Kamis, 15 Januari 2015

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA PERIMBANGAN, INVESTASI SWASTA, TENAGA KERJA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI ERA DESENTRALISASI FISKAL TAHUN 2005-2009 (STUDI KASUS KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH) TUGAS SERCHING SOFSKILL

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH,
DANA PERIMBANGAN, INVESTASI SWASTA,
TENAGA KERJA TERHADAP PERTUMBUHAN
EKONOMI DI ERA DESENTRALISASI FISKAL
TAHUN 2005-2009 (STUDI KASUS
KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA
TENGAH)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1)
pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
MOCHAMAD RIZKY AZZUMAR
NIM. C2B607039
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011
ii
PERSETUJUAN SKRIPSI
Nama Penyusun  :  Mochamad Rizky Azzumar
Nomor Induk Mahasiswa  : C2B607039
Fakultas/Jurusan  : Ekonomi/Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan
Judul Skripsi  :  PENGARUH  PENDAPATAN  ASLI
DAERAH,  DANA  PERIMBANGAN,
INVESTASI    SWASTA,  TENAGA
KERJA  TERHADAP  PERTUMBUHAN
EKONOMI  DI  ERA  DESENTRALISASI
FISKAL  TAHUN  2005-2009  (STUDI
KASUS KABUPATEN/KOTA PROVINSI
JAWA TENGAH)
Dosen Pembimbing  : Dra. Herniwati Retno Handayani, MS.
Semarang, 7 Desember 2011
Dosen Pembimbing,
(Dra. Herniwati Retno Handayani, MS.)
NIP. 19551 128 198103 2004
Mengetahui,
a.n. Dekan,
Pembantu Dekan I
Anis Chariri, SE, M.Com, PhD.Akt
NIP. 196708091992031001
iii
PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN
Nama Mahasiswa    : Mochamad Rizky Azzumar
Nomor Induk Mahasiswa    : C2B607039
Fakultas/Jurusan    : Ekonomi/Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan
Judul Skripsi    :  PENGARUH  PENDAPATAN  ASLI  DAERAH,
DANA  PERIMBANGAN,  INVESTASI
SWASTA,  TENAGA  KERJA  TERHADAP
PERTUMBUHAN  EKONOMI  DI  ERA
DESENTRALISASI  FISKAL  TAHUN  2005-2009  (STUDI  KASUS  KABUPATEN/KOTA
PROVINSI JAWA TENGAH)
Telah dinyatakan lulus ujian pada tanggal 23 Desember 2011
Tim Penguji
1. Dra. Herniwati Retno Handayani, MS.  (………………….)
2.Dra. Johana Maria Kodoatie, M.Ec, Ph.D.  (………………….)
3.Fitrie Arianti, S.E., M.Si.  (………………….)
Mengetahui,
a.n. Dekan,
Pembantu Dekan I
Anis Chariri, SE, M.Com, PhD.Akt
NIP. 196708091992031001
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Yang   bertanda  tangan  di  bawah   ini   saya,  Mochamad  Rizky  Azzumar,
menyatakan  bahwa  skripsi  dengan  judul:  Pengaruh  Pendapatan  Asli  Daerah,
Dana  Perimbangan,  Investasi  Swasta,  dan  Tenaga  Kerja  terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Era Desentralisasi Fiskal  Tahun 2005-2009  (Studi
Kasus  Kabupaten/Kota  Provinsi  Jawa  Tengah)  adalah  tulisan  saya  sendiri.
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak
terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan
cara  menyalin  atau  meniru  dalam  bentuk  rangkaian  kalimat  atau  simbol  yang
menunjukkan gagasan atau pendapat atau pemikiran dari penulis lain, yang saya
akui  seolah-olah  sebagai  tulisan  saya  sendiri,   dan/atau   tidak   terdapat   bagian
atau keseluruhan tulisan yang saya salin, tiru atau yang saya ambil dari tulisan
orang lain tanpa memberikan pengakuan penulis aslinya.
Apabila saya melakukan tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut
di atas, baik disengaja maupun tidak, dengan ini saya menyatakan menarik skripsi
yang saya ajukan sebagai hasil tulisan saya sendiri. Bila kemudian terbukti bahwa
saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan  orang lain seolaholah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijasah yang telah diberikan
universitas batal saya terima.
Semarang, 7 Desember 2011
Yang Membuat Pernyataan,
Mochamad Rizky Azzumar
NIM. C2B006039
v
ABSTRACT
In  order  to  implement  regional  development,  the  central  government
imposed  a  system  of  fiscal  decentralization.  Where  local  governments  can
regulate  and  allocate  regional  income  independently.  Fiscal  decentralization
policiy  have been implemented in 2001  which serves to increase regional income
and develop all economic potentials that exist, so it can spur an increase in output
and increase economic activity, and finally will impact on improve social welfare.
During 5 years of fiscal decentralization in the province of Central Java is known
that the period 2005-2009, economic growth of 35 districts/cities in Central Java
province increased every year, but the increases are not occurring at the same time
reducing  the  gap  in  each  region.  From  the  data  obtained  in  mind  the  average
amount of GDP based on constant 2000 prices in the largest there are only three
regions, consisting of  Semarang City, Cilacap District, and Kudus District.
This  research   aims  to  find  out    the  influence  of  variable  original  local
income  (PAD),   balance  fund,  private  investment,  labour  on  economic  growth
district  or city in Central Java in 2005-2009 fiscal decentralization. The  data  of
this research  is panel data  using secondary time series data    and  secondary cross
section data. Data collected were analyzed with panel data with eviews 6 program.
The method used in this research  is the OLS (Ordinary Least Square) with a fixed
effect model or LSDV (Least Square Dummy Variable).
From  the  research  revealed  that  there  is  a  positive  influence  among
original  local  income  (PAD),  balance  fund,  private  investment,  and  labour.
However,  balance  fund  and  private  investment  does  not  significantly  affect
economic  growth.  Unlike  the  case  with  original  local  income  and  labour  have
significant impact on economic growth.
Keywords:  fiscal  decentralization,  economic  growth,  original  local  income
(PAD), balance fund, private investment, labour
vi
ABSTRAK
Dalam  rangka  melaksanakan  pembangunan  daerah,  pemerintah  pusat
memberlakukan  sistem  desentralisasi  fiskal.  Di  mana  pemerintah  daerah  dapat
mengatur  dan  mengalokasikan  secara  mandiri  penerimaan  daerah.  Kebijakan
desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan pada tahun 2001 difungsikan untuk
meningkatkan  penerimaan  daerah  dan  mengembangkan  seluruh  potensi-potensi
ekonomi  yang  ada,  sehingga  dapat  memacu  peningkatan  output  maupun
meningkatkan aktivitas perekonomian, yang pada akhirnya akan berdampak pada
meningkatnya  kesejahteraan  masyarakat.  Selama  5  tahun  pelaksanaan
desentralisasi  fiskal  di  Provinsi  Jawa  Tengah  yaitu  periode  tahun  2005-2009
diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah  meningkat  tiap  tahunnya,  tetapi  peningkatan  tersebut  tidak  sekaligus
mengurangi  kesenjangan  yang  terjadi  di  tiap  daerah.  Dari  data  yang  diperoleh
diketahui  rata-rata  jumlah  PDRB  atas  dasar  harga  konstan  tahun  2000  terbesar
hanya  terdapat  di  tiga  daerah,  yaitu  Kota  Semarang,  Kabupaten  Cilacap,  dan
Kabupaten Kudus.
Penelitian  ini  bertujuan  mengetahui  seberapa  besar  pengaruh  variabel
Pendapatan  Asli  Daerah  (PAD),  Dana  Perimbangan,  Investasi  Swasta,  Tenaga
Kerja terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten atau kota di Jawa Tengah Tahun
2005-2009 di era desentralisasi fiskal. Jenis data penelitian ini adalah data panel
(Pooled  data)  dengan  menggunakan  data  sekunder  berdasarkan  urutan  waktu
(time  series)  dan  berdasarkan  urutan  observasi  (cross  section).  Data  yang
dikumpulkan dianalisis dengan teknik data panel menggunakan program eviews 6.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS (Ordinary Least Square)
dengan pendekatan fixed effect  atau LSDV (Least Square Dummy Variabel).
Dari  hasil  penelitian  diketahui  ada  pengaruh  yang  positif  antara
pendapatan  asli  daerah,  dana  Perimbangan,  investasi  Swasta,  dan  tenaga  kerja.
Akan tetapi dana perimbangan dan investasi swasta tidak berpengaruh signifikan
mempengaruhi  pertumbuhan  ekonomi.  Berbeda  halnya  dengan  pendapatan  asli
daerah  dan  tenaga  kerja  yang  mempunyai  pengaruh   yang  signifikan  terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Kata  Kunci  :  desentralisasi  fiskal,  pertumbuhan  ekonomi,  PAD,  dana
perimbangan, investasi swasta, tenaga kerja.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji  dan  syukur  penulis  panjatkan  kehadirat  Allah  SWT  atas  segala
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya serta shalawat kepada Nabi  Muhammad SAW
yang telah menjadi inspirasi dan suri tauladan bagi penulis, atas terselesaikannya
skripsi yang berjudul  Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,
Investasi Swasta, dan Tenaga Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era
Desentralisasi  Fiskal  Tahun  2005-2009  (Studi  Kasus  Kabupaten/Kota
Provinsi  Jawa  Tengah).  Skripsi   ini  diajukan  untuk  memenuhi   salah   satu
persyaratan  memperoleh  gelar   Sarjana   Ekonomi   pada   Fakultas   Ekonomi
Program   Studi   Ilmu   Ekonomi  Studi  Pembangunan  Universitas  Diponegoro
Semarang. Penulis menyadari bahwa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak
sangat  berarti  dalam  penulisan  skripsi  ini.  Terima  kasih  atas  segala  bimbingan,
saran  dan   kerja  sama  dari  berbagai  pihak.  Melalui  tulisan  yang  sederhana  ini,
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya ditujukan kepada :
1.  Bapak Prof. Drs. Mohamad Nasir, M. Si, Akt., Ph.D selaku dekan fakultas
ekonomi Universitas Diponegoro Semarang.
2.  Bapak Prof. Drs. H. Waridin Ms., Ph.D selaku Dosen Wali yang telah
sabar mendampingi dan membimbing penulis dan teman-teman IESP
angkatan 2007.
3.  Ibu  Dra.  Herniwati  Retno  Handayani,  MS.  selaku   dosen   pembimbing
yang  telah  meluangkan  waktu  dan  pikirannya  untuk  membimbing,
mengarahkan  dan  memberikan  masukan  yang  bermanfaat  dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4.  Seluruh dosen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, khususnya
Jurusan IESP atas bimbingan dan pengajaran yang diberikan dalam masa
studi penulis. Seluruh staf, karyawan Fakultas Ekonomi yang telah
membantu   memberikan   informasi   yang   dibutuhkan   dan   pelayanan
yang baik.
viii
5.  Bapak  Kusno  dan  Mas  Nanang  selaku  petugas  BPS  Jawa  Tengah  yang
telah membantu dalam memperoleh data.
6.  Ibu Riyanti dan Mbak Yossi selaku karyawan BPMD Jawa tengah, terima
kasih atas segala bantuannya dan informasinya kepada penulis.
7.  Ayahku  tercinta  Drs.  Mochamad  Djunaedi,  MM  dan  Mamaku  tersayang
Yuliawati yang selama ini senantiasa sabar dalam membimbing ,berdoa
serta memberikan arahan dalam pendidikan anak-anaknya. Terima kasih
karena telah menjadi motivator hidup agar selalu tetap dijalan yang benar.
Doa dan dukungan kalian merupakan anugerah terindah.
8.  Adik-adikku tersayang Mochamad Luthfi Raditya, Rizka Putri Amalina,
Mochamad  Farid  Naufal,  dan  Mochamad  Zahid  Faturrahman  yang  telah
menjadi motivasi dan pemacu semangat penulis untuk bisa menyelesaikan
skripsi ini. Semangat dan dukungan kalian sangat berharga bagi penulis.
9.  Keluarga besar Lenteng Agung yang tidak dapat disebutkan satu per satu
terima kasih atas dukungan moral dan doanya kepada penulis.
10.  Teruntuk Lia Natalia, terima kasih atas segala perhatian, kasih sayang dan
kesabaran  yang  diberikan  selama  ini.  Dirimu  yang  selalu  memberikan
semangat, masukan, doa dan saran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Terima kasih sayang.
11.  Untuk  Om  dan  Tante  terima  kasih  untuk  pencerahan  dan  nasihatnya
selama  ini.  Seluruh  keluarga  di  Karangasem  kuningan  yang  tidak  bisa
disebutkan  satu  per  satu.  Serta  seluruh  karyawan  21  arloji  terima  kasih
untuk dukungan dan doanya kepada penulis.
12. Untuk  sahabat-sahabatku  senasib  dan  seperjuangan  :  Bagus  Ardyanto,
Suhael  Ishaq,  Asman  Al  Faiz,  I  Made  Yogatama,  Teguh  Heri  S,  Teguh
yang   telah   menemani   penulis   disaat   susah   dan  senang  selama  ini.
Terima kasih untuk persahabatan kalian.
13. Teman-teman  kost  Banjarsari  61  :  Faqih,  Imam,  Afif  yang  selalu
membantu menghilangkan penat saat menulis skripsi ini. Terus jaga selalu
kekompakkannya.
ix
14. Teman–teman  IESP  :  Arjanggi,  Surya  Nugraha,  Akbar  Sisputro,  dan
teman seperjuangan IESP angkatan 2007 atas kebersama an dan kenangan
yang tak terlupakan.
15.  Teman KKN Desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran (Pungki Agus, Nerfi,
Dyah,  Fara,  Intan,  dan  Vila)  terima  kasih  atas  pengalaman  yang
menyenangkan.
16.  Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam penulisan Skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Dengan segala
kerendahan  hati  kritik  dan  saran  yang  membangun  sangat  diperlukan  untuk
perbaikan  dan  pencapaian  hasil  yang  lebih  baik  di  masa  yang  akan  datang.
Mudah-mudahan  skripsi  ini  dapat  dimanfaatkan  sebagai  bahan  referensi  dalam
penelitian sejenis.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................    i
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI .......................................................    ii
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .................................................    iii
ABSTRACT  .....................................................................................................   iv
ABSTRAK .......................................................................................................  v
KATA PENGANTAR .....................................................................................    vi
DAFTAR TABEL ...........................................................................................   xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................    xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................   xiii
BAB  I  PENDAHULUAN .............................................................................    1
1.1  Latar Belakang Masalah ...........................................................  1
1.2  Rumusan Masalah ....................................................................    23
1.3  Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................    25
1.4  Sistematika Penulisan ..............................................................   27
BAB  II  TELAAH PUSTAKA ........................................................................    29
2.1  Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu ................................  29
2.1.1  Desentralisasi Fiskal di Indonesia ................................    29
2.1.2  Hubungan Desentralisasi Fiskal dengan
Pertumbuhan ekonomi ..................................................  34
2.1.3  Penerimaan Daerah (Komponen Desentralisasi Fiskal)    36
2.1.3.1  Pendapatan Asli Daerah (PAD) ........................    36
2.1.3.2  Dana Perimbangan ............................................  36
2.1.3.2.1 Dana Bagi Hasil (DBH) ....................    37
2.1.3.2.2 Dana Alokasi Umum (DAU) .............  37
2.1.3.2.3 Dana Alokasi Khusus (DAK) ............    39
2.1.3.3  Pinjaman Daerah ..............................................   39
2.1.3.4 Lain-lain Pendapatan ........................................    40
2.1.4  Pengertian Pertumbuhan Ekonomi ...............................    40
2.1.5  Teori Pertumbuhan Ekonomi .......................................    41
2.1.5.1  Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik ................    41
2.1.5.2  Teori Adam Smith (1723-1790) .......................    42
2.1.5.2.1  Pertumbuhan Output Total ...............  43
2.1.5.2.2  Pertumbuhan Penduduk ...................    44
2.1.5.3  Teori Harrod-Domar .........................................  44
2.1.5.4  Teori Solow-Swan ............................................    46
2.1.6  Pengertian Tenaga Kerja ..............................................    47
2.1.7  Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi ...................   48
2.1.8  Investasi ........................................................................  49
2.1.9  Investasi Swasta dan Infrastruktur Daerah ...................    51
2.1.10  Penelitian Terdahulu ....................................................   51
2.2  Kerangka Pemikiran .................................................................    59
2.3  Hipotesis ...................................................................................  61
xi
BAB   III  METODE PENELITIAN ................................................................    62
3.1  Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ..........................    62
3.1.1  Variabel Penelitian .......................................................    62
3.1.2  Definisi Operasional .....................................................    62
3.2  Jenis dan Sumber Data .............................................................    63
3.3  Metode Pengumpulan Data ......................................................    65
3.4  Metode Analisis .......................................................................    65
3.4.1  Analisi Regresi .............................................................    66
3.4.2  Estimasi Regresi dengan Pendekatan FEM .................    68
3.4.3  Deteksi Penyimpangan Asumsi Klasik ........................    71
3.4.3.1  Deteksi Heterokedastisitas .............................    71
3.4.3.2  Deteksi Autokorelasi ......................................    72
3.4.3.3  Deteksi Multikolinieritas ................................  73
3.4.3.4  Deteksi Normalitas .........................................    74
3.4.4  Pengujian Hipotesis ......................................................    74
3.4.4.1 Koefisien Determinasi (R
2
) ............................    74
3.4.4.2  Uji F (Simultan)..............................................    75
3.4.4.3  Uji t  (Individu)...............................................    76
BAB   VI   HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................    78
4.1    Deskripsi Objek Penelitian .....................................................  78
4.1.1  Gambaran Umum Keadaan Geografis Provinsi Jawa
Tengah ..........................................................................    78
4.1.2  Perkembangan Desentralisasi Fiskal di Indonesia .......    80
4.1.3  Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah .............  83
4.1.4  Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Tengah ...........    86
4.1.5  Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah ...................    89
4.1.6  Investasi Swasta Provinsi Jawa Tengah .......................    92
4.1.7  Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah ............................    96
4.2  Analisis Data ..........................................................................  98
4.2.1  Deteksi Penyimpangan Asumsi Klasik ........................    99
4.2.1.1  Deteksi Autokorelasi ......................................    99
4.2.1.2  Deteksi Heterokedastisitas .............................    100
4.2.1.3  Deteksi Multikolinearitas ...............................    101
4.2.1.4  Deteksi Normalitas .........................................    103
4.2.2  Hasil Analisis Regresi ..................................................    104
4.2.3  Pengujian Hipotesis ......................................................    106
4.2.3.1 Koefisien Determinasi (R
2
) ............................    106
4.2.3.2 Uji F (Simultan) .............................................    106
4.2.3.3  Uji t (Individu) ...............................................    107
4.3  Interpretasi Hasil Penelitian ...................................................    110
BAB  V   PENUTUP ......................................................................................    117
5.1  Kesimpulan ............................................................................    117
5.2  Saran ......................................................................................    119
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................    121
LAMPIRAN ....................................................................................................   124
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1   Laju Pertumbuhan Ekonomi di Pulau Jawa
Tahun 2005-2009 (persen) ..............................................................    4
Tabel 1.2 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000
Provinsi di Jawa Tengah Tahun 2003-2009 ....................................    6
Tabel 1.3 Perbandingan Daerah dengan Rata-rata PDRB Tertinggi dan
Daerah dengan rata-rata PDRB terendah di Provinsi Jawa Tengah.  9
Tabel 1.4 Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Tengah
Tahun Anggaran 2003-2009 ...........................................................   11
Tabel 1.5 Jumlah Rata-rata PDRB Tertinggi dan Jumlah Rata-rata PDRB
Terendah di Provinsi Jawa Tengah .................................................    24
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu ......................................................    55
Tabel 4.1 Perjalanan Desentralisasi di Indonesia ............................................    81
Tabel 4.2 Produk Domestik Bruto (PDRB) atas Dasar Harga
Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
(juta rupiah) ....................................................................................    84
Tabel 4.3 Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (dalam ribu rupiah)...........    87
Tabel 4.4 Realisasi Dana Perimbangan Menurut Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Tengah (dalam ribu rupiah) ....................................................  90
Tabel 4.5 Realisasi Investasi Swasta Menurut Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Tengah ....................................................................................    93
Tabel 4.6 Jumlah Tenaga Kerja Menurut Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Tengah ....................................................................................    97
Tabel 4.7 Hasil Deteksi Autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test ........................................................................  100
Tabel 4.8 Hasil Deteksi Heterokedastisitas dengan White Test .......................    101
Tabel 4.9 Hasil Deteksi Multikolinearitas dengan Auxiliary Regression ........    102
Tabel 4.10 Hasil Regresi Utama Variabel-Variabel Penelitian .......................    105
Tabel 4.11 Nilai t-Statistik Pengaruh PAD, Dana Perimbangan,
Investasi Swasta, dan Tenaga Kerja terhadap
Pertumbuhan Ekonomi .................................................................   109
Tabel 4.12 Dummy Pertumbuhan Ekonomi ....................................................    115
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Rata-rata PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2003-2009 (juta rupiah) ...................................................  8
Gambar 1.2 Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2006-2009…………….....................................................  13
Gambar 1.3 Realisasi PMA dan PMDN tahun 2006-2009 Provinsi
Jawa Tengah (rupiah)...................................................................  16
Gambar 1.4 Jumlah Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Tenaga Kerja
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2009....................................    19
Gambar 2.1  Kerangka Pemikiran Teoritis ......................................................    59
Gambar 4.1  Deteksi Normalitas .....................................................................   103
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A Tabel Data Penelitian ................................................................    124
Lampiran B Hasil Regresi Utama Pengaruh Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan, Investasi Swasta, dan Tenaga Kerja
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ..............................................    128
Lampiran C Deteksi Penyimpangan Asumsi Klasik
Hasil Deteksi Multikolinearitas (Auxiliary Regression Test) .....    129
Hasil Deteksi Heterokedastisitas (White Test) ...........................   131
Hasil Deteksi Autokorelasi (Breusch-Godfrey Test) ..................    132
Hasil Deteksi Normalitas (Jarque-Bera) ....................................    133
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan  nasional  merupakan  salah  satu  upaya  untuk  mewujudkan
tujuan   masyarakat  yakni  kesejahteraan  yang  adil  dan  makmur.  Sejalan  dengan
tujuan    tersebut,   berbagai   kegiatan  pembangunan   nasional    diarahkan  kepada
pembangunan  yang  merata  ke  setiap  daerah,  khususnya  daerah  yang  cenderung
masih memiliki kelemahan dalam penerimaan pendapatannya.
Kegiatan pembangunan nasional tidak lepas dari peran  serta pemerintah
daerah dalam  memanfaatkan sumber daya yang tersedia di daerah masing-masing
sebagai upaya memperbesar kemampuan daerah. Untuk itu peningkatannya  harus
didukung  dengan  pembangunan  daerah  yang  dilaksanakan  secara  serasi  dan
terpadu  dalam  rangka  mewujudkan  pembangunan  nasional.  Pembangunan
ekonomi  daerah  adalah  suatu  proses  dimana  pemerintah  daerah  dan
masyarakatnya  mengelola  sumber-sumber  daya  yang  ada  dan  membentuk  suatu
pola  kemitraan  antara  pemerintah  daerah  dan  sektor  swasta  untuk  menciptakan
suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1997).
Pemerintah daerah dituntut untuk  bisa lebih mandiri dalam mengelola
penerimaaan  daerah  yang  ditujukan  untuk  proses  restrukturisasi  pembangunan
daerah.  Pembangunan  daerah  yang  baik  dilakukan  secara  berkelanjutan  sesuai
prioritas  dan  kebutuhan  masing-masing  daerah  dengan  akar  dan  sasaran
2
pembangunan nasional  yang telah ditetapkan melalui pembangunan  jangka
panjang dan jangka  pendek.
Otonomi  daerah  merupakan  salah  satu  bentuk  dari  program  pemerintah
yang dibuat dengan tujuan agar dapat menyelesaikan  permasalahan daerah  dalam
mengelola  informasi  kedaerahan,  membuat   pemerintah   daerah   berada  dalam
posisi lebih baik,  untuk memobilisasi  sumber daya secara mandiri serta untuk
pencapaian  tujuan  pembangunan  daerah.  Kebijakan  desentralisasi  dan  otonomi
daerah dapat menjadikan pemerintah agar lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga
pelayanan  pemerintah  dapat  dilakukan  dengan  baik.  Hal  ini  berdasarkan  asumsi
bahwa  pemerintah  kabupaten  dan  kota  memiliki  pemahaman  yang  lebih  baik
mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat mereka daripada pemerintah pusat
(Kuncoro,2004). Di dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 ditegaskan bahwasanya
“Kebijakan  desentralisasi  ke  daerah  diarahkan  untuk  mencapai
peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas Pemerintah daerah,
keselarasan  hubungan  antara  Pusat  dan  Daerah  serta  antar  daerah  itu  sendiri
dalam kewenangan dan keuangan untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan,
demokrasi  dan  kesejahteraan  serta  penciptaan  ruang  yang  lebih  luas   bagi
kemandirian daerah”.
Dengan semakin tinggi keinginan pemerintah  dalam melakukan kebijakan
desentralisasi  dan  otonomi  daerah  ini,  maka  pemerintah  mengeluarkan  undangundang yang menyangkut pembangunan daerah yaitu mengenai otonomi daerah,
seperti  yang tercantum di dalam  dalam UU No.  32 tahun 2004 yang mengatur
tentang Pemerintah Daerah dan    UU No. 33 tahun 2004   tentang Perimbangan
Keuangan antara  Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Diterapkannya Kedua
undang-undang ini akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi yang luas,
3
nyata  dan  bertanggung  jawab  kepada  pemerintah  daerah  secara  proposional.
Peraturan  perundang-undangan  ini  perlu  diberlakukan  melihat  kebijakan
sentralistik  yang  diterapkan  oleh  pemerintah  dahulunya  kurang  mengalami
peningkatan yang signifikan. Perkembangan dan  semakin  meningkatnya masalahmasalah  mengenai  sistem  sentralistik  membuat  pemerintah  menyelenggarakan
otonomi daerah yang mulai diterapkan pada tahun 2001 sampai  saat ini sehingga
diharapkan perkembangannya dapat mengatasi hambatan bagi pemerintah daerah
dalam mengelola sumber daya untuk dapat mensejahterahkan masyarakatnya dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Bank  Dunia  (1997)  dalam  Hadi  Sumarsono,  dan  Sugeng  Hadi  Utomo
(2009) menyebutkan bahwa antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi
mempunyai kemungkinan kondisi sebagai berikut:
1.  Desentralisasi  fiskal  akan  meningkatkan  efisiensi  pengeluaran
pemerintah sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan;
2.  Desentralisasi  fiskal  mempunyai  dampak  meningkatkan  instabilitas
makro ekonomi sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan;
3.  Desentralisasi  fiskal  untuk  suatu  daerah  bisa  berdampak  positif
ataupun  negatif  terhadap  pertumbuhan  ekonomi,  hal  tersebut
tergantung kesiapan kelembagaan daerah tersebut dalam menjalankan
kebijakan desentralisasi fiskal.
Dampak  positif  diberlakukannya  desentralisasi  fiskal  pada  pertumbuhan
ekonomi, dapat dilihat dari perkembangan ekonomi daerah di pulau Jawa. Pulau
4
Jawa  merupakan  salah  satu  pulau  yang  ada  di  Indonesia  yang  terdiri  dari  enam
provinsi  didalamnya  dengan  jumlah  penduduk  tertinggi  dan  juga  memiliki
kapasitas  fiskal  yang  tinggi.  Daerah  dengan  kapasitas  fiskal  yang  tinggi,  akan
mampu menyediakan pelayanan publik yang lebih baik. Berikut adalah persentase
laju pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa tahun 2005-2009 :
Tabel 1.1
Laju Pertumbuhan Ekonomi
di Pulau Jawa Tahun 2005-2009 (persen)
Provinsi  2005  2006  2007  2008  2009
Rata-rata
Pertumbuhan
DKI   6,01  5,95  6,44  6,22  5,01  5,90
Banten   5,88  5,57  6,04  5,77  4,69  5,57
Jawa Barat   5,6  6,02  6,48  5,84  4,29  5,59
Jawa Tengah   5,35  5,33  5,59  5,46  4,71  5,28
DIY  4,73  3,7  4,31  5,02  4,39  4,41
Jawa Timur  5,84  5,8  6,11  5,94  5,01  5,73
Indonesia  5,69  5,5  6,35  6,01  4,55  5,59
Sumber : BPS, statistik Indonesia,berbagai tahun terbitan
Berdasarkan  Tabel  1.1  diketahui  bahwa  provinsi  DKI  memiliki  rata-rata
pertumbuhan ekonomi tertinggi di bandingkan dengan daerah lain  yakni sebesar
5,90  % ; Posisi kedua ditempati oleh Provinsi Jawa Timur dengan rata-rata laju
pertumbuhan  ekonomi  sebesar  5,73  %.  Kemudian  Jawa  Barat  diposisi  ketiga
dengan  rata-rata  laju  pertumbuhan  ekonomi  sebesar  5,59  %  .  Provinsi  Banten
dengan  rata-rata  laju  pertumbuhan  ekonomi  sebesar  5,57  %   diposisi  keempat;
Jawa Tengah dengan rata-rata sebesar 5,28  % ; dan yang berada diposisi terakhir
yakni DIY dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,41%.
5
Jawa Tengah memiliki pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi  dari tahun
2005-2009. Sama halnya dengan provinsi di pulau Jawa lainnya yang cenderung
mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berfluktuatif. Provinsi Jawa
Tengah hanya bisa menduduki posisi kelima yang merupakan provinsi kedua yang
paling terendah  dengan rata-rata  pertumbuhan ekonomi sebesar 5,28  %. Provinsi
Jawa  Tengah  dengan  kapasitas  fiskal  yang  tinggi  serta  didukung  oleh  potensipotensi  sumber  daya  yang  dimiliki  seharusnya  dapat  memaksimalkan
keuntungannya  tersebut  untuk  dapat  bersaing  dengan  provinsi  yang  lain.
Kapasitas  fiskal  merupakan  kemampuan  yang  dimiliki  daerah  dalam  proses
pembangunan  yang  meliputi  sumber  daya  manusia,  sumber  daya  alam,  tingkat
industri,  serta  kemampuan  lain  daerah  dalam  upaya  meningkatkan  jumlah  PAD
yang  akan  diterima.    Ditambah  dengan  jumlah  kabupaten/kota  yang  terbilang
cukup  besar  yakni  sejumlah  35  kabupaten/kota  yang  secara  administratif  masuk
didalam pemerintahan daerah provinsi Jawa Tengah. Akan tetapi kondisi riil yang
dapat  dicapai  belum  terlalu  menampakkan  hasil  yang  memuaskan  dalam  proses
pencapaian tujuan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal
yang diterapkan  di provinsi Jawa Tengah belum  dapat  mendorong peningkatan
laju pertumbuhan  ekonomi agar dapat bersaing dengan provinsi lain yang ada di
pulau Jawa.
Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari 35 kabupaten/kota memiliki tingkat
pertumbuhan  ekonomi  yang  positif.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari  perkembangan
Produk  Domestik  Regional  Bruto  (PDRB)  atas  dasar  harga  konstan  2000
sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2 berikut :
6
Tabel 1.2
Produk Domestik Regional Bruto
Atas Dasar Harga Konstan 2000 Provinsi  di Jawa Tengah
Tahun 2003-2009
Tahun
PDRB Harga Konstan 2000
(juta rupiah)
Pertumbuhan (%)
2003  113520097,31  -2004  118574724,04  4,45
2005  123765613,17  5,00
2006  129091684,60  5,32
2007  132584831,40  5,97
2008  141860992,90  5,33
2009  148512940,69  5,20
Sumber: BPS dalam angka Provinsi Jawa Tengah, diolah
Dari Tabel 1.2 dapat diketahui bahwa jumlah PDRB daerah provinsi Jawa
Tengah  tiap  tahunnya  mengalami  kenaikan.  Dari  tahun  2004-2006,  laju
pertumbuhan  mengalami  kenaikan,  yakni  berkisar  antara  4,45  sampai  5,32  %.
Pencapaian  cukup  berhasil  terjadi  di  tahun  2008  dengan  persentase  laju
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,97 %.  Akan tetapi kenaikannya berangsur turun
di  tahun  2008  dengan  persentase  kenaikan  sebesar  5,33  %  dan  ditahun  2009
dengan  persentase  sebesar  5,20  %.  Hal  ini  menunjukan  bahwa  tingkat
perekonomian  di  Jawa  Tengah  secara  keseluruhan  mengalami  kenaikan.
Pertumbuhan ekonominya cenderung positif dan kondisi tersebut akan berdampak
pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat di Jawa Tengah.
Berbeda  dengan  Todaro  (2004)  yang  menyatakan  bahwa,  perekonomian
yang tinggi disuatu wilayah tidak mencerminkan kesejahteraan yang merata
bagi  seluruh  masyarakat  wilayah  tersebut.  Selain  itu,   tingkat  pertumbuhan
7
ekonomi  yang  cepat  tidak  dengan  sendirinya  diikuti  oleh  pertumbuhan  atau
perbaikan  distribusi  keuntungan  bagi  segenap  penduduk.  Peningkatan   serta
tingginya   pertumbuhan  ekonomi  di  provinsi  Jawa  Tengah  diharapkan  terjadi
secara  merata  dan  dapat  meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat.  Untuk
membuktikan  pernyatan  tersebut,  maka  dapat  dilihat  dari  perkembangan  jumlah
rata-rata PDRB menurut Kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah sebagai berikut.
8
Gambar 1.1
Rata-rata PDRB Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2009 (juta rupiah)
Sumber : BPS dalam Angka Provinsi Jawa Tengah, diolah
0 5.000.000 10.000.000 15.000.000 20.000.000 25.000.000
Kota Salatiga
Kota Magelang
Kota Tegal
Kab.Wonosobo
Kab. Blora
Kota Pekalongan
Kab. Rembang
Kab. Batang
Kab. Purbalingga
Kab. Temanggung
Kab. Grobogan
Kab. Banjarnegara
Kab. Sragen
Kab. Purworejo
Kab. Kebumen
Kab.Wonogiri
Kab. Demak
Kab. Pekalongan
Kab. Pemalang
Kab. Tegal
Kab. Magelang
Kab. Jepara
Kab. Boyolali
Kab. Pati
Kab. Banyumas
Kota Surakarta
Kab. Sukoharjo
Kab. Klaten
Kab. Karanganyar
Kab.Kendal
Kab. Brebes
Kab. Semarang
Kab. Cilacap
Kab. Kudus
Kota Semarang
Rp/juta
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
9
Tabel 1.3
Perbandingan Daerah dengan Rata-rata PDRB Tertinggi dan Daerah
dengan rata-rata PDRB terendah di Provinsi Jawa Tengah
Sumber : Data, diolah
Dari  Gambar  1.1  dan  Tabel  1.3  dapat  diketahui  bahwa  di  provinsi  Jawa
Tengah, hanya terdapat 3 kabupatan/kota dengan jumlah PDRB diatas rata-rata
PDRB  yang  ada  di  provinsi  Jawa  Tengah  yaitu  kabupaten  Cilacap  dengan  ratarata sebesar Rp.14.942.513,87 (juta), kemudian kabupaten Kudus dengan rata-rata
sebesar   Rp.  15.242.667,77  (juta),  dan  yang  memiliki  nilai  rata-rata  terbesar
ditempati oleh Kota Semarang  yang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah
dengan  rata-rata  sebesar  Rp.  24.173.153,16  (juta).  Sedangkan  rata-rata  PDRB
Kabupaten/Kota  terendah  dimiliki  oleh  Kota  Salatiga  dengan  rata-rata  berkisar
Rp.1.065.374,92  (juta),  kemudian  Kota  Magelang  dengan  rata-rata
Rp.1.283.128,51  (juta) dan Kota Tegal dengan rata-rata sebesar Rp.1.483.687,46
(juta)  .  Hal  ini  menunjukan  bahwa  pelaksanaan  desentralisasi  fiskal  yang
dilakukan  di  tiap  daerah  di  Jawa  tengah  juga  belum  berjalan  dengan  baik.
Kesenjangan pembangunan antar  daerah masih terjadi sehingga perlu penanganan
lebih lanjut dari pemerintah pusat sebagai pelaku utama kebijakan desentralisasi
fiskal untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Daerah dengan Rata-rata PDRB
Tertinggi
Daerah dengan Rata-rata PDRB
Terendah
Kota Semarang  Kota Salatiga
Kabupaten Kudus  Kota Magelang
Kabupaten Cilacap  Kota Tegal
10
Pemerintah  provinsi  Jawa  Tengah  pada  dasarnya  telah  berupaya  dalam
melaksanakan  program  otonomi  atau  desentralisasi  fiskal  yang  disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing kabupaten/kota. Kebijakan  desentralisasi fiskal
yang  baru mulai diterapkan pada tahun 2001  dirasa belum menampakkan hasil
yang optimal.  Hal ini terbukti melihat masih  terjadi kesenjangan  antara  sesama
daerah yang tercermin pada pertumbuhan PDRB yang bervariasi ditiap daerahnya.
Desentralisasi fiskal yang diterapkan tidak  serta merta menjadikan seluruh
kabupaten/kota  di  Propinsi  Jawa  Tengah  mengalami  peningkatan  pertumbuhan
PDRB secara bersamaan. Berdasarkan tabel PDRB atas dasar harga konstan  2000
menurut  kabupaten/kota  di  Jawa  Tengah  tahun  2003-2009,  dapat  disimpulkan
bahwa  meskipun  pertumbuhan  PDRB  berdasarkan  harga  konstan  tahun  2000
secara  umum  mengalami  kenaikan  dari  tahun  ke  tahun,  namun  hanya  sebagian
wilayah saja yang mengalami peningkatan secara signifikan.
Untuk  menyelenggarakan  otonomi  daerah  dan  desentralisasi  fiskal   yang
luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan untuk
menggali sumber keuangan sendiri. PAD (Pendapatan Asli Daerah)    merupakan
salah  satu  sumber  utama  pendapatan  yang  diperoleh  daerah  yang  dipungut
berdasarkan  peraturan  daerah  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan.
Dengan adanya desentralisasi fiskal, daerah mempunyai kewenangan  yang lebih
besar untuk mengoptimalkan PAD-nya    sehingga seharusnya porsi PAD sebagai
komponen  penerimaan daerah juga meningkat.  Peningkatan PAD yang dianggap
sebagai  modal,  secara  akumulasi  akan  lebih  banyak  menimbulkan  eksternalitas
11
yang bersifat positif dan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi (Pujiati, 2008).
Perkembangan PAD di provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.3 berikut.
Tabel 1.4
Realisasi Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2003-2009
Tahun  Pendapatan Asli Daerah
(ribu rupiah)
Pertumbuhan
(%)
2003  1.175.439.519  -2004  1.266.327.966  7,73
2005  1.436.494.358  13,44
2006  1.902.264.211  32,42
2007  2.104.268.521  10,62
2008  2.339.806.781  11,19
2009  2.573.505.219  9,99
Sumber : BPS dalam Angka Jawa Tengah, diolah
Perkembangan penerimaan daerah  di Jawa Tengah dapat dilihat  pada
Tabel  1.4  dimana komposisi pendapatan asli daerah yang digali oleh pemerintah
daerah sudah mengalami peningkatan baik  dari segi jumlah.  Kenaikan terbesar
terjadi  pada  tahun  2006  dengan  laju  pertumbuhan  PAD  sebesar  32,42%.  Ini
menunjukkan bahwa penggalian dana  oleh pemerintah daerah provinsi  Jawa
Tengah melalui sumber daya asli daerah dapat termanfaatkan dengan maksimal.
Peningkatan  PAD  sangat  menentukan  sekali  dalam  penyelenggaraan  otonomi
daerah,  karena  semakin  tinggi  PAD   disuatu  daerah  maka  daerah  tersebut  akan
menjadi  mandiri  dan  mengurangi  ketergantungan  kepada  pusat  sehingga  daerah
tersebut mempunyai kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah.
Akan tetapi,  Kuncoro (2004) berpendapat bahwa realitas hubungan  yang
terjadi  antara  pemerintah  pusat  dan  daerah  ditandai  dengan  tingginya  kontrol
12
pusat  terhadap  proses  pembangunan  daerah.  Proporsi  PAD  terhadap  total
penerimaan  daerah  termasuk  rendah  jika  dibandingkan  dengan  besarnya  subsidi
(grant)   yang  diberikan  pusat.  Senada  dengan  Mahi  (2005)  dalam  Kusumadewi
(2010)  berpendapat  bahwa  peranan  PAD  terhadap  pengeluaran  rutin  dan  total
pengeluaran  APBD  akan  semakin  menurun.  Hal  ini  mengindikasikan  komposisi
peranan  mekanisme  transfer  dari  pemerintah  pusat  melalui  dana  perimbangan
mengalami  peningkatan  untuk  mendanai  pelayanan  publik.  Artinya  daerah  yang
menerima  dana  perimbangan  lebih  besar,  menunjukan  bahwa  PAD  yang  dapat
dihasilkan pada daerah tersebut terbilang kecil dan memiliki potensi sumber daya
yang masih kurang, sehingga perlu dana penyeimbang dari pemerintah pusat agar
dapat menutupi kekurangan dari potensi sumber daya yang dimiliki pada daerah
tersebut. Maka dari itu, keberhasilan desentralisasi fiskal bukan hanya dilihat dari
meningkatnya jumlah PAD tetapi juga dari proporsi transfer dana dari pusat yakni
berupa  dana  perimbangan.  Berikut  ini  adalah  gambaran  perkembangan
perimbangan keuangan dari pusat  ke daerah dari tahun 2006-2009  provinsi Jawa
Tengah :
13
Gambar 1.2
Perkembangan Dana Perimbangan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006-2009
Sumber : BPS, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota
Berdasarkan  Gambar  1.2  diketahui  bahwa  dari  tahun  2006-2009
perkembangan  dana  perimbangan  meningkat  secara  signifikan.  Sumbangan
terbesar  di  peroleh  provinsi  Jawa  Tengah  dari  porsi  DAU  dengan  tren  ya ng
meningkat.  Besarnya  DAU  hingga  tahun  2009  mencapai  Rp.  18,25  triliyun.
Besarnya DAU tersebut meningkat dari tahun sebelumya  yaitu pada tahun 2006
dengan  porsi  DAU  sebesar  Rp.14,95  triliyun.  Sementara  itu  porsi  DAK  dari
pemerintah  pusat  terbilang  cukup  kecil  hanya  menyumbang  sebesar  Rp.  899
miliyar  pada  tahun  2006,  akan  tetapi  berangsur  naik  dengan  jumlah  porsi  DAK
sebesar Rp.  2,20  triliyun pada tahun 2009. Berbeda dengan transfer DBH yang
trennya  justru  menurun  dari  tahun  ke  tahun.  Pada  tahun  2006  bes arnya  DBH
mencapai Rp.2,33 triliyun kemudian di tahun 2007 sebesar Rp.1,44 triliyun, dan
0
5
10
15
20
25
2006 2007 2008 2009
Rp.14,95 T
Rp. 16,48 T
Rp. 17,39 T
Rp. 18,25 T
Rp.899 M
Rp. 1,29 T
Rp. 1,59 T
Rp. 2,20 T
Rp. 2,33 T
Rp. 1,44 T
Rp. 1,30 T
Rp. 1,80 T
Rp. Trilyun
DBH
DAK
DAU
14
di tahun 2008 semakin turun sebesar Rp. 1,30 triliyun.  Akan tetapi pada tahun
2009  porsi  DAK  semakin  membaik  dengan  jumlah  bagi  hasil  sebesar  Rp  1,80
Trilyun.   Gambar 1.2 menunjukkan bahwa saat pelaksanaan desentralisasi fiskal
tahun  2006-2009,  penerimaan  daerah  yang  bersumber  dari  dana  perimbangan
mengalami peningkatan  dari tahun ke tahun, namun pertumbuhan  ekonomi
justru  mengalami   fluktuasi.  Hal   ini  mengindikasikan   bahwa   dengan   adanya
dana  perimbangan   yang   tinggi,  ketergantungan   daerah   terhadap   dana
perimbangan  menjadi  sangat tinggi dan kemandirian  daerah  penghasil PAD
semakin  menurun.  Jumlah  Dana  Perimbangan  hasil  transfer  pemerintah  pusat
terbilang  cukup  besar  dikarenakan  pemerintah  Provinsi  Jawa  Tengah  harus
memperhatikan keseluruhan wilayah kabupaten dan kota yang masuk dalam area
pemerintahannya.  Sejumlah  29  kabupaten  dan  6  kota  termasuk  jumlah  yang
sangat  besar  sehingga  dibutuhkan  dana  yang  besar  pula  untuk  mengatasi
kekurangan pendapatan daerahnya.
Dengan  pencapaian  tersebut,  diharapkan  keseluruhan  daerah  dapat
mengoptimalkan  komponen–komponen  dan  kemampuan  yang  dimiliki  sehingga
pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan menggunakan anggaran pemerintah pusat
yakni  dana  perimbangan  yang  meliputi  DAU,  DAK,  dan  DBH  dalam  dana
perimbangan  tidak  menjadi  tolak  ukur  dalam  pendanaan  daerah,  akan  tetapi
menjadi  motivasi  bagi  daerah  tersebut  untuk  menggali  potensi-potensi  yang
dimiliki dan meningkatkan kemandirian soal pendanaan daerah.
Salah satu tujuan instrumen fiskal dari dana perimbangan yaitu berguna
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melalui belanja pembangunan dan
15
investasi   swasta.  Kontribusi   belanja   pembangunan   akan  menarik   investor
untuk dapat berinvestasi di daerah sehingga akan memperluas basis kegiatan
ekonomi  di  berbagai sektor,    dan secara khusus memperluas lapangan usaha
dan menurunkan tingkat pengangguran.
Kegiatan   investasi   swasta   akan  berpengaruh  terhadap   pertumbuhan
ekonomi, yaitu meningkatnya ketersediaan kapasitas produksi barang dan jasa
yang  dibutuhkan  masyarakat.  Tumbuhnya  ekonomi  suatu  daerah  dapat
menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan perkapita.
Investasi swasta yang masuk baik  PMA maupun PMDN di Provinsi Jawa
Tengah  jumlahnya  berfluktuatif  dan  cenderung  tinggi.  Investasi  ini  akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah setempat.  Perpindahan   modal  akan
mendorong  berkembangnya   pembangunan  terpusat  pada  wilayah-wilayah  yang
memiliki harapan laba  tinggi, sementara wilayah-wilayah  lainnya akan terlantar.
Hal  ini  menunjukkan  bahwa  investasi  yang  tidak  merata  pada  setiap  daerah
menyebabkan  kelangkaan  modal  yang  mengakibatkan  ketidakmerataan
pembangunan.    Berikut adalah gambaran realisasi investasi PMA maupun PMDN
Provinsi  Jawa Tengah :
16
Gambar 1.3
Realisasi PMA dan PMDN tahun 2006-2009
Provinsi Jawa Tengah (rupiah)
Sumber : BPMD Provinsi Jawa Tengah
Terlihat  pada  Gambar  1.3  perkembangan  yang  sangat  pesat  terjadi  pada
PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri)  tahun 2006-2009,  dimana pencapaian
pada tahun 2009 sampai sebesar Rp. 2.570.249.477.157. Hal tersebut menandakan
semakin kuatnya pemodalan yang bersumber dari dalam negeri dalam menunjang
peningkatan  perekonomian.  Pemasukan  yang  bersumber  dari  investasi  lokal  ini
menandakan bahwa pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah dan masyarakatnya
telah  berupaya  untuk  berperan  serta  membangun  perekonomian  daerah  tersebut.
Jumlah investasi swasta berupa PMA tahun 2008 juga mengalami kenaikan  yaitu
sebesar  Rp.  1.299.667.664.031  dari  tahun  sebelumnya  yaitu  sebesar  Rp.
916.754.515.077,  di  tahun  2009  kembali  turun  sebesar   Rp.  939.618.024.778.
Jumlah  proyek  yang  masuk  juga  mengalami  penurunan,  di  tahun    tahun  2007
0
500.000.000.000
1.000.000.000.000
1.500.000.000.000
2.000.000.000.000
2.500.000.000.000
3.000.000.000.000
3.500.000.000.000
2006 2007 2008 2009
PMA
PMDN
17
proyek yang masuk sejumlah 43 dengan penyerapan tenaga kerja sejumlah 11.929
orang kemudian di tahun berikutnya yaitu tahun 2008 sejumlah 35 proyek dengan
penyerapan tenaga kerja sejumlah 8.630 orang  dan turun kembali di tahun 2009
dengan  jumlah  proyek  sebesar  31  proyek  dan  penyerapan  tenaga  kerja  sebesar
4191 orang . Berbeda dengan investasi PMA, jumlah investasi PMDN di provinsi
Jawa  Tengah  yang  masuk  tahun  2008  cenderung  mengalami  kenaikan,  yakni
sebesar   Rp.   276.469.001.339 di tahun 2007, kemudian Rp. 1.336.340.570.821 di
tahun 2008 dan Rp. 2.570.249.477.157 di tahun 2009. Jumlah  proyek  yang masuk
juga memperlihatkan kenaikan  yaitu 15 proyek  dengan penyerapan tenaga kerja
sebesar  6422  orang  di  tahun  2008  jauh  lebih  banyak  dibandingkan  tahun
sebelumnya dengan hanya  menarik investasi sejumlah 5 proyek  .  Kota Semarang
sebagai  benchmark  untuk  Provinsi  Jawa  Tengah  pada  nilai  investasi  USD  juga
mengalami penurunan dari nilai investasi sebesar USD 17.571.211 di tahun 2007
dan  ditahun  2008  mengalami  penurunan  drastis  yaitu  dengan  nilai  investasi
sebesar  USD  7.015.650.  Hal  tersebut  terjadi  dikarenakan  kondisi  perekonomian
pada  tahun  2008  cukup  bergejolak  dengan  adanya  krisis  global  yang  melanda
seluruh  negara di  dunia. Tumbuhnya  iklim investasi yang sehat dan  kompetitif
sangat  diharapkan  karena  akan  memacu  perkembangan  investasi  yang  saling
menguntungkan  baik  bagi  pemerintah  daerah,  pihak  swasta  maupun  terhadap
masyarakatnya.
Laju  pertumbuhan  perekonomian  juga  menunjukkan  tingkat  kenaikan
GNP  riil.  Faktor  penyebab  pertumbuhan  GNP  riil  adalah  jumlah  sumber  daya
yang  tersedia  mengalami  perubahan.  Sumber  daya  dalam  perekonomian  dibagi
18
menjadi  barang  modal  dan  tenaga  kerja.  Tenaga  kerja  dibedakan  menjadi  dua
yaitu  angkatan  kerja  dan  bukan  angkatan  kerja.  Angkatan  kerja  adalah  tenaga
kerja  yang  terdiri  dari  mereka  yang  bekerja  dan  mereka  yang  menganggur  dan
juga mencari pekerjaan. Bukan angkatan kerja yaitu mereka yang bersekolah atau
mengurus  rumah  tangga.  Angkatan  kerja  yang  terdiri  baik  orang  yang  sedang
bekerja  maupun  sedang  mencari  pekerjaan,  mengalami  pertumbuhan  sepanjang
waktu dan dengan demikian menyediakan satu sumber bagi peningkatan produksi
(Dornbusch dan fisher,1994).
Menurut  Parhah  (2002)  semakin  besar  jumlah  tenaga  kerja  akan
meningkatkan  jumlah  output  yang  dihasilkan  di  dalam  perekonomian.  Tenaga
kerja  sebagai  salah  satu  faktor  produksi  yang  dipakai  dalam  proses  produksi
peranannya  dipengaruhi  oleh  ketrampilan,  tingkat  pendidikan,  dan  daya  kreasi
yang  dimiliki  oleh  tenaga  kerja  tersebut.  Semakin  tinggi  tenaga  kerja  tersebut
memiliki kemampuan itu, maka akan cenderung meningkatkan produktivitasnya.
Meningkatnya produktivitas tenaga kerja dalam bentuk meningkatnya output yang
dihasilkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sejalan  dengan  Muhammad  Arief  Dirgantoro,  dkk  (2009)  menyatakan
bahwa angkatan kerja merupakan salah satu faktor produksi yang mempengaruhi
pertumbuhan  ekonomi.  Akan  tetapi,  apabila  angkatan  kerja  tidak  dapat  terserap
seluruhnya dipasar kerja maka akan terjadi pengangguran.
Penduduk  yang  bertambah  akan  memperbesar  jumlah  tenaga  kerja,
penambahan  tersebut  akan  mendorong  suatu  daerah  untuk  menambah
produksinya.  Pertumbuhan  penduduk  (angkatan  kerja)  yang  disertai  dengan
19
tersedianya  lapangan  pekerjaan  akan  meningkatkan  output  perekonomian.  Akan
tetapi  akan  berakibat  buruk  ketika  pertambahan  penduduk  tersebut  tidak
diimbangi oleh kesempatan kerja yang ada, sehingga peningkatan ekonomi yang
diharapkan tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan. Pertumbuhan jumlah
tenaga  kerja  (orang  yang  bekerja)  provinsi  Jawa  Tengah  dari  tahun  2003-2009
dapat dilihat pada Gambar 1.4 berikut :
Gambar 1.4
Jumlah Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Tenaga Kerja
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2009
Sumber: BPS Jawa Tengah 2003-2009, diolah
Berdasarkan Gambar 1.4 ditunjukkan bahwa perkembangan tenaga kerja
pada  tahun  2003-2009  cenderung  berfluktuatif.  Pada  tahun  2005  kenaikannya
sebesar 4,86 % dan menurun di tahun 2006 sebesar -2,84% . Di tahun berikutnya,
yaitu tahun 2007 mengalami kenaikan lebih besar dari tahun sebelumnya sebesar
7,19 % kemudian turun pada tahun 2008 dengan penurunan drastis sebesar  -5,15
Pertumbuhan
(%)
2003  -2004  -1,75
2005  4,86
2006  -2,84
2007  7,19
2008  -5,15
2009  2,40
-1,75
4,86
-2,84
7,19
-5,15
2,40
14.000
14.500
15.000
15.500
16.000
16.500
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
ribu jiwa
20
% dan ditahun 2009 mengalami kenaikan kembali sebesar 2,40 %. Dampak krisis
keuangan  global  yang  terjadi  pada  pertengahan  tahun  2008  berdampak  pada
menurunnya  kondisi  perekonomian  di  seluruh  provinsi  yang  ada  di  Indonesia,
termasuk Provinsi Jawa Tengah. Pada fase tersebut faktor-faktor produksi barang
ekspor  mengalami  hambatan,  sehingga  beban  biaya  produksi  harus  dikurangi
dengan cara mengurangi sebagian jumlah tenaga kerja. Pemerintah daerah sebagai
pengambil kebijakan seharusnya dapat lebih fokus menanggulangi permasalahan
yang  serius  ini.  Penurunan  sekitar  -5,15  %  ditahun  2008  dinilai  sangat
mempengaruhi stabilitas ekonomi Provinsi Jawa Tengah. Maka dari itu, kenaikan
jumlah  tenaga  kerja  dirasa  perlu  dalam  upaya  menaikan  pertumbuhan  ekonomi
khususnya daerah di era desentralisasi fiskal.
Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hubungan desentralisasi fiskal
dan pertumbuhan ekonomi,  sebelumnya berfokus pada pelaksanaan desentralisasi
dengan  permasalahan  ketimpangan  dan  kesenjangan.  Seperti  penelitian  Bonet
(2006) yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal pada negara
berkembang (studi kasus Kolombia) berpengaruh terhadap tingginya ketimpangan
antar  wilayah.  Penelitian  Waluyo  (2007)  berpandangan  bahwa  kebijakan
desentralisasi  fiskal  di  Indonesia  belum  mampu  mengurangi  kesenjangan
pendapatan antara daerah. Persamaan konsep antara pandangan dua kultur negara
berkembang  yang  berbeda  dan  mengenai  belum  maksimalnya  pengaruh
desentralisasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, mementahkan konsep dasar
diterapkannya  desentralisasi  fiskal  daerah  yaitu  sebagai  alat  untuk
21
memaksimalkan faktor-faktor pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan
di daerah.
Sementara  itu,  terdapat  pandangan  berbeda  mengenai  hubungan
desentralisasi  fiskal  dan  pertumbuhan  ekonomi,  yaitu  penelitian  Oates   (1993)
dan penelitian Woller dan Philips (1998).  Menurut Oates  (1993)  dalam Parhah
(2002)  menyatakan  bahwa  desentralisasi  fiskal  akan  menciptakan  efisiensi
ekonomi   dan   memiliki   pengaruh  pembentukan   dinamis   pada   pertumbuhan
ekonomi. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi yaitu karena
pemerintahan lokal mempunyai posisi yang lebih baik daripada pemerintah pusat
untuk  menyalurkan  pelayanan  publik  yang  dibutuhkan  oleh  pemerintah  lokal,
yang  selanjutnya  efisiensi  ekonomi  akan  mendorong  pertumbuhan  ekonomi  di
tingkat lokal dan pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional.
Hal  ini  sangat  bertolak  belakang  dengan  penelitian   Woller  dan   Philips
(1998) menyebutkan desentralisasi fiskal memiliki hubungan negatif dengan
pertumbuhan ekonomi dan Davoodi dan Zou (1998) juga memiliki pendapat yang
sama  bahwa  semakin  tingginya   tingkat   desentralisasi   fiskal   kepada  daerah
maka  akan  semakin  menurunkan  pertumbuhan  ekonomi  di  negara-negara
berkembang.  Terdapat  beberapa  faktor  yang  menyebabkan  desentralisasi   fiskal
dalam beberapa hal menjadi kurang menguntungkan bagi pembangunan.  Faktor
tersebut  antara  lain  komposisi  pengeluaran   pemerintah,   penetapan  pendapatan
yang kurang tepat oleh pemerintah daerah, keuntungan efisiensi desentralisasi
fiskal yang kurang materiil di negara-negara berkembang dan ketidakcakapan
aparatur daerah dalam mengelola potensi daerah dengan maksimal.
22
Dampak positif desentralisasi fiskal yang terjadi pada suatu negara
atau daerah dalam periode tertentu belum bisa dijadikan tolok ukur bahwa
transfer keuangan publik antar pemerintah akan memberikan imbas positif
pula  di  daerah  lain  pada  waktu  yang  sama.  (Wibowo,  2008).  Sejalan  dengan
Sjafrizal  (2008)  yang  berpendapat  bahwa,  pelaksanaan  otonomi  daerah  dan
desentralisasi  fiskal  pembangunan  akan  menyebabkan  setiap  daerah,  termasuk
daerah terbelakang dapat lebih berwewenang untuk menggali potensi daerahnya
akan meningkatkan pertumbuhan daerahnya dan secara bersamaan  kesenjangan
pembangunan antar wilayah akan dapat pula dikurangi.
Banyaknya  hasil  studi  yang  berbeda-beda  mengenai  kebijakan
desentralisasi  ini,  menarik  peneliti  untuk  mencoba  menganalisis  kembali
penelitian-penelitian  sebelumnya  dengan  menggunakan  indikator-indikator  yang
sesuai, yang dapat memperjelas penjelasan mengenai apakah desentralisasi fiskal
yang  diterapkan  akan  benar-benar  berpengaruh  terhadap  pertumbuhan  ekonomi
yang ada di daerah, khususnya di kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai objek
penelitian bagi  peneliti. Pengambilan lokasi di  Jawa  Tengah dikarenakan tingkat
pertumbuhan ekonomi di Jawa tengah termasuk salah satu daerah yang memiliki
tingkat  pertumbuhan  yang  masih  tertinggal  dibandingkan  dengan  5  provinsi
lainnya yang ada berada di pulau Jawa antara lain DKI, Banten,  Jawa Barat,  DIY,
dan Jawa Timur. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan desentralisasi yang sudah
dilaksanakan belum maksimal dilakukan, melihat Jawa Tengah merupakan salah
satu provinsi yang terbesar di pulau Jawa yang mempunyai kapasitas fiskal yang
tinggi  sebagai  pendorong  bagi  penerimaan  daerah  yang  akan  diterima.  Hal   ini
23
yang  melatarbelakangi  peneliti  untuk  mengangkat  judul  tentang  “  Pengaruh
Pendapatan  Asli  daerah,  Dana  Perimbangan,  Investasi  Swasta  dan  Tenaga
Kerja  terhadap  Pertumbuhan  Ekonomi  di  Era  Desentralisasi  Fiskal  (Studi
Kasus Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah) ”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan  uraian  latar  belakang,  maka  dapat  dirumuskan  masalah
sebagai berikut :
1.  Pelaksanaan  desentralisasi  fiskal  merupakan  pendorong  bagi  peningkatan
perekonomian  di  suatu  daerah.  Provinsi  Jawa  Tengah  sebagai  salah  satu
daerah terbesar di Pulau Jawa dengan kapasitas fiskal yang tinggi dan jumlah
wilayah terbanyak kedua di Pulau Jawa setelah Jawa Timur yakni sebesar 35
kabupaten/kota memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah
daerahnya untuk mengelola    potensi sumber daya di tiap daerah. Akan tetapi
kondisi  riil  yang  ada  menunjukkan  bahwa  Provinsi  Jawa  Tengah  dengan
pertumbuhan  PDRB  yang  semakin  meningkat  dari  tahun  ke  tahun  masih
dinilai tertinggal dengan  provinsi lainnya di Pulau Jawa. Kesenjangan antar
daerah masih terjadi dengan hanya terdapat 3 wilayah dengan jumlah PDRB
diatas  rata-rata  PDRB  di  provinsi  Jawa  Tengah  yaitu  Kabupaten  Cilacap,
Kabupaten Kudus, dan Kota Semarang. Kabupaten dan kota lainnya termasuk
dalam kategori dibawah rata-rata. Dapat dilihat pada Tabel 1.5 berikut.
24
Tabel 1.5
Jumlah  Rata-rata PDRB Tertinggi dan Jumlah Rata-rata PDRB
Terendah di Provinsi Jawa Tengah
Daerah dengan
Rata-rata PDRB
Tertinggi
Rata-rata PDRB
( juta rupiah)
Daerah dengan
Rata-rata PDRB
Terendah
Rata-rata PDRB
(juta rupiah)
Kota Semarang  Rp.24.173.153,16  Kota Salatiga  Rp.1.065.374,92
Kabupaten Kudus   Rp.15.242.667,77  Kota Magelang   Rp.1.283.128,51
Kabupaten Cilacap  Rp.14.942.513,87  Kota Tegal  Rp. 1.483.687,46
Sumber : data, diolah
Dari  Tabel  1.5  dapat  dilihat  bahwa  kesenjangan  antara  daerah  dengan  ratarata  PDRB  tertinggi  dan  daerah  dengan  rata-rata  terendah  posisinya  sangat
jauh sehingga menyebabkan penyebaran pertumbuhan ekonomi dalam rangka
mensejahterakan masyarakat di era desentralisasi belum tercapai.  Dalam hal
ini  dibutuhkan  peningkatan  jumlah  PAD  dan  dana  perimbangan  sebagai
indikator  pelaksanaan  kebijakan  desentralisasi  fiskal  guna  mendorong
perekonomian  dan  pemerataan  daerah.  Peningkatan  yang  disertai  dengan
intensitas  kegiatan  ekonomi  yang  tinggi  akan  menarik  sejumlah  investor
untuk  berinvestasi  ke  daerah  dan  akan  berdampak  pada  meningkatnya
kesempatan kerja  yang pada akhirnya akan mengatasi disparitas pendapatan
yang terjadi di daerah.
2.  Adanya  ketidakkonsistenan  penelitian  terdahulu  (research  gap)  tentang
hubungan desentralisasi fiskal dan petumbuhan ekonomi  daerah,  yaitu antara
lain  perbedaan  pandangan  antara  penelitian  Oates  (1993)  dan  penelitian
Woller dan Philips (1998). Oates (1993) menyebutkan bahwa desentralisasi
25
fiskal  akan  menciptakan  efisiensi  ekonomi  dan  berpengaruh  terhadap
pembentukan  dinamis  pada  pertumbuhan  ekonomi.  Berbeda  hal  dengan
Woller  dan  Philips  (1998)  yang  menyebutkan  bahwa  desentralisasi  fiskal
memiliki  hubungan  yang  negatif  dengan  pertumbuhan  ekonomi.  Perbedaan
yang  mendasar  tersebut  menarik  peneliti  untuk  mengkaji  lebih  dalam
mengenai penelitian ini yang mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya
dengan  menggunakan  komponen-komponen  desentralisasi  fiskal  yang  juga
sebagai indikator bagi pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah  di atas maka pertanyaan
yang menarik untuk diajukan dalam penelitian ini adalah:
1.  Bagaimana  pengaruh  pendapatan  asli  daerah  terhadap  pertumbuhan
ekonomi di kabupaten/Kota di Jawa Tengah
2.  Bagaimana  pengaruh  dana  perimbangan  terhadap  pertumbuhan  ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Tengah
3.  Bagaimana  pengaruh  investasi  swasta  terhadap  pertumbuhan  ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Tengah
4.  Bagaimana  pengaruh  tenaga  kerja  terhadap  pertumbuhan  ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Tengah
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan    dengan  rumusan  masalah  yang  dikemukakan,  maka  tujuan
dari penelitian ini adalah :
26
1.  Menganalisis  pengaruh  pendapatan  asli  daerah  terhadap  pertumbuhan
ekonomi di kabupaten/Kota di Jawa Tengah
2.  Menganalisis  pengaruh  dana  perimbangan   terhadap  pertumbuhan
ekonomi kabupaten/kota di Jawa Tengah
3.  Menganalisis  pengaruh  investasi  swasta   terhadap  pertumbuhan  ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Tengah
4.  Menganalisis  pengaruh  tenaga  kerja   terhadap  pertumbuhan  ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Adapun Kegunaan pada penelitian ini adalah  sebagai berikut :
1.  Sebagai bahan masukan  dan rekomendasi  bagi pembuat kebijakan  yakni
pemerintah pusat dan pemerintah daerah,  khususnya daerah provinsi Jawa
Tengah  sebagai  objek  penelitian  dalam  upaya  mendorong  perekonomian
daerah  sehingga  proses  kebijakan  desentralisasi  fiskal  ke  daerah  dapat
berjalan  dengan  baik  dan  berkelanjutan  yang  disesuaikan  dengan
kemampuan  manajemen  pengelolaan  keuangan  provinsi  Jawa  Tengah
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.  Sebagai  bahan  referensi  bagi  penelitian  selanjutnya  dalam  melakukan
penelitian yang sejenis dan sumbangan pemikiran tentang pengembangan
ekonomi publik, pembangunan, dan otonomi daerah.
27
1.4 Sistematika Penulisan
Dalam  penulisan  skripsi  ini  akan  dibagi  dengan  lima  bab  dengan
sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada  bab  pertama  akan  dijelaskan   mengenai  latar  belakang  masalah
pemilihan  judul  penelitian  yaitu  pengaruh  pendapatan  asli  daerah,  dana
perimbangan, investasi swasta, dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi
di  era  desentralisasi  fiskal,  perumusan  masalah,  serta  tujuan  dan  kegunaan  dari
penelitian.
BAB II : TELAAH PUSTAKA
Pada bab kedua akan dijelaskan mengenai landasan teori yang mendasari
penelitian,  adapun  teori  yang  akan  diangkat  dalam  penelitian  yaitu  teori  dasar
pertumbuhan  ekonomi,  yang  meliputi  teori  pertumbuhan  ekonomi  klasik,  teori
Adam  Smith  (1723-1790),  teori  Solow  Swan,  dan  teori  Harrord  Domar.
Kemudian akan dibahas juga penjelasan umum mengenai variabel-variabel yang
akan  diambil,  pengembangan  konsep  kerangka  pemikiran  serta  hipotesis
penelitian.
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada  bab  ketiga  akan  dijelaskan  mengenai  definisi  operasional  variabelvariabel  penelitian,  penjelasan  mengenai  jenis  dan  sumber  data,  dan  metode
analisis pengolahan data yang digunakan dalam penelitian.
28
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada  bab  empat  akan  dijelaskan  mengenai  hasil  yang  didapat  setelah
mengadakan  penelitian  yang  mencangkup  gambaran  umum  penelitian,  hasil
analisis  data  panel  yang  mencangkup  35  kabupaten/kota  provinsi  Jawa  Tengah,
hasil perhitungan data dengan alat analisis regresi OLS (Ordinary Least Square)  ,
dan inteprestasi hasil dari penelitian.
BAB V : PENUTUP
Pada bab kelima yang merupakan bab penutup, akan dijelaskan mengenai
kesimpulan dan saran setelah dilakukan penelitian.  Kesimpulan adalah penjelasan
singkat tentang hasil dari penelitian  yang telah dirangkum dan saran merupakan
masukan untuk penelitian selanjutnya.
29
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1  Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu
Berbagai teori yang  akan dikemukakan  adalah merupakan dasar dalam
perumusan hipotesis dan landasan dalam melakukan analisis penelitian ini.
Dalam landasan teori ini akan dibahas mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia,
hubungan  antara  desentralisasi  fiskal  dan  pertumbuhan  ekonomi,  penerimaan
daerah  (komponen  desentralisasi  fiskal),  tenaga  kerja,  serta  investasi  dan
infrastruktur  daerah.  Dasar  teori  yang  digunakan  sebagai   landasan   dalam
penelitian adalah teori  pertumbuhan, antara  lain teori pertumbuhan klasik, teori
pertumbuhan Adam Smith (1723-1790), teori pertumbuhan Solow Swan, dan teori
pertumbuhan Harrord Domar.
Disamping   itu,  untuk   dapat   membandingkan   hasil-hasil   penelitian
sejenisnya   atau   yang  memiliki   tema   hampir   sama  secara  empiris,  maka
dilengkapi juga dengan beberapa penelitian terdahulu tentang desentralisasi fiskal
dan  pertumbuhan  ekonomi.  Penelitian-penelitian  tersebut  kemudian  digunakan
menjadi acuan serta pembanding dalam penelitian ini.
2.1.1 Desentralisasi fiskal di Indonesia
Definisi desentralisasi menurut UU No.32 tahun 2004 :
“Desentralisasi  adalah  penyerahan  wewenang  pemerintahan  oleh
Pemerintah  kepada  daerah  otonom  untuk  mengatur  dan  mengurus  urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
30
Salah  satu  tujuan  desentralisasi  dan  otonomi  daerah  adalah  untuk
menjadikan  pemerintah  lebih  dekat  dengan  rakyatnya,  sehingga  pelayanan
pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif.  Hal  ini berdasarkan
asumsi  bahwa  pemerintah  kabupaten  dan  kota  memiliki  pemahaman  yang  lebih
baik mengenai kebutuhan dan  aspirasi masyarakat mereka dari pada pemerintah
pusat.
Desentralisasi  terfokus  pada  tingkat  kabupaten  dan  kota.  Kedua
pemerintahan  tersebut  berada  pada  level  ketiga  setelah  pemerintah  pusat  dan
provinsi.  Beberapa  pengamat  menyarankan  bahwa  desentralisasi  harus
dilaksanakan  pada  tingkat  provinsi  karena  provinsi  dianggap  memiliki  kapasitas
yang lebih besar untuk menangani seluruh tanggung jawab yang dilimpahkan dari
pada  kabupaten  dan  kota.  Walaupun  demikian,  sudah  menjadi  rahasia  umum
bahwa  pemerintah  pusat  merasa  tidak  diuntungkan  secara  politis  jika  harus
membentuk  pemerintahan  otonom  provinsi  yang  kuat.  Alasannya  adalah  akan
menjadi potensi yang disintegrasi yang semakin kuat (Arsyad,2004)
Terdapat  beberapa  alasan  untuk  mempunyai  sistem  pemerintahan  yang
terdesentralisai  Simanjuntak  (2001)  dalam  Pujiati  (2008):  (1)  Representasi
demokrasi,  untuk  memastikan  hak  seluruh  warga  negara  untuk  berpartisipasi
secara langsung pada keputusan yang akan mempengaruhi daerah  (2) Tidak dapat
dipraktekkannya pembuatan keputusan  yang tersentralisasi, adalah tidak realistis
pada  pemerintahan  yang  sentralistis  untuk  membuat  keputusan  mengenai  semua
pelayanan  rakyat seluruh negara, terutama pada negara  yang berpenduduk besar
seperti  Indonesia  (3)  Pengetahuan  lokal  (local  knowledge),  mereka  yang  berada
31
pada  daerah  lokal  mempunyai  pengetahuan  yang  lebih  banyak  mengenai
kebutuhan lokal, prioritas, kondisi, dll (4) Mobilitas sumber daya, mobilitas pada
bantuan dan sumber daya dapat di fasilitasi dengan hubungan yang lebih erat di
antara populasi dan pembuat kebijakan pada tingkat lokal.
Menurut  pasal  14  UU  No.  32  tahun  2004,  Urusan  wajib  yang  menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan  yang
berskala kabupaten/kota meliputi:
a.  perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.  perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.  penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.  penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.  penanganan bidang kesehatan;
f.  penyelenggaraan pendidikan;
g.  penanggulangan masalah sosial;
h.  pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.  fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j.  pengendalian lingkungan hidup;
k.  pelayanan pertanahan;
l.  pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m.  pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.  pelayanan administrasi penanaman modal;
o.  penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
32
p.  urusan  wajib  lainnya  yang  diamanatkan  oleh  peraturan  perundangundangan.
Urusan  pemerintahan  kabupaten/kota  yang  bersifat   pilihan   meliputi
urusan  pemerintahan  yang  secara  nyata  ada  dan  berpotensi  untuk  meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Pada  hakekatnya,  terdapat  tiga  prinsip  dalam  implementasi  otonomi
daerah di Indonesia, yaitu:
1.  Desentralisasi, yaitu adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada kabupaten/kota sehingga otonomi lebih  dititikberatkan
pada daerah tersebut.
2.  Dekonsentrasi  adalah  pelimpahan  wewenang  pemerintahan  oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
3.  Tugas  pembantuan,  adalah  penugasan  dari  pemerintah  kepada  daerah
dan/atau  desa  dan  pemerintah  provinsi  kepada  kabupaten/kota  dan/atau
desa  serta  dari  pemerintah  kabupaten/kota  kepada  desa  untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Sementara  itu  Bahl  (1998)  mengemukakan  adanya  prinsip-prinsip  untuk
melaksanakan desentralisasi fiskal, yaitu
33
1.  Desentralisasi  fiskal  adalah  sebuah  sistem  yang  komprehensif  yang
melibatkan  level  pemerintahan  dan  mendukung  desentralisasi  secara
umum.
2.  Prinsip  money  follow  function,  dimana  pelimpahan  wewenang  harus
diikuti  dengan  anggaran  yang  memadai  untuk  melaksanakan  wewenang
tersebut.
3.  Adanya  kemampuan  yang  kuat  untuk  memonitor  dan  mengevaluasi
pelaksanaan desentralisasi dari pemerintah pusat.
4.  Harus  memperhatikan  karakteristik   dan  kemampuan  masing-masing
daerah dalam memberikan wewenang.
5.  Harus  ada   taxing  power  yang  kuat  dari  pemerintah  daerah  untuk
melaksanakan tugas-tugas desentralisasi.
6.  Pemerintah pusat harus konsisten dalam melaksanakan desentralisasi dan
sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya.
7.  Dibuat  sesederhana  mungkin  dengan  formula  yang  tidak  rumit  terutama
dalam pelimpahan wewenang.
8.  Desain  dana  perimbangan  harus  sesuai  dengan  tujuan  dari  desentralisasi
fiskal.
9.  Desentralisasi fiskal harus memperhatikan keperntingan-kepentingan dari
tiap  level  pemerintahan  agar  tidak  terjadi  tumpang  tindih  tugas  dan
wewenang.
10.  Sistem  yang  dikembangkan  dalam  dana  perimbangan  bisa  disesuaikan
dengan perkembangan yang ada.
34
11.  Harus  ada  daerah  yang  sukses  dan  menjadi  daerah  percontohan  untuk
pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Dari  beberapa  uraian  di  atas,  desentralisasi  fiskal  adalah  sebagai
konsekuensi  dari  adanya  pelimpahan  wewenang  sehingga  daerah  juga   lebih
leluasa  untuk  mendapatkan  anggaran  lebih  untuk  melaksanakan  tugas
desentralisasi.  Pemerintah  daerah  dalam  meningkatkan  anggaran  bisa  melalui
optimalisasi  penerimaan  daerah  sendiri  dan  transfer  dana  perimbangan  dari
pemerintah pusat.
2.1.2 Hubungan Desentralisasi Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan teori Tiebout dalam (Sumarsono dan Hadi Utomo,2009)  yang
menjadi landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan
wewenang  akan  meningkatkan  kemampuan  daerah  dalam  melayani  kebutuhan
barang  publik  dengan  lebih  baik  dan  efisien.  Kondisi  peningkatan  pelayanan
barang  publik  ini  dalam  kaitannya  hubungan  antar  daerah  otonom  akan
memberikan  kondisi  kompetisi  persaingan  antar  kabupaten/kota  untuk
memaksimalkan kepuasan bagi masyarakat. Penyebab mendasar dari peningkatan
kemampuan  tersebut  adalah  karena  pemerintah  daerah  dipandang  lebih
mengetahui  kebutuhan  dan  karakter  masyarakatnya,  sehingga  program-program
dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan.  Lebih jauh Tiebout
menyatakan bahwa, adanya kebijakan desentralisasi fiskal, secara tidak langsung
memunculkan  kompetisi  antar  daerah  otonom  dalam  meningkatkan  pelayanan
35
kepada  masyarakat,  dimana  daerah  dengan  pelayanan  yang  baik  akan
memaksimalkan  utilitas  masyarakat.  Senada  dengan  Davoodi  dan  Zou  (1998)
yang mengatakan bahwa  desentralisasi fiskal akan  memunculkan kompetisi atau
persaingan  antar  daerah  yang  pada  akhirnya  akan  meningkatkan  kesamaaan
pandangan  antara  apa  yang  diharapkan  oleh  masyarakat  dengan  program  yang
dilakukan oleh pemerintah daerahnya.
Oates  (1993)  menyatakan  bahwa  tingkat  kemajuan  ekonomi  merupakan
outcome  dari   kesesuaian   preferensi   masyarakat   dengan   pemerintah   daerah
yang tercipta  karena makin pentingnya peran pemerintah daerah dalam  otonomi
daerah.  Secara  teori,  desentralisasi  fiskal  di  perkirakan  akan  memberikan
peningkatan  ekonomi  mengingat  pemerintah  daerah  mempunyai  kedekatan
dengan  masyarakatnya  dan  mempunyai  keunggulan  informasi  dibanding
pemerintah   pusat,   sehingga  pemerintah  daerah  dapat   memberikan   pelayanan
publik yang benar-benar  dibutuhkan di daerahnya.  Tanggung jawab fiskal yang
semakin  besar  oleh  Pemda  dapat  menstimulus  pembangunan.  Hal  ini  akan
berdampak pada hubungan positif yang akan terjadi antara  pendelegasian fiskal
yang semakin besar  dengan tingkat kesejahteraan penduduk di daerah. Adanya
desentralisasi   fiskal  akan  berpotensi   memberikan   kontribusi   dalam    bentuk
peningkatan   efisiensi  pemerintahan  dan  laju  pertumbuhan  ekonomi.  (Wibowo,
2008).
36
2.1.3  Penerimaan Daerah (Komponen Desentralisasi Fiskal)
Sumber-sumber  penerimaan  daerah  menurut  undang-undang  No.33  tahun
2004 adalah sebagai berikut :
2.1.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian
sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri
sesuai dengan potensinya masing-masing. PAD mencerminkan local taxing power
yang  “cukup”  sebagai  necessary  condition   bagi  terwujudnya  otonomi  daerah
yang  luas  karena  nilai  dan  proporsinya  yang  cukup  dominan  utuk  mendanai
daerah  (Simanjuntak,  2005).  Secara  teoritis  pengukuran  kemandirian  daerah
diukur  dari  Pendapatan  Asli  Daerah  (PAD).  Sumber  PAD  berasal  dari  pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengolahan
kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang
sah.
2.1.3.2  Dana Perimbangan
Dana  Perimbangan  adalah  dana  yang   bersumber  dari   APBN   yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan  bertujuan  mengurangi kesenjangan
fiskal   antara  pemerintah  pusat  dan  pemerintah  daerah,  dan  antar  pemerintah
daerah.  pengembangan  ekonomi  lokal.  Adapun  jenis-jenis  dana  perimbangan
adalah sebagai berikut :
37
2.1.3.2.1 Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana  bagi  hasil  adalah  dana   yang  bersumber   dari   pendapatan   APBN
yang dialokasikan kepada daerah  berdasarkan angka persentase untuk  mendanai
kebutuhan daerah dalam  rangka pelaksanaan desentralisasi, misalnya dana bagi
hasil   pajak   (DBHP)   dan   dana   bagi  hasil  bukan  pajak  (DBHBP).  Dana  bagi
hasil dibagi berdasarkan persentase tertentu bagi pemerintah pusat dari eksploitasi
sumber  daya  alam  seperti  minyak  dan  gas,  pertambangan  dan  kehutanan  yang
dibagi dalam porsi  yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten
dan kota. Penerimaan yang di bagi hasilkan terdiri atas :
1.  Penerimaan Pajak :
a.  Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
b.  Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
c.  PPh Orang Pribadi
2.  Penerimaan Bukan Pajak :
a.  Sektor Kehutanan
b.  Sektor Pertambangan Umum
c.  Sektor Minyak Bumi dan Gas Alam
d.  Sektor Perikanan
2.1.3.2.2 Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana  alokasi  umum  adalah  dana  yang  bersumber  dari   pendapatan  APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
38
DAU dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di
Daerah  tertentu  yang  merupakan  urusan  Daerah  dan  sesuai  dengan  prioritas
nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan
dasar  masyarakat  yang  belum  mencapai  standar  tertentu  atau  untuk  mendorong
percepatan pembangunan daerah. Dana Alokasi Umum merupakan  block grants
yang diberikan kepada semua kabupaten/kota untuk tujuan mengisi kesenjangan
antara  kapasitas  dan  kebutuhan  fiskalnya,  dan  didistribusikan  dengan  formula
berdasarkan  prinsip-prinsip  tertentu  yang  secara  umum  mengindikasikan  bahwa
daerah  miskin  dan  terbelakang  harus  menerima  lebih  banyak  daripada  daerah
kaya.  Dengan  kata  lain,  tujuan  penting  alokasi  DAU  adalah  dalam  rangka
pemerataan kemampuan  penyediaan pelayanan publik antara pemerintah daerah.
Secara definisi, DAU dapat diartikan sebagai berikut :
1.  Salah  satu  komponen  dari  dana  perimbangan  pada  APBN,  yang
mengalokasikan  didasarkan  atas  konsep  kesenjangan  fiskal  atau  celah
fiskal (fiscal Gap), yaitu selisih antara kebutuhan  fiskal dengan kapasitas
fiskal
2.  Instrumen  untuk  mengatasi  horizontal  balance,  yang  dialokasikan
dengan  tujuan  pemerataan  kemampuan  keuangan  antardaerah  dimana
penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah
3.  Equalization  grant,  yaitu  berfungsi  untuk  menentralisasi  ketimpangan
kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi
Hasil SDA yang diperoleh Daerah.
39
2.1.3.2.3  Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN   yang   dialokasikan   kepada   daerah  tertentu   dengan   tujuan   untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
perioritas  nasional.  DAK  ditujukan  untuk  daerah  khusus  yang  terpilih  untuk
tujuan  khusus,  karena  itu  alokasi  yang  didistribusikan  oleh  pemerintah  pusat
sepenuhnya  merupakan  wewenang  pusat  untuk  tujuan  nasional  khusus.
Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:
1.  Kebutuhan  prasarana  dan  sarana  fisik  daerah  terpencil  yang  tidak
mempunyai akses yang memadai ke daerah lain.
2.  Kebutuhan  prasarana  dan  sarana  fisik  di  daerah  yang  menampung
transmigrasi.
3.  Kebutuhan  prasaran  dan  sarana  fisik  yang  terletak  di  daerah
pesisir/kepulauan yang kurang memadai.
4.  Kebutuhan  sarana  dan  prasarana  fisik  di  daerah  guna  mengatasi  dampak
kerusakan lingkungan.
2.1.3.3  Pinjaman Daerah
Untuk  membiayai  kebutuhan  daerah  berkaitan  dengan  penyediaan
prasarana  yang  dapat  menghasilkan  (pengeluaran  modal),  daerah  juga  dapat
melakukan  pinjaman  baik  dari  dalam  negeri  (Pusat  dan  Lembaga  Keuangan)
maupun dari luar negeri dengan persetujuan Pusat.
40
2.1.3.4 Lain-lain pendapatan
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana
darurat   (Nurcholis,  2005).  Hibah  kepada   daerah,   yang  bersumber  dari   luar
negeri,  dilakukan  melalui  pemerintah  (pusat).  Pemerintah  mengalokasikan  dana
darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak (bencana nasional dan
atau  peristiwa  luar  biasa)  yang  tidak  dapat  diatasi  oleh  daerah  dengan
menggunakan sumber APBD.
2.1.4  Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Menurut  Sadono  Sukirno  (1994),  pertumbuhan  ekonomi  adalah
perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa
yang  diproduksikan  dalam  masyarakat  bertambah  dan  kemakmuran  masyarakat
meningkat.  Ukuran  yang  sering  di  gunakan  dalam  menghitung  pertumbuhan
ekonomi adalah Produk Domestik Bruto (PDB).
Pertumbuhan  ekonomi  menerangkan  atau  mengukur  prestasi  dari
perkembangan  suatu  perekonomian.  Dalam  kegiatan  ekonomi  yang  sebenarnya
pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan ekonomi fiskal yang terjadi di suatu
negara, seperti pertambahan jumlah dan produksi barang industri, perkembangan
infrastruktur,  pertambahan  jumlah  sekolah,  pertambahan  produksi  kegiatan
ekonomi yang sudah ada, dan berbagai perkembangan lainnya.
Menurut Todaro (2003), terdapat tiga faktor atau komponen utama dalam
pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, yaitu :
1.  Akumulasi Modal
41
2.  Pertumbuhan Penduduk
3.  Kemajuan teknologi
Menurut  Adam  Smith  dalam  Kuncoro  (2004)   proses  pertumbuhan  akan
terjadi  secara  simultan  dan  memiliki  hubungan  keterkaitan  antara  satu  dengan
yang lain. Timbulnya peningkatan kinerja pada suatu sektor akan meningkatkan
daya tarik bagi pemupukan modal, mendorong kemajuan teknologi, meningkatkan
spesialisasi  dan  memperluas  pasar.  Hal  ini  akan  mendorong  pertumbuhan
ekonomi semakin pesat.
Boediono (1992) menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan  output  dalam  jangka  panjang.  Pemakaian  indikator  pertumbuhan
ekonomi  akan  dilihat  dalam  kurun  waktu  yang  cukup  lama,  misalnya  sepuluh,
duapuluh, lima puluh tahun atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi akan terjadi
artinya harus berasal dari kekuatan yang ada di dalam perekonomian itu sendiri.
2.1.5 Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.1.5.1 Teori pertumbuhan ekonomi klasik
Menurut  pandangan  ahli-ahli  ekonomi  klasik,  ada  empat  faktor  yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi :
1.  Jumlah penduduk,
2.  Jumlah stok barang-barang modal,
3.  Luas tanah
4.  Kekayaan alam, serta
5.  Tingkat teknologi yang digunakan  
42
Namun  meskipun  pertumbuhan  ekonomi  tergantung  dari  banyak  faktor,
ahli-ahli  ekonomi  klasik  terutama  menitik  beratkan  perhatiannya  kepada
pertambahan penduduk. Ini dikarenakan hukum yang dianut ekonomi klasik yaitu
hukum  hasil  tambahan  yang  semakin  berkurang  dapat  mempengaruhi
pertumbuhan  ekonomi.  Pertumbuhan  ekonomi  tidak  akan  terus-menerus
berlangsung,  apabila  penduduk  semakin  banyak,  maka  pertambahannya  bukan
menaikan  pertumbuhan  ekonomi  malah  akan  menurunkan  tingkat  kegiatan
ekonomi karena produktivitasnya telah menjadi negatif. Ekonomi akan mencapai
tingkat  perkembangan  yang  sangat  rendah.  Apabila  Keadaaan  ini  di  capai,
ekonomi  dikatakan  telah  mencapai  keadaan  yang  tidak  berkembang  (stationary
state). Pada keadaan ini pendapatan pekerja hanya mencapai tingkat cukup hidup
(subsisten)
2.1.5.2 Teori Adam Smith (1723-1790)
Adam Smith dalam bukunya  An Inquiry into the nature and Cause of the
wealth of Nation  (1776)    mengemukakan tentang konsep pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang secara sistematis.
Agar  inti  dari  proses  pertumbuhan  ekonomi  menurut  Smith  ini  mudah
dipahami, di bedakan menjadi dua aspek utama pertumbuhan ekonomi yaitu :
a.  Pertumbuhan output total
b.  Pertumbuhan penduduk
43
2.1.5.2.1 Pertumbuhan Output total
Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara menurut Smith ada tiga, yaitu :
1.  Sumber daya alam yang tersedia
2.  Sumber daya insani ( atau jumlah penduduk)
3.  Stok barang yang ada
Menurut Smith, sumber daya alam yang tersedia merupakan wadah yang
paling  mendasar  dari  kegiatan  produksi  suatu  masyarakat.  Jumlah  Sumber  daya
alam  yang  tersedia  merupakan  “batas  maksimum”  bagi  pertumbuhan  suatu
perekonomian.  Maksudnya  jika  sumber  daya  ini  belum  digunakan  sepenuhnya,
maka jumlah penduduk dan stok modal yang ada yang memegang peranan dalam
pertumbuhan  output.  Tetapi  pertumbuhan  output  tersebut  akan  berhenti  jika
semua sumber daya alam tersebut telah digunakan secara penuh.
Sumber  daya  insani  (jumlah  penduduk)  mempunyai  peranan  yang  pasif
dalam  proses  pertumbuhan  output.  Maksudnya  jumlah  penduduk  akan
menyesuaikan diri dengan kebutuhan akan tenaga kerja dari suatu masyarakat.
Stok  modal  merupakan  unsur  produksi  yang  secara  aktif  menentukan
tingkat  output.  Peranannya  sangat  sentral  dalam  proses  pertumbuhan  output.
Jumlah  dan  tingkat  pertumbuhan  output  tergantung  pada  laju  pertumbuhan  stok
modal sampai “batas maksimum” dari sumber daya alam).
Pengaruh  stok  modal  terhadap  tingkat  output  total  bisa  secara  langsung
dan tidak langsung. Pengaruh langsung ini maksudnya adalah karena pertambahan
modal (sebagai input) akan langsung meningkatkan output. Sedangkan pengaruh
tidak  langsung  maksudnya  adalah  peningkatan  produktivitas  per  kapita  yang
44
dimungkinkan    karena adanya spesialisasi dan pembagian kerja yang lebih tinggi.
Semakin  besar  stok  modal,maka  semakin  besar  kemungkinan  dilakukannya
spesialisasi  dan  pembagian  kerja  yang  pada  gilirannya  akan  meningkatkan
produktivitas per kapita.
2.1.5.2.2  Pertumbuhan Penduduk
Menurut Adam Smith, jumlah penduduk akan meningkat jika tingkat upah
yang berlaku lebih tinggi dari tingkat upah subsisten yaitu tingkat upah yang paspasan untuk hidup. Jika tingkat  upah di atas tingkat subsisten, maka orang-orang
akan  kawin  pada  umur  muda,  tingkat  kematian  menurun,  dan  jumlah  kelahiran
meningkat.
Tingkat upah yang berlaku ditentukan oleh tarik-menarik antara kekuatan
permintaan dan penawaran tenaga kerja. Tingkat upah yang tinggi dan meningkat
jika permintaan akan tenaga kerja (D
L
) tumbuh lebih cepat dari pada penawaran
tenaga  kerja  (S
L
).  Sementara  itu  permintaan  tenaga  kerja  ditentuan  oleh  stok
modal  dan  tingkat  output  masyarakat.  Oleh  karena  itu,  laju  pertumbuhan
permintaan  akan  tenaga  kerja  di  tentukan  oleh  laju  pertumbuhan  stok  modal
(akumulasi modal) dan laju pertumbuhan output.
2.1.5.3  Teori Harrod-Domar
Teori  ini  mengembangkan  analisis  keynes  dengan  dengan  memasukan
masalah-masalah  ekonomi  jangka  panjang,  serta  berusaha  menunjukan  syarat
45
yang  dibutuhkan  agar  perekonomian  bisa  tumbuh  dan  berkembang  dengan  baik
(steady growth). Teori Harrod-Domar memiliki beberapa asumsi yaitu :
1.  Perekonomian dalam keadaaan full employment dan barang-barang modal
dalam masyarakat digunakan secara penuh.
2.  Perekonomian terdiri dari dua sektor yaitu sektor rumah tangga dan sektor
perusahaan, berarti pemerintah dan perdagangan luar negeri tidak ada.
3.  Besarnya  tabungan  masyarakat  adalah  proporsional  dengan  besarnya
pendapatan nasional.
4.  Kecenderungan  untuk  menabung  (marginal  propensity  to  save  =MPS)
besarnya  tetap  ,  demikian  juga  dengan  rasio  pertambahan  modal  output
(capital  output  ratio  =  COR)  dan  rasio  pertambahan  modal-output
(incremental capital output ratio = ICOR).
Menurut  Harrod-Domar,  setiap  perekonomian  dapat  menyisihkan  suatu
proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya untuk mengganti barangbarang modal ( seperti gedung, peralatan, dan material) yang rusak. Namun untuk
menumbuhkan  perekonomian  diperlukan  investasi-investasi  yang  baru  sebagai
tambahan  stok  modal.  Jika  dianggap  ada  hubungan  ada  hubungan  ekonomis
secara  langsung  antara  besarnya  stok  modal  (k)  dengan  total  output  (Y),  maka
setiap tambahan bersih terhadap stok modal akan mengakibatkan kenaikan output
total  sesuai  dengan  rasio  modal  output  tersebut,  hubungan  ini  dikenal  dengan
istilah rasio-modal output (COR).
46
2.1.5.4  Teori Solow-Swan
Menurut  teori  ini,  pertumbuhan  ekonomi  tergantung  pada  pertambahan
penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal)
dan tingkat kemajuan teknologi. Pandangan ini berdasarkan analisis klasik, bahwa
perekonomian akan tetap mengalami tingkat pengerjaan penuh (full employment)
dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu.
Selanjutnya,  menurut  teori  ini  rasio  modal-output  (COR)  dapat  berubah  dan
bersifat  dinamis.  Untuk  menciptakan  sejumlah  output  tertentu,  bisa  digunakan
jumlah  modal  yang  berbeda-beda  dengan  bantuan  tenaga  kerja  yang  jumlahnya
berbeda-beda  sesuai  dengan  yang  dibutuhkan.  Jika  lebih  banyak  modal  yang
digunakan maka tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit, dan sebaliknya jika
modal  yang  digunakan  lebih  sedikit,  maka  lebih  banyak  tenaga  kerja  yang
digunakan.  Dengan  adanya  fleksibilitas  ini  suatu  perekonomian  mempunyai
kebebasan  yang  tidak  terbatas  dalam  menentukan  kombinasi  modal  dan  tenaga
kerja yang akan digunakan untuk menghasilkan tingkat output tertentu
Teori  pertumbuhan  Solow-Swan  menggunakan  pendekatan  fungsi
produksi  yang  telah  dikembangkan  oleh  Charles  Cobb  dan  Paul  Douglass  yang
dikenal  dengan  sebutan  fungsi  produksi  Cobb-Douglass.  Fungsi  tersebut
dituliskan dalam persamaan sebagai berikut
𝑄
𝑡
=   𝑇
𝑡
a
. 𝐾
𝑡
. 𝐿
𝑡
𝑏
..................................................................(2.1 )
Dimana :
Qt
= tingkat produksi pada tahun t
Tt
= tingkat teknologi pada tahun t
47
Kt
= jumlah stok barang modal pada tahun t
Lt
= jumlah tenaga kerja pada tahun t
a = pertambahan output yang diciptakan oleh pertambahan satu unit modal
b = pertambahan output yang diciptakan oleh pertambahan satu unit tenaga kerja
Nilai Tt,
a  dan  b  bisa diestimasi secara empiris tetapi pada umumnya  nilai a
dan  b  ditentukan  besarnya  dengan  menganggap  bahwa  a  +  b  =  1  yang  berarti
bahwa  a  dan  b  nilainya  adalah sama dengan produksi batas dari masing-masing
faktor  produksi  tersebut.  Dengan  kata  lain,  nilai  a  dan  b  ditentukan  dengan
melihat peranan tenaga kerja dan modal dalam menciptakan output.
2.1.6  Pengertian Tenaga Kerja
Menurut  Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  13  Tahun  2003
tentang  ketenagakerjaan,  Tenaga  Kerja  adalah  setiap  orang  yang  mampu
melakukan pekerjaan  guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri maupun untuk masyarakat.
Menurut BPS penduduk berumur sepuluh   keatas terbagi sebagai tenaga
kerja.  Dikatakan  tenaga  kerja  apabila  mereka  melakukan   pekerjaan   dengan
maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan
dan  lamanya bekerja paling sedikit 1 (satu) jam secara kontinu selama seminggu
yang  lalu.  Jumlah  seluruh  penduduk  dalam  suatu  negara  dapat  memproduksi
barang  dan  jasa  jika  ada  permintaan  terhadap  tenaga  mereka  (Mulyadi  Subri,
2003).
48
Payaman J. Simanjuntak (1985) menyebutkan bahwa tenaga kerja adalah
mencakup penduduk  yang sudah atau sedang bekerja, sedang mencari pekerjaan
dan melakukan kegiatan lain, seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga.
2.1.7  Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut  Todaro  (2000)  pertumbuhan  penduduk  dan  pertumbuhan
angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang
memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan
menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar
berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Meski demikian hal tersebut masih
dipertanyakan apakah benar laju pertumbuhan penduduk yang cepat benar-benar
akan  memberikan  dampak  positif  atau  negatif  dari  pembangunan  ekonominya.
Selanjutnya  dikatakan  bahwa  pengaruh  positif  atau  negatif  dari  pertumbuhan
penduduk  tergantung  pada  kemampuan  sistem  perekonomian  daerah  tersebut
dalam  menyerap  dan  secara  produktif  memanfaatkan  pertambahan  tenaga  kerja
tersebut.  Kemampuan  tersebut  dipengaruhi  oleh  tingkat  dan  jenis  akumulasi
modal  dan  tersedianya  input  dan  faktor  penunjang  seperti  kecakapan  manajerial
dan administrasi.
Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya
pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen.
Menurut Lewis, angkatan kerja  yang homogen dan tidak terampil dianggap bisa
bergerak  dan  beralih  dari  sektor  tradisional  ke  sektor  modern  secara  lancar  dan
dalam  jumlah  terbatas.  Dalam  keadaan  demikian  penawaran  tenaga  kerja
49
mengandung  elastisitas  yang  tinggi.  Meningkatnya  permintaan  atas  tenaga  kerja
(dari sektor tradisional) bersumber pada ekspansi kegiatan sektor modern. Dengan
demikian  salah  satu  faktor  yang  berpengaruh  terhadap  pertumbuhan  ekonomi
adalah tenaga kerja.
Menurut  Nicholson  W.  (1991)  dinyatakan  bahwa  suatu  fungsi  produksi
suatu  barang  atau  jasa  tertentu  (q)  adalah  q  =  f  (K,  L)  dimana  K    merupakan
modal  dan  L  adalah  tenaga  kerja  yang  memperlihatkan  jumlah  maksimal  suatu
barang/jasa  yang  dapat  diproduksi  dengan  menggunakan  kombinasi  alternatif
antara K dan L maka apabila salah satu masukan ditambah satu unit tambahan dan
masukan  lainnya  dianggap  tetap  akan  menyebabkan  tambahan  keluaran  yang
dapat diproduksi.
Tambahan  keluaran  yang  diproduksi  inilah  yang  disebut  dengan  produk
fisik marjinal (Marginal Physcal Product). Selanjutnya dikatakan bahwa apabila
jumlah  tenaga  kerja  ditambah  terus  menerus  sedang  faktor  produksi  lain
dipertahankan  konstan,  maka  pada  awalnya  akan  menunjukkan  peningkatan
produktivitas namun pada suatu tingkat tertentu akan memperlihatkan penurunan
produktivitasnya  serta  setelah  mencapai  tingkat  keluaran  maksimal  setiap
penambahan tenaga kerja akan mengurangi pengeluaran.
2.1.8  Investasi
Menurut  Sukirno  (2000)  kegiatan  investasi  memungkinkan  suatu
masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja,
meningkatkan  pendapatan  nasional  dan  meningkatkan  taraf  kemakmuran
50
masyarakat. Peranan ini bersumber dari tiga fungsi penting dari kegiatan investasi,
yakni  (1)  investasi  merupakan  salah  satu  komponen  dari  pengeluaran  agregat,
sehingga  kenaikan  investasi  akan  meningkatkan  permintaan  agregat,pendapatan
nasional  serta  kesempatan  kerja;  (2)  pertambahan  barang  modal  sebagai  akibat
investasi  akan  menambah  kapasitas  produksi;  (3)  investasi  selalu  diikuti  oleh
perkembangan teknologi.
Musgrave  dalam  Mangkoesoebroto  (1998)  berpendapat  bahwa  dalam
suatu  proses  pembangunan,  investasi  swasta  dalam  persentase  terhadap  GNP
semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap  GNP akan semakin
kecil.  Untuk  dapat  memulai  pembangunan  ekonomi  dibutuhkan  perencanaan
ekonomi.  Melalui  perencanaan  pembangunan  berbagai  kegiatan  dapat
diselaraskan  dan  arah  pembangunan  ekonomi  jangka  panjang  dapat  ditentukan.
Melalui  perencanaan  dapat  juga  ditentukan  sejauh  mana  investasi  swasta  dan
pemerintah perlu dilakukan untuk mencapai suatu tujuan pertumbuhan yang telah
ditentukan.  Dalam  perencanaan  pembangunan  perlu  ditetapkan  beberapa  hal
berikut (1) tingkat pertumbuhan  ekonomi yang ingin dicapai, (2) tingkat tabungan
dan  investasi  yang  perlu  diwujudkan,  (3)  peranan  sektor  swasta  dan  pemerintah
dalam mencapai tujuan tersebut, (4) perkembangan kegiatan ekonomi di berbagai
sektor  dan  wilayah  yang  perlu  dilakukan,  dan  (5)  jumlah  pembelanjaan  dan
sumber keuangan  yang akan digunakan dalam mewujudkan tujuan pertumbuhan
ekonomi yang diterapkan (Sukirno,1994).
51
2.1.9  Investasi Swasta dan Infrastruktur Daerah
Dalam   membiayai  investasi  infrastruktur  daerah,  perlu  juga   mengatur
sumber daya dari sektor swasta. Hal ini membutuhkan  pembentukan kelembagaan
dan  peraturan  lingkungan  yang  dapat  menarik  investasi  swasta  dalam  bidang
infrastruktur,  merubah  hukum  dan  peraturan;  mengenalkan  konsep  pemberian
harga  yang  merefleksikan  biaya  (cost-reflective  pricing);  dan  menyediakan
prosedur  dan  proses  privatisasi  atau  disinvestasi  yang  transparan.  Reformasi
semacam  ini  juga  berkontribusi  dalam  meningkatkan  keakuntabilitasan  sektor
publik dan menyediakan pelayanan publik yang lebih baik.
Sebagai  contoh,  dengan  menciptakan  kompetisi  yang  transparan  diantara
pihak   swasta  untuk  menyediakan  layanan  publik,  diharapkan  dapat  membantu
mengatasi  aspek  korupsi  yang  mungkin  terjadi.  Meningkatkan  kompetisi  dapat
meningkatkan mutu dan efisiensi serta pengurangan harga di daerah-daerah yang
didominasi  perusahaan  daerah  yang  tidak  efisien.  Selain  itu  juga,  pengenalan
konsep sanksi yang didukung oleh bantuan yang berdasarkan  output-based  akan
membantu  meningkatkan  akses  terhadap  layanan  umum  dengan  harga  terendah.
Secara umum, partisipasi swasta yang efisien dapat membebaskan beban fiskal di
pemerintah  daerah  dan  membebaskan  sumber  daya  umum  untuk  program  -program prioritas. (Agustino,2005)
2.1.10  Penelitian Terdahulu
Beberapa  penelitian  terdahulu  mengenai  hubungan  antara  desentralisasi
fiskal  dan  pertumbuhan  ekonomi  telah  banyak  diteliti.  Adapun  penelitian
52
terdahulu  yang  meneliti  tentang  desentralisasi  fiskal  yakni  antara  lain
Kusumadewi (2010)  yang meneliti desentralisasi fiskal di tingkat provinsi, Parhah
(2002)  meneliti  desentralisasi  fiskal  di  Indonesia  dengan  mengadopsi  penelitian
Asai  Sakata,  Pujiati  (2008)  yang  meneliti  dampak  desentralisasi  di  wilayah
karasidenan Semarang , dan Yulian Rinawaty dkk (2009)  yang melibatkan dana
perimbangan sebagai komponen utama pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah
Sulawesi Tengah.
Adapun  perbedaan  utama  yang  mendasari  studi  ini  dengan  penelitian
sebelumnya yaitu fokus perhatian  yang  dilakukan terhadap daerah kabupaten/kota
di  provinsi  Jawa  Tengah.  Daerah  kabupaten/kota  dalam  hal  ini  dianggap  lebih
mengetahui tingkat kemampuan dan potensi masyarakat. Kemudian penggunaan
data panel dengan periode 5 tahun penelitian dapat diketahui perkembangan yang
akan  terjadi  di  masing-masing  daerah  yang  ada  di  provinsi  Jawa  Tengah.
Beberapa  penelitian  mengenai  faktor-faktor  desentralisasi   fiskal   terhadap
pertumbuhan   ekonomi  diantaranya  dapat  dijelaskan  pada  penelitian  terdahulu
sebagai berikut.
1.  Penelitian  mengenai  pengaruh  dana  perimbangan,  investasi  swasta,  dan
tenaga  kerja  terhadap  pertumbuhan  ekonomi  yang  dilakukan  oleh
Kusumadewi  (2010)  menyimpulkan  bahwa  dana  perimbangan,  investasi
swasta, dan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
di Indonesia. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa hubungan antara dana
perimbangan dengan  pertumbuhan ekonomi provinsi tergolong kecil. Hal
ini disebabkan karena pemerintah daerah provinsi dirasa kurang tepat dalam
53
menempatkan dana sehingga tidak  menciptakan efek multiplier untuk
menunjang  pertumbuhan  ekonomi.  Investasi   swasta   dan  tenaga  kerja
mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
di  tingkat  provinsi  akan  tetapi  masih  dibutuhkan  upaya-upaya  dalam
peningkatan  kualitas  dan  kinerjanya  dalam  menunjang  pertumbuhan
ekonomi.
2.  Parhah  (2002) dalam penelitiannya yang berjudul “Kontribusi Desentralisasi
Fiskal  terhadap  Pertumbuhan  Ekonomi  di  Indonesia”  bertujuan  untuk
mengetahui  dampak  desentralisasi  fiskal  yang  diterapkan  oleh  pemerintah
Indonesia.  Penelitian  ini  memberikan  kesimpulan  bahwa  kontribusi
desentralisasi fiskal di Indonesia belum mampu menunjukan hubungan yang
positif antara kebijakan desentralisasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Penelitian  ini  sejalan  dengan  penelitian  Akai  Sakata  (2002)  yang
menyebutkan  bahwa  desentralisasi  fiskal  di  Indonesia  belum  mampu
diterapkan di Indonesia mengingat kebijakan tersebut baru dilaksanakan pada
tahun 2001, sehingga perlu adanya penyesuaian.
3.  Dalam penelitian lainnya,  yaitu penelitian yang dilakukan oleh Pujiati (2008)
dengan judul “Analisis Pertumbuhan Ekonomi di karasidenan Semarang era
Desentralisasi Fiskal” dengan menggunakan beberapa variabel yaitu sumber
penerimaan daerah antara lain DAU, PAD, dan DBH , peneliti menemukan
bahwa  DAU  berpengaruh  negatif  dan  signifikan  terhadap  pertumbuhan
ekonomi. Temuan  ini tidak  mendukung teori pertumbuhan Neo Klasik yang
beranggapan  bahwa  modal  akan  mempercepat  pertumbuhan.  Hal  ini
54
membuktikan meskipun ada keleluasaan dalam  mengelola keuangan  daerah,
daerah belum dapat menetapkan skala prioritas pembangunan daerah secara
optimal  atas  sektor-sektor  pembangunan.  Penetapan  skala  prioritas
pembangunan  akan  memberikan  efek  multiplier  terhadap  perekonomian
masyarakat, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
4.  Sementara  itu,  penelitian  Yulian  Rinawaty  dkk  (2009)  yang  menganalisis
pengaruh  dana  perimbangan  terhadap  pertumbuhan  ekonomi  di  daerah
provinsi  Sulawesi  Tengah,  menemukan  bahwa  dana  perimbangan  secara
keseluruhan yang melibatkan komponen-komponenya yaitu antara lain DAU,
DAK, DBH berpengaruh positif dan signifikan  mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi melalui investasi swasta.
55
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
Judul, Penulis,
Tahun
Tujuan Penelitian  Variabel Penelitian  Metode Analisis  Hasil
1.  Pengaruh
Desentralisasi
fiskal di Tingkat
Provinsi terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi Daerah
analisis data panel
1999-2008
(Indriasari
Kusumadewi,
2010)
mengetahui
pengaruh Dana
Perimbangan,
investasi swasta
dan tenaga kerja
terhadap
pertumbuhan
ekonomi provinsi
di Indonesia
DV: PDRB
IDV:Dana
Perimbangan
(DPRasio), Investasi
swasta (Inv), Tenaga
kerja (TK)
LnPDRB=γ0+γ
1
+DPRasio+γ
2
Lnv
+ γ3
LnTK+ε
1.  Dana Perimbangan
provinsi sebagai salah
satu sumber pembiayaan
investasi daerah
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi
ditingkat provinsi
2.  Investasi swasta
mempunyai pengaruh
positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan
ekonomi di tingkat
provinsi
3.  Tenaga kerja berdampak
positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan
ekonomi di tingkat
provinsi
56
2.  Kontribusi
Desentralisasi
Fiskal terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi di
Indonesia (Siti
Parhah, 2002)
a.  Mengetahui
seberapa besar
pengaruh
desentralisasi
fiskal terhadap
pertumbuhan
ekonomi di
indonesia
DV=  Tingkat
PDRB(GSP)
IDV=Jumlah
Penduduk
(POP),tingkat
pendidikan (EDUC)
sebagai variable
kontrol , tingkat
PDRB tahun
sebelumnya (∆GSP
-1
),
Koefisien Gini, dan
Ekspor-impor
Indikator Desentralisasi
Fiskal
(Desentralizationi) =
Penerimaan
Pemerintah,
Pengeluaran
pemerintah, dan PAD
GSPi=α0+α1
Desentralizationi+Xi
β
+εi
i=1,....,30
β= variable kontrol
Penelitian ini menggunakan
Metode Analisis Ordinary Least
Square (OLS) dengan
menggunakan data cross-section
(Akai dan Sakata, 2002)
Desentralisasi fiskal tidak
berpengaruh signifikan
terhadap Pertumbuhan
ekonomi  
57
3.  Analisis
Pertumbuhan
Ekonomi di
karasidenan
Semarang era
Desentralisasi
Fiskal (Amin
Pujiati, 2008)
a.  Mengestimasi
pengaruh
variabel
keuangan
daerah
(Pendapatan
Asli Daerah
(PAD), Dana
Alokasi Umum
(DAU), Dana
Bagi Hasil
(DBH) terhadap
pertumbuhan
ekonomi di
Kabupaten/Kota
di wilayah
Karesidenan
Semarang
b.  Mengestimasi
pengaruh
tenaga kerja
terhadap
pertumbuhan
ekonomi di
Kabupaten/Kota
diwilayah
Karesidenan
Semarang.
Pendapatan Asli
Daerah (PAD),
Pertumbuhan
Ekonomi diproksi
dengan Produk
Domestik Regional
Bruto (PDRB)
menurut dasar harga
konstan tahun 2000,
Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi
Umum (DAU), dan
Tenaga Kerja
Metode GLS (Generalized Least
Squares) dipilih dalam penelitian
ini karena adanya nilai lebih yang
dimiliki oleh GLS dibandingkan
OLS dalam mengestimasi
parameter regresi.
1.  Pendapatan Asli Daerah
(PAD) berpengaruh positif
dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
2.  Dana Bagi Hasil (DBH)
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
3.  Dana Alokasi Umum
(DAU) berpengaruh
negatif dan signifikan
terhadap pertumbuhan
ekonomi.
4.  Tenaga kerja (TK) sebagai
faktor penting
mempercepat pertumbuhan
ekonom mempunyai
pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi
Jumlah tenaga kerja yang
lebih besar berarti akan
menambah jumlah tenaga
produktif. Bertambahnya
tenaga produktif akan
meningkatkan output
sehingga memacu
pertumbuhan ekonomi.
58
4.  Pengaruh Dana
Perimbangan
terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi di
Provinsi Sulawesi
Tengah (Yulian
Rinawaty dkk,
2009)
a.  Menganalisis
pengaruh dana
Perimbangan
(DBH, DAU,
DAK) terhadap
investasi swasta
b.  Menganalisis
pengaruh dana
Perimbangan
(DBH, DAU,
DAK) terhadap
pertumbuhan
ekonomi daerah
c.  Menganalisis
pengaruh dana
Perimbangan
(DBH, DAU,
DAK) terhadap
pertumbuhan
ekonomi
melalui
investasi
swasta.
DV: Pertumbuhan
Ekonomi(Z)
IDV:  Dana Bagi
Hasil (X1), Dana
Alokasi Umum (X2),
dan Dana Alokasi
Khusus (X3)
Alat analisis:
Z = β0
+ β1
X1 + β2
X2 + β3
X3
1.  Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK)
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
investasi swasta.
2.  Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK)
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
3.  Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK)
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi
melalui investasi swasta.
Sumber : Disarikan Dari Beberapa Jurnal dan Tesis
59
2.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori dan kajian terhadap penelitian terdahulu, maka
disusun suatu kerangka pemikiran teori mengenai penelitian yang akan dilakukan.
Kerangka pemikiran teori tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Teori
Variabel  yang  akan  diteliti  pada  penelitian  ini  adalah  pertumbuhan
ekonomi  sebagai  objek  utama  penelitian  dan  juga   sebagai  variabel  dependen
penelitian.  Dan  variabel  lainnya  sebagai  variabel  independen  yakni  antara  lain  :
pendapatan  asli  daerah,  dana  perimbangan,  investasi  swasta,  dan  tenaga  kerja.
Pemberlakuan sistem desentralisasi fiskal  akan mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi di  tingkat daerah. Untuk menunjang hal tersebut pemerintah baik pusat
maupun daerah berupaya untuk meningkatkan sumber pendapatan daerah berupa
PAD dan Dana Perimbangan. Jika peningkatan PAD berdampak buruk terhadap
Pertumbuhan Ekonomi
Pendapatan Asli Daerah
Dana Perimbangan
Investasi Swasta
Tenaga Kerja
(+)
(+)
(+)
(+)
60
perekonomian maka belum dapat dikatakan bahwa peningkatan PAD merupakan
keberhasilan pembangunan di era desentralisasi fiskal. Untuk itu diperlukan dana
perimbangan  sebagai  penyeimbang  dari  melemahnya  jumlah  PAD  yang
dihasilkan.  Faktor-faktor  lainnya  seperti  investasi  swasta  dan  tenaga  kerja  juga
merupakan faktor pendorong    pertumbuhan ekonomi.  Investasi merupakan salah
satu yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.  Semakin berkembang
suatu daerah akan menarik investasi khususnya investasi  swasta  untuk masuk
ke daerah tersebut. Sama halnya tenaga kerja, kualitas  tenaga  kerja yang dimiliki
suatu daerah juga mempunyai  dampak  terhadap penciptaan output produksi yang
pada  akhirnya  mengakibatkan  kenaikan  pertumbuhan  ekonomi  (Kusumadewi,
2010).
Desentralisasi  fiskal  diharapkan  mampu   membawa   dampak   positif
terhadap pelaksanaan pembangunan  yang dahulunya bersifat sentralistik. Maka
dari  itu  penetapan  kebijakan  desentralisasi  fiskal   menjadi   momentum   bagi
masyarakat dan pemerintah di pusat maupun di daerah untuk memperbaiki sistem
pengelolaan pendanaan daerah yang lebih proporsional dan merata disetiap daerah
khususnya daerah provinsi Jawa Tengah sebagai objek penelitian.
61
2.3 Hipotesis
Berdasarkan  uraian  pembahasan  permasalahan,  teori,  konsep,  serta
kerangka  pemikiran  yang  sebelumnya  disajikan,  maka  hipotesis  yang  akan
diajukan dalam penelitian ini adalah :
1.  Pendapatan Asli Daerah (PAD)  di  duga berpengaruh secara positif  dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di provinsi
Jawa Tengah.
2.  Dana  perimbangan  di  duga  berpengaruh  secara  positif  dan  signifikan
terhadap  terhadap  pertumbuhan  ekonomi  kabupaten/kota  di  provinsi
Jawa Tengah.
3.  Investasi  swasta  di  duga  berpengaruh  secara  positif  dan  signifikan
terhadap  pertumbuhan  ekonomi  kabupaten/kota  di  provinsi  Jawa
Tengah.
4.  Tenaga  kerja  di  duga  berpengaruh  secara  positif  dan  signifikan
terhadap  pertumbuhan  ekonomi  kabupaten/kota  di  provinsi  Jawa
Tengah.
62
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.1.1 Variabel Penelitian
Variabel  adalah  objek  penelitian  atau  apa  yang  menjadi  titik  perhatian
suatu  penelitian  (Arikunto,  2002).  Penelitian  ini  menggunakan  satu  variabel
dependen (terikat) dan empat variabel independen (bebas). Variabel-variabel  yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
  Variabel dependen (variabel terikat), yaitu pertumbuhan ekonomi.
  Variabel independen (variabel bebas) antara lain : pendapatan asli daerah,
dana perimbangan, investasi swasta, dan tenaga kerja.
Dalam penelitian ini ditambahkan variabel  dummy cross section  sebagai
variabel boneka yang terdiri dari 34 kabupaten/kota di Provinsi Jawa  Tengah dan
1  daerah  dijadikan  sebagai  benchmark  (daerah  acuan).  Pada  penelitian  ini
benchmark  yang  dipakai  yaitu  Kota  Semarang  dimana  pertumbuhan  ekonomi
tergolong  tinggi  dibandingkan  dengan  daerah  lainnya.  Penggunaan  variabel
dummy  untuk  melihat  perbedaan  pertumbuhan  antara  pusat  pertumbuhan  dan
daerah lainnya.
3.1.2 Definisi Operasional
  Pertumbuhan ekonomi : perkembangan kegiatan ekonomi yang dilihat dari
meningkatnya  PDRB  kabupaten/kota.  PDRB  yang  digunakan  dalam
63
penelitian ini adalah PDRB dasar harga konstan tahun 2000  (dalam satuan
rupiah).
  Pendapatan  Asli  Daerah  :  sumber  PAD  yang  berasal  dari  total  pajak
daerah,  hasil  retribusi  daerah,  hasil  perusahaan  milik  daerah,  dan  hasil
pengolahan  kekayaan  daerah  lainnya  yang  dipisahkan,  dan  lain-lain
pendapatan daerah yang sah provinsi Jawa Tengah (dalam satuan rupiah).
  Dana Perimbangan : dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada  daerah   untuk   mendanai   kebutuhan   daerah  dalam   rangka
pelaksanaan   desentralisasi.  Dana  perimbangan  yang  digunakan  dalam
penelitian ini adalah akumulasi keseluruhan total sumber pendanaan dana
perimbangan  yang  terdiri  dari  DAU,  DAK,  dan  DBH  provinsi  Jawa
Tengah (dalam satuan rupiah).
  Investasi  swasta  dinyatakan  dengan  total  realisasi  PMA  dan  PMDN  di
Jawa Tengah (dalam satuan rupiah).
  Tenaga  kerja  adalah  penduduk  yang  berusia  10  tahun  keatas  baik  yang
bekerja  selama  seminggu  yang  lalu  di  kabupaten/kota  di  Jawa  Tengah
(dalam satuan jiwa).
3.2  Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan
sumber  data  yang  digunakan  adalah  data  sekunder  yaitu  berupa  data  panel
(pooling data) atau data longitudinal. Data panel  adalah sekelompok data individu
yang diteliti selama rentang waktu tertentu.
64
Data  yang  dipergunakan  dalam  penelitian  ini  diperoleh  dari  beberapa
sumber, antara lain:
1.  Data  PDRB  atas  dasar  harga  konstan  tahun  2000  pada  kurun  waktu   tahun
2005-2009 bersumber dari kantor BPS Propinsi Jawa Barat
2.  Data  Pendapatan  Asli  Daerah  (PAD)  pada  kurun  waktu  tahun  2005-2009
bersumber dari kantor BPS Propinsi Jawa Tengah.
3.  Data dana perimbangan pada kurun waktu 2005-2009 bersumber dari kantor
BPS Provinsi Jawa Tengah
4.  Data  tenaga kerja pada kurun waktu tahun 2005-2009  bersumber dari kantor
BPS Propinsi Jawa Tengah.
5.  Data  investasi  swasta  pada  kurun  waktu  2005-2009  bersumber  dari  BPMD
provinsi Jawa Tengah
Penelitian  ini  seluruhnya  menggunakan  data  sekunder  dari  35
Kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2009. Pemilihan tahun tersebut
dikarenakan pada pertengahan tahun 2008 terjadi krisis global yang menyebabkan
penurunan terhadap stabilitas ekonomi di jawa tengah. Maka dari itu penelitian ini
bertujuan  untuk  melihat  seberapa  besar  dampak  yang  akan  dtimbulkan  terhadap
pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal pada periode lima
tahun tersebut.
65
3.3  Metode Pengumpulan data
Metode pengumpulan data merupakan suatu data merupakan suatu usaha
dasar  untuk  mengumpulkan  data  dengan  prosedur  standar.  Pengumpulan   data
dilakukan dengan dokumentasi, yaitu mengumpulkan catatan-catatan atau datadata  yang  diperlukan  sesuai  penelitian  yang  akan  dilakukan  dari
dinas/kantor/instansi   atau   lembaga  terkait  (Arikunto,  2002).  Data  sekunder
tersebut diperoleh dari  dokumen resmi yang dikeluarkan instansi yang terkait.
Pengumpulan   dilakukan  dengan    studi  pustaka  dari  buku–buku,  laporan
penelitian,  buletin,  jurnal  ilmiah,  dan  penerbitan  lainnya  yang  relevan  dengan
penelitian ini.
3.4  Metode Analisis Data
Penelitian   ini menggunakan alat pengolahan  data dengan menggunakan
Eviews  6.  Untuk  mengetahui  besarnya  pengaruh  dari  suatu  variabel  bebas
(independent variable) terhadap variabel terikat (dependent variable) maka
penelitian ini menggunakan model regresi linear  berganda (Multiple Linier
Regression Method) dengan metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square
(OLS).  Metode  ini  diyakini  mempunyai  sifat-sifat  yang  ideal  dan  dapat
diunggulkan,  yaitu secara teknis sangat kuat, mudah dalam perhitungan  dan
penarikan interpretasinya (Gujarati, 1999).
66
3.4.1  Analisis Regresi
Analisis regresi ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat pengaruh dari
variabel-variabel independen dalam penelitian ini yaitu antara lain pendapatan asli
daerah,  dana  perimbangan,  investasi  swasta,  dan  tenaga  kerja.  Variabel
independennya  yaitu  pertumbuhan  ekonomi  kabupaten/kota  provinsi  di  Jawa
Tengah.  Pada  penelitian  ini,  analisis  regresi  dilakukan  dengan  metode  Ordinary
Least Square (OLS). Adapun model persamaan data panel adalah sebagai berikut :
Yit
= β0
+ β1Xit
+ εit ..............................(3.1)
dimana
i = merupakan jumlah unit cross section
t = menunjukkan periode waktu tertentu
Model yang menjadi dasar pada penelitian ini adalah model pertumbuhan
ekonomi Solow Swan yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi  tergantung
pada pertambahan penyediaan faktor produksi yaitu  penduduk, tenaga kerja,
akumulasi   modal  dan   tingkat  kemajuan   teknologi.  Penelitian  ini  mengambil
tenaga  kerja  dan  akumulasi  modal  (PAD,  Dana  Perimbangan,  dan  Investasi
Swasta)  sebagai  faktor  produksi.  Penelitian   ini  berupaya   mengetahui   faktorfaktor   yang   mempengaruhi   pertumbuhan   ekonomi  kabupaten/kota    di   era
desentralisasi fiskal. Dimana dana perimbangan  dan PAD dapat mencerminkan
faktor desentralisasi  fiskal.  Model fungsi yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
67
Y = f(PAD, DP, INV, TK) ...............................................(3.2)
dimana :
Y   = Pertumbuhan Ekonomi
PAD    = Pendapatan Asli Daerah
DP    = Dana Perimbangan
INV    = Investasi Swasta
TK     = Tenaga Kerja
Dari persamaan (3.1) dan (3.2) maka diperoleh persamaan sebagai berikut:
Yit = α0 + α1 PADit + α2 DPit + α3 INVit  + α4 TKit +
ε
it ............................(3.3)
Metode  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  analisis  kuantitatif
dengan  menggunakan  metode  ekonometrika  melalui  analisa  regresi  panel  data.
Data  panel  (atau  longitudinal  data)  adalah  data  yang  memiliki  dimensi  ruang
(individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi
menurut waktu. Penggabungan data  cross section dan time series dalam studi data
panel  digunakan  untuk  mengatasi  kelemahan  dan  menjawab  pertanyaan  yang
tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni.
Menurut Gujarati (2003) dalam Waluyo (2007) kelebihan dari penggunaan
data panel yaitu, antara lain :
1.  Estimasi  data  panel  dapat  mempertimbangkan  heterogenitas  dan
memperkenalkan variabel-variabel individu yang lebih spesifik.
68
2.  Data  panel  dapat  memberikan  data  yang  lebih  informatif,  lebih
bervariabelitas, kurang kolinearitas antar variabel, derajat bebas yang lebih
besar, dan lebih efisien.
3.  Data panel lebih sesuai untuk mempelajari dinamika perubahan.
4.  Data  panel  dapat  secara  lebih  baik  mendeteksi  dan  mengukur  efek  yang
tidak dapat diamati dalam data cross section dan time series.
5.  Data  Panel  dapat  digunakan  untuk  mempelajari  model-model  perilaku
yang kompleks.
6.  Data  Panel  dapat  meminimalisir  bias  yang  mungkin  ditimbulkan  oleh
agregasi data individu.
3.4.2 Estimasi Regresi dengan Pendekatan FEM (Fixed Effect Model)
Penelitian  ini  menggunakan  metode  fixed  effect  model  (FEM).  Menurut
Gujarati (2003) estimasi model regresi panel data dengan pendekatan fixed effect
tergantung pada  estimasi yang digunakan pada intersep,  koefesien slope, dan
error term, dimana ada beberapa asumsi yaitu :
a.  Asumsi   bahwa   intersep   dan   koefisien  slope  (kemiringan)   adalah
konstan  antar  waktu  (time)  dan  ruang  (space)  dan  error  term  mencakup
perbedaan sepanjang waktu dan individu (ruang).
b.  Koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi antar individu (wilayah).
c.  Koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi antar waktu.
d.  Koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi antar waktu dan individu
(wilayah).
69
e.  Seluruh koefisien (intersep dan koefisien slope) bervariasi antar individu
(wilayah).
f.  Intersep konstan sebagaimana koefisien slope bervariasi antar waktu.
Metode fixed effect menyebutkan bahwa eit merupakan kelompok spesifik
atau   berbeda   dalam  constant   term  pada   model   regresi.   Bentuk   model
tersebut  biasanya  disebut  model  Least  Squares  Dummy  Variable  (LSDV).
Pengertian  fixed effect  ini  didasarkan adanya  perbedaan intersep antara daerah
namun  intersepnya sama  antar waktu (time invariant). Disamping itu, model ini
mengasumsikan bahwa  koefisien regresi (slope) tetap antar perusahaan dan antar
waktu.  Dalam penelitian ini menggunakan asumsi fixed effect  yang kedua dimana
koefisien  slope  konstan,  tetapi  intersep  bervariasi  antar  individu.  Bentuk  model
fixed  effect  adalah  dengan  memasukkan   variabel   dummy  untuk  menyatakan
perbedaan  intersep.  Penelitian  ini  menggunakan  dummy  pertumbuhan  ekonomi,
untuk melihat    perbedaan pertumbuhan ekonomi antara daerah yang rata-rata
pertumbuhannya   paling  tinggi  selama  pelaksanaan  desentralisasi   fiskal  di
Kabupaten/Kota  Provinsi  Jawa  Tengah  selama  5  tahun  penelitian  (tahun  2005-2009)  dengan  daerah  lainnya,  dimana  Kota  Semarang  sebagai  wilayah  acuan
(benchmark). Alasan penggunaan Kota Semarang sebagai benchmark karena Kota
Semarang  memiliki  rata-rata  tingkat  pertumbuhan  ekonomi  wilayah
kabupaten/kota  tertinggi  dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Jawa Tengah.
Setelah  memasukkan variabel dummy wilayah pada maka model persamaannya
adalah sebagai berikut :
70
Yit = α0 + α1 PADit + α2 DPit + α3 INVit + α4 TKit
+ β
1D1
+ β
2D2
+
β
3D3
+......+ β
34D34
+eit.................................................................(3.4)
dimana :
Y   =  tingkat pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah
PAD   =  pendapatan asli daerah kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah
DP    =  dana perimbangan kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah
INV    =  investasi swasta kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah
TK   =  tenaga kerja kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah
D1  = dummy Kabupaten Cilacap
D2  = dummy Kabupaten  Banyumas
D3   = dummy Kabupaten Purbalingga
D4  = dummy Kabupaten Banjarnegara
D5  = dummy Kabupaten Kebumen
D6   = dummy Kabupaten Purworejo
D7   = dummy Kabupaten Wonosobo
D8  = dummy Kabupaten Magelang
D9  = dummy Kabupaten Boyolali
D10   = dummy Kabupaten Klaten
D11   =  dummy Kabupaten Sukoharjo
D12   =  dummy Kabupaten Wonogiri
D13   =  dummy Kabupaten Karanganyar
D14   =  dummy Kabupaten Sragen
D15   =  dummy Kabupaten Grobogan
D16   = dummy Kabupaten Blora
D17   = dummy Kabupaten Rembang
71
D18   = dummy Kabupaten Pati
D19  = dummy Kabupaten Kudus
D20   = dummy Kabupaten Jepara
D21    = dummy Kabupaten Demak
D22    = dummy Kabupaten Semarang
D23   = dummy Kabupaten Temanggung
D24    = dummy Kabupaten Kendal
D25    = dummy Kabupaten Batang
D26    = dummy Kabupaten Pekalongan
D27   = dummy Kabupaten Pemalang
D28    = dummy Kabupaten Tegal
D29    = dummy Kabupaten Brebes
D30    = dummy Kota Magelang
D31    = dummy Kota Surakarta
D32   = dummy Kota Salatiga
D33   = dummy Kota Pekalongan
D34   = dummy Kota Tegal
α0
= intersep
α1
-α4
= koefisien regresi variabel bebas
β
1

34  = koefisien dummy wilayah
eit   = komponen error di waktu t untuk unit cross-section i
i      = 1, 2, 3, ..., 34 (data cross-section kabupaten/kota di Jawa Tengah)
t      = 1, 2, 3, 4 (data time-series, tahun 2005-2009)
3.4.3  Deteksi Penyimpangan Asumsi Klasik
3.4.3.1  Deteksi Heteroskedastisitas
Salah satu penting dalam regresi linier klasik adalah bahwa gangguan
yang muncul dalam regresi populasi adalah homoskedastisitas,    yaitu semua
gangguan  memiliki  varians  yang  sama   atau   varian   setiap   gangguan   yang
72
dibatasi  untuk  nilai  tertentu  mengenai  pada  variabel-variabel   independen
berbentuk nilai konstan yang sama dengan σ
2
. Dan jika suatu populasi yang
dianalisis memiliki gangguan yang variansnya tidak sama maka mengindikasikan
terjadinya  kasus  heteroskedastisitas.  Heteroskedastisitas  adalah  kondisi  dimana
error term  tidak memiliki suatu  varian yang konstan untuk semua observasi.
Masalah heteroskedastisitas lebih  sering terjadi pada data  cross section  daripada
time series serta muncul baik pada regresi sederhana maupun regresi berganda.
Beberapa cara untuk menguji adanya heteroskedastisitas salah satunya
dengan   cara  pengujian   White   Heteroscedasticity.   Pedoman  dari  penggunaan
model white  adalah menolak hipotesis yang mengatakan bahwa terdapat masalah
heteroskedastisitas  dalam  model  empiris  yang  sedang  diestimasi.  Pengujian
heteroskedastitas  dilakukan  dengan  membandingkan  nilai  Obs*R  squared  uji
White dengan nilai  
2
tabel. Jika nilai probabilitas  Obs*R squared-nya lebih
besar dari α maka berarti  tidak ada heteroskedastisitas, demikian pula sebaliknya.
3.4.3.2  Deteksi Autokorelasi
Autokorelasi adalah pengujian ada atau tidaknya korelasi antara error term
pada suatu observasi dengan  error term  pada observasi lain, dengan kata
lain munculnya suatu data dapat dipengaruhi oleh data sebelumnya. Masalah
autokorelasi   lebih   sering  muncul   pada   data   yang   bersifat  time  series  serta
dapat  terjadi  baik  pada  regresi  sederhana  maupun  regresi  berganda.  Dampak
autokorelasi adalah: (1) variabel terikat pada satu observasi berhubungan dengan
dengan observasi lain; (2) penduga  OLS memiliki varian  yang bias ke bawah
73
atau  standard  error  cenderung  lebih  kecil;  (3)  nilai  estimasi  OLS  tidak
menghasilkan BLUE karena walaupun  tetap linear unbiased  tetapi  tidak  efisien
(varian  underestimated);  serta  (4)  uji   F  dan  uji  t  tidak   dapat    lagi  dipercaya,
karena  standar  error  koefisien  regresi  terlalu  rendah.  Salah  satu  cara  untuk
menguji adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan uji  Breusch – Godfrey  (BG
Test) (Gujarati, 1999).  Jika nilai probabilitas Obs*R squared-nya lebih besar
dari  2 tabel  maka  model tidak ada autokorelasi, demikian pula sebaliknya.
Pengujian dengan BG Test dilakukan dengan meregresi variabel pengganggu
Ui dengan model autoregressive dengan orde ρ sebagai berikut :
Ut
= ρ1 Ut-1 + ρ2Ut-2 + …+ ρ ρUt-ρ + εt ..........................................(3.5)
Dengan Ho adalah ρ 1 = ρ 2 … ρ = 0, dimana koefisien  autoregressive
secara keseluruhan sama dengan nol menunjukkan tidak terdapat autokorelasi
pada setiap orde. Secara manual apabila  
2
tabel lebih besar  dari nilai    Obs*RSquared, maka model tersebut bebas dari autokorelasi.
3.4.3.3 Deteksi Multikolinieritas
Multikolinearitas  mengandung  arti  bahwa  ada  hubungan   linier  yang
sempurna  atau pasti diantara beberapa atau  semua variabel  independen dalam
model   regresi. Konsekuensi adanya  multikolinieritas adalah koefisien regresi
variabel  tidak tentu dan kesalahan menjadi tidak terhingga. Uji multikolinieritas
betujuan untuk menguji apakah  dalam model regresi yang baik seharusnya tidak
terjadi korelasi diantara variabel bebas. Multikolinieritas dalam penelitian ini diuji
dengan  menggunakan  auxiliary  regresion  untuk  mendeteksi  adanya
74
multikolinieritas.  Kriterianya   adalah   jika  R
2
regresi   persamaan   utama   lebih
besar  dari  R
2
auxiliary  regresions  maka  dalam  model  tidak  terdapat
multikolinieritas.
3.4.3.4  Deteksi Normalitas
Uji  normalitas  dimaksudkan  untuk  mengetahui  apakah  residual  yang
diteliti  berdistribusi  normal  atau  tidak.  Nilai  residual  berdistribusi  normal
merupakan  suatu  kurva  berbentuk  lonceng  (bell  –  shaped  curve)  yang  kedua
sisinya  melebar  sampai  tidak  terhingga.  Distribusi  data  tidak  normal,  karena
terdapat  nilai  ekstrem  dalam  data  yang  diambil.  (Suliyanto,  2005).  Dalam
penelitian  ini  menggunakan    Jarque-Bera  test  (J-B  test)  yang  dilakukan  dengan
menghitung  nilai  skewness  dan  kurtosis  untuk  melihat  apakah  data  terdistribusi
normal atau tidak.  Jika  nilai J–B hitung < nilai  χ2  (tabel chi square) , maka
hipotesis yang menyatakan bahwa residual terdistribusi normal dan sebaliknya.
3.4.4  Pengujian Hipotesis
3.4.4.1  Koefesien Determinasi (R
2
)
Koefesien  determinasi  R
2
(regresi  majemuk)  merupakan  ukuran  ikhtisar
yang mengatakan seberapa baik  garis regresi sampai dengan mencocokkan data.
Secara verbal, R
2
mengukur proporsi (bagian) atau persentase total variasi dalam
variabel  dependen  yang  dijelaskan  oleh  model  regresi.  Nilai  R
2
berkisar  antara
nol dan satu (0 < R
2
< 1). Nilai R
2
yang  kecil atau  mendekati nol berarti
kemampuan  variabel  independen  dalam  menjelaskan  variasi  variabel  dependen
75
amat terbatas. Sebaliknya, jika nilai R
2
mendekati satu berarti variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk  memprediksi variasi
variabel  dependen.  (Gujarati,  2003).  Hal  ini  menunjukan  bahwa  semakin
mendekati 1 nilai R
2
berarti dapat dikatakan bahwa model variabel independen
yang digunakan mampu menjelaskan variabel dependen mendekati 100%. Ukuran
R
2
akan  semakin  mengecil  jika  semakin  banyak  variabel  independen  yang
digunakan.
3.4.4.2 Uji F (Simultan)
Uji  F  digunakan  untuk  mengetahui  apakah  semua  variabel  independen
mempunyai  pengaruh  yang  sama  terhadap  variabel  dependen.  Pengujian  yang
dilakukan menggunakan uji distribusi F.  Caranya adalah dengan membandingkan
antara  nilai  kritis  F  (F-tabel)  dengan  nilai  Fhitung
(F  RATIO)  yang  terdapat  pada
Tabel  Analysis  Variance  dari  hasil  perhitungan.  Pengujian  terhadap  pengaruh
variabel independen secara simultan terhadap perubahan nilai variabel dependen
dilakukan melalui pengujian terhadap besarnya perubahan nilai variabel dependen
yang dapat dijelaskan oleh perubahan nilai semua variabel independen. (Algifari,
2000). Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.  Ho
:  β
1
=  β2
=  β3
=  β4
=  0,  yaitu  variabel-variabel   independen  yang
meliputi pendapatan asli daerah (X1), dana perimbangan (X2), investasi
swasta (X3), dan tenaga kerja (X4) secara simultan tidak berpengaruh
secara  signifikan  mempengaruhi  variabel  pertumbuhan  ekonomi  (Y)
sebagai variabel independen.
76
2.  Ha : tidak semua koefisien β > 0,  yaitu variabel-variabel independen
yang  meliputi  pendapatan  asli  daerah  (X1),  dana  perimbangan  (X2),
investasi  swasta  (X3),  dan  tenaga  kerja  (X4)  secara  simultan
berpengaruh  secara  signifikan  mempengaruhi  variabel  pertumbuhan
ekonomi (Y) sebagai variabel independen.
Pengambilan keputusan  diambil pada tingkat signifikan (α) = 5% dengan
pengujian sebagai berikut :
1.  Jika  F-hitung  <  F-tabel maka  Ho
diterima  dan  H
a  ditolak,  berarti  bahwa
secara bersama - sama variabel independen (X1, X2, X3, dan X4) tidak
mempengaruhi variabel dependen (Y) secara signifikan.
2.  Jika  F-hitung  >  F-tabel maka  Ho
ditolak  dan  H
a  diterima,  berarti  bahwa
secara  bersama-sama  variabel  independen  (X1,  X2,  X3,  dan  X4)
mempengaruhi variabel dependen (Y) secara signifikan.
3.4.4.3 Uji t (Individu)
Uji  t  digunakan  untuk  menguji  koefesien  regresi  di  setiap  variabel
independen.  Hal  ini  dilakukan  untuk  memastikan  apakah  variabel  independen
yang terdapat dalam suatu persamaan secara individu berpengaruh terhadap nilai
variabel dependen (uji parsial) (Algifari, 2000).
Hipotesis yang digunakan adalah dengan menggunakan taraf nyata sebesar
5%. Perumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut :
1.  Ho  :  β
1 =  0,  variabel  pendapatan  asli  daerah  secara  parsial  tidak
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
77
Ha  :  β
1   0,  variabel  pendapatan  asli  daerah  secara  parsial
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
2.  Ho  :  β
2 =  0,  variabel  dana  perimbangan  secara  parsial  tidak
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Ha  :  β
2   0,  variabel  dana  perimbangan  daerah  secara  parsial
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
3.  Ho  :  β
3 =  0,  variabel  investasi  swasta  secara  parsial  tidak
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Ha  :  β
3   0,  variabel  investasi  swasta  daerah  secara  parsial
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
4.  Ho  :  β
4 =  0, variabel  tenaga kerja  secara  parsial  tidak  mempengaruhi
variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Ha : β
4  0, variabel tenaga kerja daerah secara parsial mempengaruhi
variabel pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Pengambilan  keputusan  diambil  pada  tingkat  signifikan  (α)  =  5%  dengan
pengujian sebagai berikut :
1.  Jika    -t-tabel
<  t-hitung  <  +t-tabel maka Ho
diterima  dan H
a  ditolak, berarti
bahwa  secara  individu  variabel  independen  tidak  mempengaruhi
variabel dependennya secara signifikan.
2.  Jika  -  t-tabel
> t-hitung  > +t-tabel maka Ho
ditolak  dan H
a  diterima, berarti
bahwa  secara  individu  variabel  independen  mempengaruhi  variabel
dependennya secara signifikan.

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus