. Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsional dengan besarnya
pendapatan nasional.
4. Kecenderungan untuk menabung (marginal propensity to save =MPS)
besarnya tetap , demikian juga dengan rasio pertambahan modal output
(capital output ratio = COR) dan rasio pertambahan modal-output
(incremental capital output ratio = ICOR).
Menurut Harrod-Domar, setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu
proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya untuk mengganti barangbarang modal ( seperti gedung, peralatan, dan material) yang rusak. Namun untuk
menumbuhkan perekonomian diperlukan investasi-investasi yang baru sebagai
tambahan stok modal. Jika dianggap ada hubungan ada hubungan ekonomis
secara langsung antara besarnya stok modal (k) dengan total output (Y), maka
setiap tambahan bersih terhadap stok modal akan mengakibatkan kenaikan output
total sesuai dengan rasio modal output tersebut, hubungan ini dikenal dengan
istilah rasio-modal output (COR).
46
2.1.5.4 Teori Solow-Swan
Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung pada pertambahan
penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal)
dan tingkat kemajuan teknologi. Pandangan ini berdasarkan analisis klasik, bahwa
perekonomian akan tetap mengalami tingkat pengerjaan penuh (full employment)
dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu.
Selanjutnya, menurut teori ini rasio modal-output (COR) dapat berubah dan
bersifat dinamis. Untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunakan
jumlah modal yang berbeda-beda dengan bantuan tenaga kerja yang jumlahnya
berbeda-beda sesuai dengan yang dibutuhkan. Jika lebih banyak modal yang
digunakan maka tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit, dan sebaliknya jika
modal yang digunakan lebih sedikit, maka lebih banyak tenaga kerja yang
digunakan. Dengan adanya fleksibilitas ini suatu perekonomian mempunyai
kebebasan yang tidak terbatas dalam menentukan kombinasi modal dan tenaga
kerja yang akan digunakan untuk menghasilkan tingkat output tertentu
Teori pertumbuhan Solow-Swan menggunakan pendekatan fungsi
produksi yang telah dikembangkan oleh Charles Cobb dan Paul Douglass yang
dikenal dengan sebutan fungsi produksi Cobb-Douglass. Fungsi tersebut
dituliskan dalam persamaan sebagai berikut
𝑄
𝑡
= 𝑇
𝑡
a
. 𝐾
𝑡
. 𝐿
𝑡
𝑏
..................................................................(2.1 )
Dimana :
Qt
= tingkat produksi pada tahun t
Tt
= tingkat teknologi pada tahun t
47
Kt
= jumlah stok barang modal pada tahun t
Lt
= jumlah tenaga kerja pada tahun t
a = pertambahan output yang diciptakan oleh pertambahan satu unit modal
b = pertambahan output yang diciptakan oleh pertambahan satu unit tenaga kerja
Nilai Tt,
a dan b bisa diestimasi secara empiris tetapi pada umumnya nilai a
dan b ditentukan besarnya dengan menganggap bahwa a + b = 1 yang berarti
bahwa a dan b nilainya adalah sama dengan produksi batas dari masing-masing
faktor produksi tersebut. Dengan kata lain, nilai a dan b ditentukan dengan
melihat peranan tenaga kerja dan modal dalam menciptakan output.
2.1.6 Pengertian Tenaga Kerja
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri maupun untuk masyarakat.
Menurut BPS penduduk berumur sepuluh keatas terbagi sebagai tenaga
kerja. Dikatakan tenaga kerja apabila mereka melakukan pekerjaan dengan
maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan
dan lamanya bekerja paling sedikit 1 (satu) jam secara kontinu selama seminggu
yang lalu. Jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara dapat memproduksi
barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka (Mulyadi Subri,
2003).
48
Payaman J. Simanjuntak (1985) menyebutkan bahwa tenaga kerja adalah
mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, sedang mencari pekerjaan
dan melakukan kegiatan lain, seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga.
2.1.7 Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Todaro (2000) pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan
angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang
memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan
menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar
berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Meski demikian hal tersebut masih
dipertanyakan apakah benar laju pertumbuhan penduduk yang cepat benar-benar
akan memberikan dampak positif atau negatif dari pembangunan ekonominya.
Selanjutnya dikatakan bahwa pengaruh positif atau negatif dari pertumbuhan
penduduk tergantung pada kemampuan sistem perekonomian daerah tersebut
dalam menyerap dan secara produktif memanfaatkan pertambahan tenaga kerja
tersebut. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh tingkat dan jenis akumulasi
modal dan tersedianya input dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial
dan administrasi.
Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya
pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen.
Menurut Lewis, angkatan kerja yang homogen dan tidak terampil dianggap bisa
bergerak dan beralih dari sektor tradisional ke sektor modern secara lancar dan
dalam jumlah terbatas. Dalam keadaan demikian penawaran tenaga kerja
49
mengandung elastisitas yang tinggi. Meningkatnya permintaan atas tenaga kerja
(dari sektor tradisional) bersumber pada ekspansi kegiatan sektor modern. Dengan
demikian salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
adalah tenaga kerja.
Menurut Nicholson W. (1991) dinyatakan bahwa suatu fungsi produksi
suatu barang atau jasa tertentu (q) adalah q = f (K, L) dimana K merupakan
modal dan L adalah tenaga kerja yang memperlihatkan jumlah maksimal suatu
barang/jasa yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif
antara K dan L maka apabila salah satu masukan ditambah satu unit tambahan dan
masukan lainnya dianggap tetap akan menyebabkan tambahan keluaran yang
dapat diproduksi.
Tambahan keluaran yang diproduksi inilah yang disebut dengan produk
fisik marjinal (Marginal Physcal Product). Selanjutnya dikatakan bahwa apabila
jumlah tenaga kerja ditambah terus menerus sedang faktor produksi lain
dipertahankan konstan, maka pada awalnya akan menunjukkan peningkatan
produktivitas namun pada suatu tingkat tertentu akan memperlihatkan penurunan
produktivitasnya serta setelah mencapai tingkat keluaran maksimal setiap
penambahan tenaga kerja akan mengurangi pengeluaran.
2.1.8 Investasi
Menurut Sukirno (2000) kegiatan investasi memungkinkan suatu
masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja,
meningkatkan pendapatan nasional dan meningkatkan taraf kemakmuran
50
masyarakat. Peranan ini bersumber dari tiga fungsi penting dari kegiatan investasi,
yakni (1) investasi merupakan salah satu komponen dari pengeluaran agregat,
sehingga kenaikan investasi akan meningkatkan permintaan agregat,pendapatan
nasional serta kesempatan kerja; (2) pertambahan barang modal sebagai akibat
investasi akan menambah kapasitas produksi; (3) investasi selalu diikuti oleh
perkembangan teknologi.
Musgrave dalam Mangkoesoebroto (1998) berpendapat bahwa dalam
suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap GNP
semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap GNP akan semakin
kecil. Untuk dapat memulai pembangunan ekonomi dibutuhkan perencanaan
ekonomi. Melalui perencanaan pembangunan berbagai kegiatan dapat
diselaraskan dan arah pembangunan ekonomi jangka panjang dapat ditentukan.
Melalui perencanaan dapat juga ditentukan sejauh mana investasi swasta dan
pemerintah perlu dilakukan untuk mencapai suatu tujuan pertumbuhan yang telah
ditentukan. Dalam perencanaan pembangunan perlu ditetapkan beberapa hal
berikut (1) tingkat pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai, (2) tingkat tabungan
dan investasi yang perlu diwujudkan, (3) peranan sektor swasta dan pemerintah
dalam mencapai tujuan tersebut, (4) perkembangan kegiatan ekonomi di berbagai
sektor dan wilayah yang perlu dilakukan, dan (5) jumlah pembelanjaan dan
sumber keuangan yang akan digunakan dalam mewujudkan tujuan pertumbuhan
ekonomi yang diterapkan (Sukirno,1994).
51
2.1.9 Investasi Swasta dan Infrastruktur Daerah
Dalam membiayai investasi infrastruktur daerah, perlu juga mengatur
sumber daya dari sektor swasta. Hal ini membutuhkan pembentukan kelembagaan
dan peraturan lingkungan yang dapat menarik investasi swasta dalam bidang
infrastruktur, merubah hukum dan peraturan; mengenalkan konsep pemberian
harga yang merefleksikan biaya (cost-reflective pricing); dan menyediakan
prosedur dan proses privatisasi atau disinvestasi yang transparan. Reformasi
semacam ini juga berkontribusi dalam meningkatkan keakuntabilitasan sektor
publik dan menyediakan pelayanan publik yang lebih baik.
Sebagai contoh, dengan menciptakan kompetisi yang transparan diantara
pihak swasta untuk menyediakan layanan publik, diharapkan dapat membantu
mengatasi aspek korupsi yang mungkin terjadi. Meningkatkan kompetisi dapat
meningkatkan mutu dan efisiensi serta pengurangan harga di daerah-daerah yang
didominasi perusahaan daerah yang tidak efisien. Selain itu juga, pengenalan
konsep sanksi yang didukung oleh bantuan yang berdasarkan output-based akan
membantu meningkatkan akses terhadap layanan umum dengan harga terendah.
Secara umum, partisipasi swasta yang efisien dapat membebaskan beban fiskal di
pemerintah daerah dan membebaskan sumber daya umum untuk program -program prioritas. (Agustino,2005)
2.1.10 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu mengenai hubungan antara desentralisasi
fiskal dan pertumbuhan ekonomi telah banyak diteliti. Adapun penelitian
52
terdahulu yang meneliti tentang desentralisasi fiskal yakni antara lain
Kusumadewi (2010) yang meneliti desentralisasi fiskal di tingkat provinsi, Parhah
(2002) meneliti desentralisasi fiskal di Indonesia dengan mengadopsi penelitian
Asai Sakata, Pujiati (2008) yang meneliti dampak desentralisasi di wilayah
karasidenan Semarang , dan Yulian Rinawaty dkk (2009) yang melibatkan dana
perimbangan sebagai komponen utama pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah
Sulawesi Tengah.
Adapun perbedaan utama yang mendasari studi ini dengan penelitian
sebelumnya yaitu fokus perhatian yang dilakukan terhadap daerah kabupaten/kota
di provinsi Jawa Tengah. Daerah kabupaten/kota dalam hal ini dianggap lebih
mengetahui tingkat kemampuan dan potensi masyarakat. Kemudian penggunaan
data panel dengan periode 5 tahun penelitian dapat diketahui perkembangan yang
akan terjadi di masing-masing daerah yang ada di provinsi Jawa Tengah.
Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi diantaranya dapat dijelaskan pada penelitian terdahulu
sebagai berikut.
1. Penelitian mengenai pengaruh dana perimbangan, investasi swasta, dan
tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh
Kusumadewi (2010) menyimpulkan bahwa dana perimbangan, investasi
swasta, dan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
di Indonesia. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa hubungan antara dana
perimbangan dengan pertumbuhan ekonomi provinsi tergolong kecil. Hal
ini disebabkan karena pemerintah daerah provinsi dirasa kurang tepat dalam
53
menempatkan dana sehingga tidak menciptakan efek multiplier untuk
menunjang pertumbuhan ekonomi. Investasi swasta dan tenaga kerja
mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
di tingkat provinsi akan tetapi masih dibutuhkan upaya-upaya dalam
peningkatan kualitas dan kinerjanya dalam menunjang pertumbuhan
ekonomi.
2. Parhah (2002) dalam penelitiannya yang berjudul “Kontribusi Desentralisasi
Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia” bertujuan untuk
mengetahui dampak desentralisasi fiskal yang diterapkan oleh pemerintah
Indonesia. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa kontribusi
desentralisasi fiskal di Indonesia belum mampu menunjukan hubungan yang
positif antara kebijakan desentralisasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Akai Sakata (2002) yang
menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia belum mampu
diterapkan di Indonesia mengingat kebijakan tersebut baru dilaksanakan pada
tahun 2001, sehingga perlu adanya penyesuaian.
3. Dalam penelitian lainnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Pujiati (2008)
dengan judul “Analisis Pertumbuhan Ekonomi di karasidenan Semarang era
Desentralisasi Fiskal” dengan menggunakan beberapa variabel yaitu sumber
penerimaan daerah antara lain DAU, PAD, dan DBH , peneliti menemukan
bahwa DAU berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Temuan ini tidak mendukung teori pertumbuhan Neo Klasik yang
beranggapan bahwa modal akan mempercepat pertumbuhan. Hal ini
54
membuktikan meskipun ada keleluasaan dalam mengelola keuangan daerah,
daerah belum dapat menetapkan skala prioritas pembangunan daerah secara
optimal atas sektor-sektor pembangunan. Penetapan skala prioritas
pembangunan akan memberikan efek multiplier terhadap perekonomian
masyarakat, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
4. Sementara itu, penelitian Yulian Rinawaty dkk (2009) yang menganalisis
pengaruh dana perimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah
provinsi Sulawesi Tengah, menemukan bahwa dana perimbangan secara
keseluruhan yang melibatkan komponen-komponenya yaitu antara lain DAU,
DAK, DBH berpengaruh positif dan signifikan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi melalui investasi swasta.
55
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
Judul, Penulis,
Tahun
Tujuan Penelitian Variabel Penelitian Metode Analisis Hasil
1. Pengaruh
Desentralisasi
fiskal di Tingkat
Provinsi terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi Daerah
analisis data panel
1999-2008
(Indriasari
Kusumadewi,
2010)
mengetahui
pengaruh Dana
Perimbangan,
investasi swasta
dan tenaga kerja
terhadap
pertumbuhan
ekonomi provinsi
di Indonesia
DV: PDRB
IDV:Dana
Perimbangan
(DPRasio), Investasi
swasta (Inv), Tenaga
kerja (TK)
LnPDRB=γ0+γ
1
+DPRasio+γ
2
Lnv
+ γ3
LnTK+ε
1. Dana Perimbangan
provinsi sebagai salah
satu sumber pembiayaan
investasi daerah
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi
ditingkat provinsi
2. Investasi swasta
mempunyai pengaruh
positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan
ekonomi di tingkat
provinsi
3. Tenaga kerja berdampak
positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan
ekonomi di tingkat
provinsi
56
2. Kontribusi
Desentralisasi
Fiskal terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi di
Indonesia (Siti
Parhah, 2002)
a. Mengetahui
seberapa besar
pengaruh
desentralisasi
fiskal terhadap
pertumbuhan
ekonomi di
indonesia
DV= Tingkat
PDRB(GSP)
IDV=Jumlah
Penduduk
(POP),tingkat
pendidikan (EDUC)
sebagai variable
kontrol , tingkat
PDRB tahun
sebelumnya (∆GSP
-1
),
Koefisien Gini, dan
Ekspor-impor
Indikator Desentralisasi
Fiskal
(Desentralizationi) =
Penerimaan
Pemerintah,
Pengeluaran
pemerintah, dan PAD
GSPi=α0+α1
Desentralizationi+Xi
β
+εi
i=1,....,30
β= variable kontrol
Penelitian ini menggunakan
Metode Analisis Ordinary Least
Square (OLS) dengan
menggunakan data cross-section
(Akai dan Sakata, 2002)
Desentralisasi fiskal tidak
berpengaruh signifikan
terhadap Pertumbuhan
ekonomi
57
3. Analisis
Pertumbuhan
Ekonomi di
karasidenan
Semarang era
Desentralisasi
Fiskal (Amin
Pujiati, 2008)
a. Mengestimasi
pengaruh
variabel
keuangan
daerah
(Pendapatan
Asli Daerah
(PAD), Dana
Alokasi Umum
(DAU), Dana
Bagi Hasil
(DBH) terhadap
pertumbuhan
ekonomi di
Kabupaten/Kota
di wilayah
Karesidenan
Semarang
b. Mengestimasi
pengaruh
tenaga kerja
terhadap
pertumbuhan
ekonomi di
Kabupaten/Kota
diwilayah
Karesidenan
Semarang.
Pendapatan Asli
Daerah (PAD),
Pertumbuhan
Ekonomi diproksi
dengan Produk
Domestik Regional
Bruto (PDRB)
menurut dasar harga
konstan tahun 2000,
Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi
Umum (DAU), dan
Tenaga Kerja
Metode GLS (Generalized Least
Squares) dipilih dalam penelitian
ini karena adanya nilai lebih yang
dimiliki oleh GLS dibandingkan
OLS dalam mengestimasi
parameter regresi.
1. Pendapatan Asli Daerah
(PAD) berpengaruh positif
dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
2. Dana Bagi Hasil (DBH)
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
3. Dana Alokasi Umum
(DAU) berpengaruh
negatif dan signifikan
terhadap pertumbuhan
ekonomi.
4. Tenaga kerja (TK) sebagai
faktor penting
mempercepat pertumbuhan
ekonom mempunyai
pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi
Jumlah tenaga kerja yang
lebih besar berarti akan
menambah jumlah tenaga
produktif. Bertambahnya
tenaga produktif akan
meningkatkan output
sehingga memacu
pertumbuhan ekonomi.
58
4. Pengaruh Dana
Perimbangan
terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi di
Provinsi Sulawesi
Tengah (Yulian
Rinawaty dkk,
2009)
a. Menganalisis
pengaruh dana
Perimbangan
(DBH, DAU,
DAK) terhadap
investasi swasta
b. Menganalisis
pengaruh dana
Perimbangan
(DBH, DAU,
DAK) terhadap
pertumbuhan
ekonomi daerah
c. Menganalisis
pengaruh dana
Perimbangan
(DBH, DAU,
DAK) terhadap
pertumbuhan
ekonomi
melalui
investasi
swasta.
DV: Pertumbuhan
Ekonomi(Z)
IDV: Dana Bagi
Hasil (X1), Dana
Alokasi Umum (X2),
dan Dana Alokasi
Khusus (X3)
Alat analisis:
Z = β0
+ β1
X1 + β2
X2 + β3
X3
1. Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK)
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
investasi swasta.
2. Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK)
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
3. Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK)
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi
melalui investasi swasta.
Sumber : Disarikan Dari Beberapa Jurnal dan Tesis
59
2.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori dan kajian terhadap penelitian terdahulu, maka
disusun suatu kerangka pemikiran teori mengenai penelitian yang akan dilakukan.
Kerangka pemikiran teori tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Teori
Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah pertumbuhan
ekonomi sebagai objek utama penelitian dan juga sebagai variabel dependen
penelitian. Dan variabel lainnya sebagai variabel independen yakni antara lain :
pendapatan asli daerah, dana perimbangan, investasi swasta, dan tenaga kerja.
Pemberlakuan sistem desentralisasi fiskal akan mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi di tingkat daerah. Untuk menunjang hal tersebut pemerintah baik pusat
maupun daerah berupaya untuk meningkatkan sumber pendapatan daerah berupa
PAD dan Dana Perimbangan. Jika peningkatan PAD berdampak buruk terhadap
Pertumbuhan Ekonomi
Pendapatan Asli Daerah
Dana Perimbangan
Investasi Swasta
Tenaga Kerja
(+)
(+)
(+)
(+)
60
perekonomian maka belum dapat dikatakan bahwa peningkatan PAD merupakan
keberhasilan pembangunan di era desentralisasi fiskal. Untuk itu diperlukan dana
perimbangan sebagai penyeimbang dari melemahnya jumlah PAD yang
dihasilkan. Faktor-faktor lainnya seperti investasi swasta dan tenaga kerja juga
merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan salah
satu yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Semakin berkembang
suatu daerah akan menarik investasi khususnya investasi swasta untuk masuk
ke daerah tersebut. Sama halnya tenaga kerja, kualitas tenaga kerja yang dimiliki
suatu daerah juga mempunyai dampak terhadap penciptaan output produksi yang
pada akhirnya mengakibatkan kenaikan pertumbuhan ekonomi (Kusumadewi,
2010).
Desentralisasi fiskal diharapkan mampu membawa dampak positif
terhadap pelaksanaan pembangunan yang dahulunya bersifat sentralistik. Maka
dari itu penetapan kebijakan desentralisasi fiskal menjadi momentum bagi
masyarakat dan pemerintah di pusat maupun di daerah untuk memperbaiki sistem
pengelolaan pendanaan daerah yang lebih proporsional dan merata disetiap daerah
khususnya daerah provinsi Jawa Tengah sebagai objek penelitian.
61
2.3 Hipotesis
Berdasarkan uraian pembahasan permasalahan, teori, konsep, serta
kerangka pemikiran yang sebelumnya disajikan, maka hipotesis yang akan
diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) di duga berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di provinsi
Jawa Tengah.
2. Dana perimbangan di duga berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di provinsi
Jawa Tengah.
3. Investasi swasta di duga berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di provinsi Jawa
Tengah.
4. Tenaga kerja di duga berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di provinsi Jawa
Tengah.
62
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.1.1 Variabel Penelitian
Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian (Arikunto, 2002). Penelitian ini menggunakan satu variabel
dependen (terikat) dan empat variabel independen (bebas). Variabel-variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
Variabel dependen (variabel terikat), yaitu pertumbuhan ekonomi.
Variabel independen (variabel bebas) antara lain : pendapatan asli daerah,
dana perimbangan, investasi swasta, dan tenaga kerja.
Dalam penelitian ini ditambahkan variabel dummy cross section sebagai
variabel boneka yang terdiri dari 34 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dan
1 daerah dijadikan sebagai benchmark (daerah acuan). Pada penelitian ini
benchmark yang dipakai yaitu Kota Semarang dimana pertumbuhan ekonomi
tergolong tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Penggunaan variabel
dummy untuk melihat perbedaan pertumbuhan antara pusat pertumbuhan dan
daerah lainnya.
3.1.2 Definisi Operasional
Pertumbuhan ekonomi : perkembangan kegiatan ekonomi yang dilihat dari
meningkatnya PDRB kabupaten/kota. PDRB yang digunakan dalam
63
penelitian ini adalah PDRB dasar harga konstan tahun 2000 (dalam satuan
rupiah).
Pendapatan Asli Daerah : sumber PAD yang berasal dari total pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil
pengolahan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan daerah yang sah provinsi Jawa Tengah (dalam satuan rupiah).
Dana Perimbangan : dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah akumulasi keseluruhan total sumber pendanaan dana
perimbangan yang terdiri dari DAU, DAK, dan DBH provinsi Jawa
Tengah (dalam satuan rupiah).
Investasi swasta dinyatakan dengan total realisasi PMA dan PMDN di
Jawa Tengah (dalam satuan rupiah).
Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 10 tahun keatas baik yang
bekerja selama seminggu yang lalu di kabupaten/kota di Jawa Tengah
(dalam satuan jiwa).
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan
sumber data yang digunakan adalah data sekunder yaitu berupa data panel
(pooling data) atau data longitudinal. Data panel adalah sekelompok data individu
yang diteliti selama rentang waktu tertentu.
64
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa
sumber, antara lain:
1. Data PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 pada kurun waktu tahun
2005-2009 bersumber dari kantor BPS Propinsi Jawa Barat
2. Data Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada kurun waktu tahun 2005-2009
bersumber dari kantor BPS Propinsi Jawa Tengah.
3. Data dana perimbangan pada kurun waktu 2005-2009 bersumber dari kantor
BPS Provinsi Jawa Tengah
4. Data tenaga kerja pada kurun waktu tahun 2005-2009 bersumber dari kantor
BPS Propinsi Jawa Tengah.
5. Data investasi swasta pada kurun waktu 2005-2009 bersumber dari BPMD
provinsi Jawa Tengah
Penelitian ini seluruhnya menggunakan data sekunder dari 35
Kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2009. Pemilihan tahun tersebut
dikarenakan pada pertengahan tahun 2008 terjadi krisis global yang menyebabkan
penurunan terhadap stabilitas ekonomi di jawa tengah. Maka dari itu penelitian ini
bertujuan untuk melihat seberapa besar dampak yang akan dtimbulkan terhadap
pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal pada periode lima
tahun tersebut.
65
3.3 Metode Pengumpulan data
Metode pengumpulan data merupakan suatu data merupakan suatu usaha
dasar untuk mengumpulkan data dengan prosedur standar. Pengumpulan data
dilakukan dengan dokumentasi, yaitu mengumpulkan catatan-catatan atau datadata yang diperlukan sesuai penelitian yang akan dilakukan dari
dinas/kantor/instansi atau lembaga terkait (Arikunto, 2002). Data sekunder
tersebut diperoleh dari dokumen resmi yang dikeluarkan instansi yang terkait.
Pengumpulan dilakukan dengan studi pustaka dari buku–buku, laporan
penelitian, buletin, jurnal ilmiah, dan penerbitan lainnya yang relevan dengan
penelitian ini.
3.4 Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan alat pengolahan data dengan menggunakan
Eviews 6. Untuk mengetahui besarnya pengaruh dari suatu variabel bebas
(independent variable) terhadap variabel terikat (dependent variable) maka
penelitian ini menggunakan model regresi linear berganda (Multiple Linier
Regression Method) dengan metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square
(OLS). Metode ini diyakini mempunyai sifat-sifat yang ideal dan dapat
diunggulkan, yaitu secara teknis sangat kuat, mudah dalam perhitungan dan
penarikan interpretasinya (Gujarati, 1999).
66
3.4.1 Analisis Regresi
Analisis regresi ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat pengaruh dari
variabel-variabel independen dalam penelitian ini yaitu antara lain pendapatan asli
daerah, dana perimbangan, investasi swasta, dan tenaga kerja. Variabel
independennya yaitu pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota provinsi di Jawa
Tengah. Pada penelitian ini, analisis regresi dilakukan dengan metode Ordinary
Least Square (OLS). Adapun model persamaan data panel adalah sebagai berikut :
Yit
= β0
+ β1Xit
+ εit ..............................(3.1)
dimana
i = merupakan jumlah unit cross section
t = menunjukkan periode waktu tertentu
Model yang menjadi dasar pada penelitian ini adalah model pertumbuhan
ekonomi Solow Swan yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung
pada pertambahan penyediaan faktor produksi yaitu penduduk, tenaga kerja,
akumulasi modal dan tingkat kemajuan teknologi. Penelitian ini mengambil
tenaga kerja dan akumulasi modal (PAD, Dana Perimbangan, dan Investasi
Swasta) sebagai faktor produksi. Penelitian ini berupaya mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di era
desentralisasi fiskal. Dimana dana perimbangan dan PAD dapat mencerminkan
faktor desentralisasi fiskal. Model fungsi yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
67
Y = f(PAD, DP, INV, TK) ...............................................(3.2)
dimana :
Y = Pertumbuhan Ekonomi
PAD = Pendapatan Asli Daerah
DP = Dana Perimbangan
INV = Investasi Swasta
TK = Tenaga Kerja
Dari persamaan (3.1) dan (3.2) maka diperoleh persamaan sebagai berikut:
Yit = α0 + α1 PADit + α2 DPit + α3 INVit + α4 TKit +
ε
it ............................(3.3)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif
dengan menggunakan metode ekonometrika melalui analisa regresi panel data.
Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang
(individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi
menurut waktu. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data
panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang
tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni.
Menurut Gujarati (2003) dalam Waluyo (2007) kelebihan dari penggunaan
data panel yaitu, antara lain :
1. Estimasi data panel dapat mempertimbangkan heterogenitas dan
memperkenalkan variabel-variabel individu yang lebih spesifik.
68
2. Data panel dapat memberikan data yang lebih informatif, lebih
bervariabelitas, kurang kolinearitas antar variabel, derajat bebas yang lebih
besar, dan lebih efisien.
3. Data panel lebih sesuai untuk mempelajari dinamika perubahan.
4. Data panel dapat secara lebih baik mendeteksi dan mengukur efek yang
tidak dapat diamati dalam data cross section dan time series.
5. Data Panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model perilaku
yang kompleks.
6. Data Panel dapat meminimalisir bias yang mungkin ditimbulkan oleh
agregasi data individu.
3.4.2 Estimasi Regresi dengan Pendekatan FEM (Fixed Effect Model)
Penelitian ini menggunakan metode fixed effect model (FEM). Menurut
Gujarati (2003) estimasi model regresi panel data dengan pendekatan fixed effect
tergantung pada estimasi yang digunakan pada intersep, koefesien slope, dan
error term, dimana ada beberapa asumsi yaitu :
a. Asumsi bahwa intersep dan koefisien slope (kemiringan) adalah
konstan antar waktu (time) dan ruang (space) dan error term mencakup
perbedaan sepanjang waktu dan individu (ruang).
b. Koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi antar individu (wilayah).
c. Koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi antar waktu.
d. Koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi antar waktu dan individu
(wilayah).
69
e. Seluruh koefisien (intersep dan koefisien slope) bervariasi antar individu
(wilayah).
f. Intersep konstan sebagaimana koefisien slope bervariasi antar waktu.
Metode fixed effect menyebutkan bahwa eit merupakan kelompok spesifik
atau berbeda dalam constant term pada model regresi. Bentuk model
tersebut biasanya disebut model Least Squares Dummy Variable (LSDV).
Pengertian fixed effect ini didasarkan adanya perbedaan intersep antara daerah
namun intersepnya sama antar waktu (time invariant). Disamping itu, model ini
mengasumsikan bahwa koefisien regresi (slope) tetap antar perusahaan dan antar
waktu. Dalam penelitian ini menggunakan asumsi fixed effect yang kedua dimana
koefisien slope konstan, tetapi intersep bervariasi antar individu. Bentuk model
fixed effect adalah dengan memasukkan variabel dummy untuk menyatakan
perbedaan intersep. Penelitian ini menggunakan dummy pertumbuhan ekonomi,
untuk melihat perbedaan pertumbuhan ekonomi antara daerah yang rata-rata
pertumbuhannya paling tinggi selama pelaksanaan desentralisasi fiskal di
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah selama 5 tahun penelitian (tahun 2005-2009) dengan daerah lainnya, dimana Kota Semarang sebagai wilayah acuan
(benchmark). Alasan penggunaan Kota Semarang sebagai benchmark karena Kota
Semarang memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah
kabupaten/kota tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Jawa Tengah.
Setelah memasukkan variabel dummy wilayah pada maka model persamaannya
adalah sebagai berikut :
70
Yit = α0 + α1 PADit + α2 DPit + α3 INVit + α4 TKit
+ β
1D1
+ β
2D2
+
β
3D3
+......+ β
34D34
+eit.................................................................(3.4)
dimana :
Y = tingkat pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah
PAD = pendapatan asli daerah kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah
DP = dana perimbangan kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah
INV = investasi swasta kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah
TK = tenaga kerja kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah
D1 = dummy Kabupaten Cilacap
D2 = dummy Kabupaten Banyumas
D3 = dummy Kabupaten Purbalingga
D4 = dummy Kabupaten Banjarnegara
D5 = dummy Kabupaten Kebumen
D6 = dummy Kabupaten Purworejo
D7 = dummy Kabupaten Wonosobo
D8 = dummy Kabupaten Magelang
D9 = dummy Kabupaten Boyolali
D10 = dummy Kabupaten Klaten
D11 = dummy Kabupaten Sukoharjo
D12 = dummy Kabupaten Wonogiri
D13 = dummy Kabupaten Karanganyar
D14 = dummy Kabupaten Sragen
D15 = dummy Kabupaten Grobogan
D16 = dummy Kabupaten Blora
D17 = dummy Kabupaten Rembang
71
D18 = dummy Kabupaten Pati
D19 = dummy Kabupaten Kudus
D20 = dummy Kabupaten Jepara
D21 = dummy Kabupaten Demak
D22 = dummy Kabupaten Semarang
D23 = dummy Kabupaten Temanggung
D24 = dummy Kabupaten Kendal
D25 = dummy Kabupaten Batang
D26 = dummy Kabupaten Pekalongan
D27 = dummy Kabupaten Pemalang
D28 = dummy Kabupaten Tegal
D29 = dummy Kabupaten Brebes
D30 = dummy Kota Magelang
D31 = dummy Kota Surakarta
D32 = dummy Kota Salatiga
D33 = dummy Kota Pekalongan
D34 = dummy Kota Tegal
α0
= intersep
α1
-α4
= koefisien regresi variabel bebas
β
1
-β
34 = koefisien dummy wilayah
eit = komponen error di waktu t untuk unit cross-section i
i = 1, 2, 3, ..., 34 (data cross-section kabupaten/kota di Jawa Tengah)
t = 1, 2, 3, 4 (data time-series, tahun 2005-2009)
3.4.3 Deteksi Penyimpangan Asumsi Klasik
3.4.3.1 Deteksi Heteroskedastisitas
Salah satu penting dalam regresi linier klasik adalah bahwa gangguan
yang muncul dalam regresi populasi adalah homoskedastisitas, yaitu semua
gangguan memiliki varians yang sama atau varian setiap gangguan yang
72
dibatasi untuk nilai tertentu mengenai pada variabel-variabel independen
berbentuk nilai konstan yang sama dengan σ
2
. Dan jika suatu populasi yang
dianalisis memiliki gangguan yang variansnya tidak sama maka mengindikasikan
terjadinya kasus heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas adalah kondisi dimana
error term tidak memiliki suatu varian yang konstan untuk semua observasi.
Masalah heteroskedastisitas lebih sering terjadi pada data cross section daripada
time series serta muncul baik pada regresi sederhana maupun regresi berganda.
Beberapa cara untuk menguji adanya heteroskedastisitas salah satunya
dengan cara pengujian White Heteroscedasticity. Pedoman dari penggunaan
model white adalah menolak hipotesis yang mengatakan bahwa terdapat masalah
heteroskedastisitas dalam model empiris yang sedang diestimasi. Pengujian
heteroskedastitas dilakukan dengan membandingkan nilai Obs*R squared uji
White dengan nilai
2
tabel. Jika nilai probabilitas Obs*R squared-nya lebih
besar dari α maka berarti tidak ada heteroskedastisitas, demikian pula sebaliknya.
3.4.3.2 Deteksi Autokorelasi
Autokorelasi adalah pengujian ada atau tidaknya korelasi antara error term
pada suatu observasi dengan error term pada observasi lain, dengan kata
lain munculnya suatu data dapat dipengaruhi oleh data sebelumnya. Masalah
autokorelasi lebih sering muncul pada data yang bersifat time series serta
dapat terjadi baik pada regresi sederhana maupun regresi berganda. Dampak
autokorelasi adalah: (1) variabel terikat pada satu observasi berhubungan dengan
dengan observasi lain; (2) penduga OLS memiliki varian yang bias ke bawah
73
atau standard error cenderung lebih kecil; (3) nilai estimasi OLS tidak
menghasilkan BLUE karena walaupun tetap linear unbiased tetapi tidak efisien
(varian underestimated); serta (4) uji F dan uji t tidak dapat lagi dipercaya,
karena standar error koefisien regresi terlalu rendah. Salah satu cara untuk
menguji adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Breusch – Godfrey (BG
Test) (Gujarati, 1999). Jika nilai probabilitas Obs*R squared-nya lebih besar
dari 2 tabel maka model tidak ada autokorelasi, demikian pula sebaliknya.
Pengujian dengan BG Test dilakukan dengan meregresi variabel pengganggu
Ui dengan model autoregressive dengan orde ρ sebagai berikut :
Ut
= ρ1 Ut-1 + ρ2Ut-2 + …+ ρ ρUt-ρ + εt ..........................................(3.5)
Dengan Ho adalah ρ 1 = ρ 2 … ρ = 0, dimana koefisien autoregressive
secara keseluruhan sama dengan nol menunjukkan tidak terdapat autokorelasi
pada setiap orde. Secara manual apabila
2
tabel lebih besar dari nilai Obs*RSquared, maka model tersebut bebas dari autokorelasi.
3.4.3.3 Deteksi Multikolinieritas
Multikolinearitas mengandung arti bahwa ada hubungan linier yang
sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua variabel independen dalam
model regresi. Konsekuensi adanya multikolinieritas adalah koefisien regresi
variabel tidak tentu dan kesalahan menjadi tidak terhingga. Uji multikolinieritas
betujuan untuk menguji apakah dalam model regresi yang baik seharusnya tidak
terjadi korelasi diantara variabel bebas. Multikolinieritas dalam penelitian ini diuji
dengan menggunakan auxiliary regresion untuk mendeteksi adanya
74
multikolinieritas. Kriterianya adalah jika R
2
regresi persamaan utama lebih
besar dari R
2
auxiliary regresions maka dalam model tidak terdapat
multikolinieritas.
3.4.3.4 Deteksi Normalitas
Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah residual yang
diteliti berdistribusi normal atau tidak. Nilai residual berdistribusi normal
merupakan suatu kurva berbentuk lonceng (bell – shaped curve) yang kedua
sisinya melebar sampai tidak terhingga. Distribusi data tidak normal, karena
terdapat nilai ekstrem dalam data yang diambil. (Suliyanto, 2005). Dalam
penelitian ini menggunakan Jarque-Bera test (J-B test) yang dilakukan dengan
menghitung nilai skewness dan kurtosis untuk melihat apakah data terdistribusi
normal atau tidak. Jika nilai J–B hitung < nilai χ2 (tabel chi square) , maka
hipotesis yang menyatakan bahwa residual terdistribusi normal dan sebaliknya.
3.4.4 Pengujian Hipotesis
3.4.4.1 Koefesien Determinasi (R
2
)
Koefesien determinasi R
2
(regresi majemuk) merupakan ukuran ikhtisar
yang mengatakan seberapa baik garis regresi sampai dengan mencocokkan data.
Secara verbal, R
2
mengukur proporsi (bagian) atau persentase total variasi dalam
variabel dependen yang dijelaskan oleh model regresi. Nilai R
2
berkisar antara
nol dan satu (0 < R
2
< 1). Nilai R
2
yang kecil atau mendekati nol berarti
kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen
75
amat terbatas. Sebaliknya, jika nilai R
2
mendekati satu berarti variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi
variabel dependen. (Gujarati, 2003). Hal ini menunjukan bahwa semakin
mendekati 1 nilai R
2
berarti dapat dikatakan bahwa model variabel independen
yang digunakan mampu menjelaskan variabel dependen mendekati 100%. Ukuran
R
2
akan semakin mengecil jika semakin banyak variabel independen yang
digunakan.
3.4.4.2 Uji F (Simultan)
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel independen
mempunyai pengaruh yang sama terhadap variabel dependen. Pengujian yang
dilakukan menggunakan uji distribusi F. Caranya adalah dengan membandingkan
antara nilai kritis F (F-tabel) dengan nilai Fhitung
(F RATIO) yang terdapat pada
Tabel Analysis Variance dari hasil perhitungan. Pengujian terhadap pengaruh
variabel independen secara simultan terhadap perubahan nilai variabel dependen
dilakukan melalui pengujian terhadap besarnya perubahan nilai variabel dependen
yang dapat dijelaskan oleh perubahan nilai semua variabel independen. (Algifari,
2000). Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Ho
: β
1
= β2
= β3
= β4
= 0, yaitu variabel-variabel independen yang
meliputi pendapatan asli daerah (X1), dana perimbangan (X2), investasi
swasta (X3), dan tenaga kerja (X4) secara simultan tidak berpengaruh
secara signifikan mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi (Y)
sebagai variabel independen.
76
2. Ha : tidak semua koefisien β > 0, yaitu variabel-variabel independen
yang meliputi pendapatan asli daerah (X1), dana perimbangan (X2),
investasi swasta (X3), dan tenaga kerja (X4) secara simultan
berpengaruh secara signifikan mempengaruhi variabel pertumbuhan
ekonomi (Y) sebagai variabel independen.
Pengambilan keputusan diambil pada tingkat signifikan (α) = 5% dengan
pengujian sebagai berikut :
1. Jika F-hitung < F-tabel maka Ho
diterima dan H
a ditolak, berarti bahwa
secara bersama - sama variabel independen (X1, X2, X3, dan X4) tidak
mempengaruhi variabel dependen (Y) secara signifikan.
2. Jika F-hitung > F-tabel maka Ho
ditolak dan H
a diterima, berarti bahwa
secara bersama-sama variabel independen (X1, X2, X3, dan X4)
mempengaruhi variabel dependen (Y) secara signifikan.
3.4.4.3 Uji t (Individu)
Uji t digunakan untuk menguji koefesien regresi di setiap variabel
independen. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah variabel independen
yang terdapat dalam suatu persamaan secara individu berpengaruh terhadap nilai
variabel dependen (uji parsial) (Algifari, 2000).
Hipotesis yang digunakan adalah dengan menggunakan taraf nyata sebesar
5%. Perumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut :
1. Ho : β
1 = 0, variabel pendapatan asli daerah secara parsial tidak
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
77
Ha : β
1 0, variabel pendapatan asli daerah secara parsial
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
2. Ho : β
2 = 0, variabel dana perimbangan secara parsial tidak
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Ha : β
2 0, variabel dana perimbangan daerah secara parsial
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
3. Ho : β
3 = 0, variabel investasi swasta secara parsial tidak
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Ha : β
3 0, variabel investasi swasta daerah secara parsial
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
4. Ho : β
4 = 0, variabel tenaga kerja secara parsial tidak mempengaruhi
variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Ha : β
4 0, variabel tenaga kerja daerah secara parsial mempengaruhi
variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Pengambilan keputusan diambil pada tingkat signifikan (α) = 5% dengan
pengujian sebagai berikut :
1. Jika -t-tabel
< t-hitung < +t-tabel maka Ho
diterima dan H
a ditolak, berarti
bahwa secara individu variabel independen tidak mempengaruhi
variabel dependennya secara signifikan.
2. Jika - t-tabel
> t-hitung > +t-tabel maka Ho
ditolak dan H
a diterima, berarti
bahwa secara individu variabel independen mempengaruhi variabel
dependennya secara signifikan.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut